Jumat, 17 April 2009

Rethinking Kartini : Dari Simbol menuju spirit

Ibu kita Kartini pendekar bangsa
Pendekar Kaumnya, Untuk merdeka..
Wahai ibu kita Kartini putri yang mulia…….
Sungguh besar cita-citanya untuk Indonesia….

Kartini adalah icon pembebasan perempuan di negeri ini dengan segala kebiasaan orang-orang di negri ini pula dalam memperingati sebuah moment. Tak jarang peringatan kelahiran seorang tokoh, peristiwa sejarah, justru mengaburkan spirit sang tokoh atau hari-hari besar yang diperingati di negri ini. Jamak kita tahu, hari Kartini adalah hari dimana anak-anak sekolah berbondong-bondong pergi ke salon, menggelung rambutnya, memakai kebaya, merias wajahnya, setelah itu berupacara. Atau hari Kartini adalah hari dimana para desainer mengeluarkan rancangan kebaya terbaru, lalu menggelar acara fashion show di hotel-hotel mewah, di mall-mall, dan dimanapun sebuah simbol dapat terus-menerus di uri-uri. Sungguh kasihan bangsa ini jika sering terjebak pada hal-hal glamour tanpa esensi.
Disisi lain, Kartini terlegalkan menjadi sebuah icon ‘emansipasi’ yang pada kenyataannya bergulir menjadi sebuah kesamaan hak yang jauh berbeda dari cita-cita Kartini. Kaum perempuan terjebak dalam iming-iming kapitalisasi tubuh, kecantikan, gaya hidup. Akhlak dan moralitas perempuan justru semakin jauh meninggalkan semangat perbaikan yang diusung Kartini. Peringatan-peringatan simbolis inilah yang sebenarnya menjadikan masyarakat kita justru kehilangan makna sejarah dari tokoh dan moment yang diperingatinya.
Spirit Cita Kartini
Kartini tentu tak ingin hanya menjadi sebuah simbol yang terperingati namun tak termaknai.Peringatan-peringatan hari kartini mestinya menggugah spirit Kartini dalam beberapa bidang yaitu pencerahan spiritual, spirit kepekaan sosial, dan spirit perbaikan mental dan moral

1. Spirit pencerahan spiritual
Kartini adalah gadis Jawa yang mengalami irisan ideologi antara ‘kejawaannya’ dan ideologi transendentalnya: Islam. Kartini dengan anugrah kekritisan mendongkrak kejumudan beragama yang kala itu terwarnai dengan semangat puritanisme jawa dan kelihaian penjajah menciptakan dan memanfaatkan ‘ketakutan-ketakutan’ beberapa kyai untuk mengungkap fakta beragama dan kitab suci agar terlihat sacral dan tabu untuk dipelajari lebih dalam.
Sampai pada akhirnya -dalam banyak versi yang berbeda-Kartini muda menemukan satu pencerahan dari seorang Kyai Demak (ada yang menyebutnya Kyai saleh Darat, ada pula yang menyebutkan Kyai Abudus shomad) yang kala itu menerangkan tentang tafsir salah satu ayat al-Qur’an yang mengandung kata minadh dhulumati ila nuur (dari kegelapan menuju cahaya)-yang oleh Armin Pane kemudian diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang inilah yang kemudian menginspirasi Kartini untuk menggali lagi pemahaman keislamannya, menyingkirkan keraguan dan keapatisannya, menemukan spirit pembebasan dalam kata itu,dia memantapkan visi “dari gelap menuju caghaya” itu dalam dirinya dan menjadikannya sebagai élan vital untuk terus bergerak.
Perempuan Indonesia saat ini semestinya mempunyai semangat yang sama, kembali pada semangat spiritualitas yang mantap, menggali dan belajar memaknai lebih dalam sumber transenden yang mereka yakini, belajar dan terus menggali bahwa agama bukan dogma, tetapi sumber inspirasi hidup yang menjadikan manusia (laki-laki dan perempuan) menjadi lebih cerdas, berenergi dan visioner!

2.Spirit kepekaan social
Kartini semestinya memberikan inspirasi bagi kaum perempuan di negri ini untuk memiliki kepekaan sosial terhadap persoalan-persolan masyarakat disekitarnya. Kartini tergerak untuk memperbaikai masyarakatnya setelah ia mengalami pencerahan spiritual yang luar biasa tadi. Pencerahan ideolgi yang menuntunnya pada realita masyarakat yang miskin, bodoh dan terjajah.
Bukankah sejarah senantiasa berulang? Bukankah kemiskinan, kebodohan dan keterjajahan dalah masalah yang sennatiasa ada dan hanya berubah bentuk dalam masyarakat? Saatnya kaum perempuan berjalan disekitar masyarakatnya, mengamati dan berbuat lebih banyak untuk lingkungannya, memberikan nuansa kesejukan yang berenergi!
Kartini memanfaatkan segala potensi ‘keningratannya’ untuk melakukan perubahan social yang nyata. Inilah mungkin yang menjadikan Kartini lebih menojol dibandingkan para pejuang perempuan lain di negri ini yang boleh jadi sudah menunjukkan aksi nyata pula dalam melawan penjajahan. Bahkan banyak diantara pejuang perempuan yang terjun langsung dalam peperangan, Cut Nya’ Dien misalnya. Namun, mungkin Kartini lebih beruntung sebab segala pemikirannya terdokumentasi, pemikirannya untuk menyuntiikkan semangat ‘melawan penjajahan’ dari sisi pendidikan dan perubahan social mungkin lebih memiliki efek jangka panjang.

2. Spirit Perempuan pembelajar
Spirit ini yang kian pupus dalam diri kaum perempuan.kartini sejatinya tak pernah menuntut sebuah ‘persamaan’ yang berlebihan dalam interaksi lelaki dan perempuaqn. Kartini hanya ingin perempuan memiliki akses belajar dan pendidikan. Sebab dari perbaikan pendidikan dan munculnya semnagt belajar itulah para perempuan memeiliki modal sebagai istri dan ibu yang akan mendidik anak-anak dan keluarganya menuju martabat yang lebih baik.
Kartini memberikan spirit pembelajar yang luar biasa. Semangat untuk mencari informasi, mengakses jaringan, bertanya, mencermati dan menanyakan kepada para sahabat dan guru spiritualnya tentang apa-apa yang tidak diketahuinya dalam beragama, misalnya. Peringatan-peringatn hari Kartini semestinya sarat dengan kegiatan-kegiatan yang bermutu dan mendorong semangat belajar kaum perempuan sebagai apapun mereka. Akses sosial, politik, pendidikan, kesehatan bagi perempuan semestinya dibuka lebar dan dioptimalkan kemanfaatannya.Sebab meskipun semua akses telah terbuka lebar jika para perempuan ogah-ogahan membelajarkan dirinya maka perempuan akan terus menerus merasa ‘tak diberi ruang’. Jika sudah begitu, apakah salah jika lagi-lagi perempuan selalu terstigma tidak dapat professional, kurang wawasan dan menjadi penggembira dalam ranah-ranah public?!

3. Spirit Perbaikan Mental Moral
Perjuangan Indonesia kini semakin kompleks. Problematika moral yang menempatkan perempuan baik sebagai korban atau pelaku kemerosotan moral tak dapat dielakkan.
Kartini pasti tidak mengharapkan perempuan liar dalam kebebasannya, meninggalkan nilai-nilai moral dan tatanan ketimuran. Banyak ranah yang harus diperbaiki dan menempatkan perempuan sebagai lakon yang semestinya dapat mengusung perbaikan moral itu.
Perbaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara adalah tahapan paling niscaya dalam sebuah perbaikan tatanan masyarakat. Perempuan-perempuan yang memiliki moralitas tinggi, dedikasi penuh terhadap perbaikan, kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat akan menggerakkan kaum perempuan untuk membenahai diri dan masyarakatnya melalui karya nyata mereka disegala bidang.
Emansipasi tanpa spirit moral hanya akan menjadikan kaum perempuan kehilangan feminin modesty, anugrah alam untuk kaum perempuan atau dalam bahasa sederhananya fitrah. Fitrah memelihara, kelembutan, kepekaan, rasa malu, pengabdian yang tulus, ketinggian budi bukan sebuah ‘kelemahan’ yang tiba-tiba harus diubah menjadi perkasa sebagai wujud ketangguhan. Justru semua itu adalah anugrah alamiah yang dimiliki perempuan sebagai modal berpartisapasi dalam ‘mengelola’ kehidupan. Bukan begitu, kaumku? Selamat hari Kartini!

Wallahu a’lam…