Minggu, 20 Desember 2009

Tahun Baru Hijriyah : Ibrah bagi Aktifis Dakwah

Kita adalah umat yang sering diperintahkan Allah untuk mengambil pelajaran dari semua peristiwa. Karenanya Allah sering memantik rasa dan kecerdasan kita dengan 'agar kamu ingat', 'agar kalian berpikir', 'agar kalian mengambil pelajaran'. Sungguh itupun terjadi dalam peringatan-peringatan hari-hari besar Islam, apakah Idul Adha yang barusaja berlalu atau Tahun Baru Hijriyah yang akan kita jelang. Taka ada larangan dalam MEMPERINGATINYA namun mungkin kita tak perlu melakukan perayaan-perayaan sebagaimana kaum lain merayakan tahun baru mereka. Sebab, sangat dimungkinkan perayaan itu menghilangkan esensi dari peristiwanya.Dan akhirnya kita hanya terjebak pada euphoria perayaannya. itu sja prolog tulisan ini

LATAR BELAKANG TAHUN HIJRIYAH

Khalifah Umar Ibnul Khattabb (al-Faruq) adalah kholifah yang banyak melahirkan produk-produk baru dalam pemerintahannya.Pada masa pemerintahan beliau, kekuasaan Islam sudah mencapai 1/3 bagian dunia. Namun umat Islam yang telah memiliki kekuasaan itu, belummemiliki sistem penanggalannya sendiri. Pada saat itu yang berlaku adalah penanggalan Romawi, Tahun Gajah, penanggalan-penanggalan jahiliyyah.Itulah yang dipertanyakan dan diusulkan oleh salah satu gubernur Al-Faruq diangkat menjadyang bernama Abu Musa al-Asy'ari. Maka ia mengusulkan pada Umar tentang penanggalan Islam.

Mulailah Umar ra mengumpulkan para shabat dan sharing ide dengan mereka. Mana tahu ada usulan-usulan pun muncul. Ada yang usulan dari para sahabat tntang kapan dimulainya penanggalan Islam. Maka berbagai usul muncul. Ada yang berpatokan pada peristiwa Fathkhu Mekkah, ada yang usul saat Rasulullah mulai diangkat menjadi Rasul, Bahkan ada yang usul hr kematian Rasulullah.

Akhirnya umar cenderung kepada usulan Ali bin abu thalib. Ali mengusulkan bahwa peristiwa Hijrah sangat layak menjadi awal di penanggalan itu. Bahwa hijrah menjadi peristiwa yang membuktikan orang-orang yang telah lulus dalam turbulensi dakwah di Mekkah dan membuktikan loyalitasnya pada Islam dan pada perintah Allah dengan adanya peristiwa Hijrah....

HAKIKAT HIJRaH
Hijrah secara maknawiyah memang berarti meninggalkan apa-apa yang diarang Allah dan menimbulkan dosa. Hijrah juga dapat bermakna bahw akita diberi kesempatana oleh Allah untuk mengarungi bumi Allah yang luas, dimanapun kita melangkah, ada banyak peluang kebaikan. Kitapun diseru untuk menyebar diseluruh bumi, mencari penghidupan dan mnyebarkan syiar Islam.

IBRAH KHUSUS HIJRAH : PROFIL dan Karakter Pendukung Setia Dakwah

Peristiwa hijrah bukanlah peristiwa perjalanan yang menyenangkan.Umat Islam pada saat itu tidak dalam kondisi ayang aman.Tak heran jika peristiwa Hijrah itu memiliki keutamaan yang besar disisi Allah.Namun para sahabta utama memberikah teladan dalam mengarungi ujian dakwah dan pembuktian ketaatan itu

1. Pelajaran dari Keberanian UMAR Ibnul Khattab

Umar melakukan hijrah dengan cara berbeda. Disaat para sahabat yang lain melakukan hijrah dengan sembunyi2, maka Umar dengan menyadari kekuatan dirinya justru mengumumkan terang-terangan hijrahnya dengan 'menatang' penduduka Makkah : "siapa yang ingin istrinya menjadi janda dan anaknya jadi yatim,maka silakan menemuiku dibalik bukit ini"

dan benarlah. Semua penduduk Makkah tidak bergeming. membiarkan Umar berhijrah dengan mulus. Apa ibrahnya? Apakah ini kesombongan Umar? Sekali-kali tidak! Umar sedang mengajarkan pada kita bagaimana sebuah keberanian itu lahir dari kemampuan mengukur potensi diri, kesiapan diri. Keberanian bukanlah kenekatan. Umar sangat tau dan dapat mengukur potensi, peluang dan akhirnya menjahrkan hijrahnya. Begitupula kita sebagai aktifis dakwah, jika memang kita telah percaya diri dengan kekuatan kita, optimis dan yakin dengan kebenaran yang kita bawa, maka tidak adaalasana kita terus 'bersembunyi' dalam syiar-syiar dakwah kita

2. Kesetiaan dan Kepedulian Abu Bakar Ash-shidiq pada Qiyadahnya (pemimpinnya)

Siapa tak mengenal sosok ini? dari awal hingga akhir ia menjadi sosok pembela Rasulullah. dia yang menemani Rasulullah dalam perjalanan hijrah yang tidak mudah.Menemani bersembunyi di gua Tsur yang menurut shiroh terdapat banyak lubang ular dan goa itu sangat sempit. Sehingga dengan sangat khawatir trehadap keselamatan Murabbinya, Abu Bakar mengetakan "Wahai Rasulullah bagaimana jika mereka melihat kaki kita?" Dan rasulullah menjawab : " Bagaimana jika ada tiga dan yang satu Allah? Sesungguhnya Allah bersama kita"
Bahkan Abubakar merelakan pahanya digigit ular demi menjaga agar RAsulullah tidak terbangun dari tidur beliau yang bersandarkan pahanya.Luar biasa

Didalam dakwah, ksetiaan dan kepedulian kita pada qiyadah, pemimpin sangat penting. Janganlah kita selalu menuntut bahwa murabbi, pemimpin kita selalu peduli kita namun kita jarang peduli terhadap kondisi murabbi, naqib, pemimpin kita dalam dakwah

3. Pengorbanan Ali untuk Qiyadahnya

Malam itu, siapa sosok yang telah siap mati terbunuh menggantikan Rasulullah?Dialah Ali bin Abu Thalib. Rencana pembunuhan Rasulullah oleh para pemuda Quraisy telah final dimalam itu. Ali pun telah siap tidur berselimut jubah Rasulullah untuk menggantikan nyawa Rasulullah.

pengorbanan yang sangat-sangat menyentuh wilayah pribadi. Ini bukan hanya berkorban untuk seruan dakwah yang umum. ini berkorban nyawa untuk seorang pemimpin. Sungguh, jika tidak ada kecintaan, loyalitas dan rasa bela, hal ini mustahil dilakukan. Kesadaran bahwa dakwah memerlukan Rasulullah lebih besar daripada kecintaan Ali terhadap dirinya. Kita sebagai kader dakwah mungkin belum sampai pada pengorbanan yang menyentuh wilyah pribadi. Kita belum diminta mengorbankan anak kita sebagaimana Ibrahim, kita belum diminta menggantikan qiyadah untuk misi bertaruh nyawa. Namun kita masih sering menolak untuk tugas-tugas dan taklimat dakwah yang sebenarnya bisa kita lakukan seandainya kita tak mengajukan banyak alasan.

4. Kreatifitas dan Kesungguhan Putra Putri Abu Bakar
Dalam momentum hijrah, putra putri Abu Bakar layak menjadi kader-kader muda brilian. Abdullah bin Abu Bakar dengan cerdas memainkan peran 'intelejen' yang cerdik. Di pagi dan siang hari Abdullah dengan sangat cool mengikuti forum-forum Quraisy, menyaring segala informasi, ikut 'nimbrung' dalam diskusi-diskusi mereka seolah-olah taka ada apa-apa. Dan dimalam harinya Abdullah melaporkan pada ayahandanya dan Rasulullah di goa Tsur.Rapi dan cerdik.

begitu pula Asma' dan Aisyuah yang diusai belia mereka sudah menunjukkan loyalitas dan besarnya peran perempuan dalam dakwah.tugas membawa dan mengantarkan bekal untuk Rasulullah dan ayah merak tent bukan tanpa resiko. perempuan-perempuan yang digembleng oleh dakwah generasi awal itu teguh, pemberani, sangat besarpengorbanannya. ide membagi dua ikat pinggang yang dilakukan Asma' menunjukkan kreatifitas dan kecakapan

ibrah : dakwah memerlukan kader-kader yang kreatif, jeli, teliti dan siap berkorban untuk misi dakwah. Tua, muda semua melakukan peran-peran yang mampun mereka lakukan. Tidak ad alasan bagi para kader dan aktivis dakwah untuk 'duduk-duduk' dan bersantai sebabb pkerjaan dawah ini sangat banyak!

IBRAH UMUM

secara Umum, hijrah Rasulullah memberikan ibrah sebagai berikut
1. Pengorbanan dan Keikhlasan
ditunjukkan oleh Muhajirin dan Anshor yang mereka dijaminkan kemuliaan karena pengorbanan mereka. kaum muhajirin meninggalkan apa-apa yang mereka punya di kampunghalamannya (harta, keluarga, jabatan, kenyamanan) dan Kaum Anshor rela berbagi apapun yang mereka miliki untuk saudara-saudara mereka kaum Muhajirin. Padahal kaum Anshorpun bukan orang-orang kaya.
bahwa sebagai aktivis dakwah kita harus mampun memunculkan keikhlasan dan pengorbanan yang mungkin menyentuh wilayah-wilayah pribadi kita.

2. Kreatifitas dan Optimis

Hijrah memberikan ibrah bahwa kita para aktivis dakwah harus selalu optimis dan kreatif dalam memunculkan ide-iede baru dan semangat dalam mengelola dakwah ini. Jangan hanya mengalir dan puas menjadi penonton sja. Kreatifitas menghadapi objek dakwah yang berbeda kultur, usi adan latarbelakang menjadikan kita terus berpikr memenangkan dakwah.

3. Kerjakeras dan Tawakkal

Mengapa Hijrah Rasulullah tidak bergelimang fasilitas padahal Rsulullah diberi fasilitas Bouraq pada saat isra' mi'raj? :) Mengapa Rasulullah tidak meminta kemudahan dri Allah?
Luar biasa. Hijrah dn prosesnya menunjukkan pada kita bahwa setiap hal dalam dakwah ini sangat memerlukan kerja keras. proses dan ikhtiar mendahului tawakkal. rasulullah mengatur strategi, menyewa penunjuk jalan dan menyuruhnya berputar, bersembunyi 3 hari agar jejakmereka tertiup angin, para sahabat diatas dengan perannya masing-masing mensukseskan proyek hijrah dengan sungguh-sungguh. Dan Allahpun memberikan pertolongan-pertolongan yang bukan 'sim salabim'.

inilah pelajaran bahwa kita harus terus bekerja keras dalam dakwah. Tidak boleh kita mendahulukan 'tawakkal' dan menggantungkan pada hal-hal yang kbetulan. Sifat 'njagakne' danseenaknya dalam dakwah tidak akan mendatangkan kebaikan apalagi pertolongan Allah. Pertolongan Allah harus kita upayakan agar kita pantas mendapatkannya

demikian rangkuman dari kajian menjelang tahun baru ijriyah yang mampu saya serap dan saya 'tularkan' kembali semoga menjadi inspirasi dan semnagt baru, khususnya untuk diri saya. Maaf jika terlalu panjang...Maturnuwun kepada Ust. Hatta Syamsuddin, Lc :) atas kajiannya sore itu.

Investasi Generasi : Sebuah Harapan Tawakkal

Program Investasi Generasi (mendapatkan buah hati): Pembuktian Tawakkal

Aku menikah di tahun 2004. Seperti kebanyakan pasangan, bayangan segera mempunyai generasi baru pasti menggebu. Akupun sering mndengarkan 'curhat' teman dan saudara tentang kegelisahan mereka menanti buah hati.Tapi Allah tentu lebih tau kesiapan kita. Aku sering mendengar orang-orang sekitar kita tanpa sadar ‘mendikte’ Allah dan menyinggung orang lain (biasanya sesama perempuan) meskipun dengan bercanda. Begini seringnya candaan mereka:

“ Kapan nih nikah? Kok nggak cepet-cepet nikah. Milih-milih ya?” Itu pada yang belum menikah. Lalu, selanjutnya
“ Aduh kapan nih rencana punya momongan. Tunggu apalagi? “ atau “Kok belum dapet ‘laba’ nih…belum rencana punya anak,ya?” itu pada yang sudah menikah tapi belum juga berputra. Begitu seterusnya kalau anak sudah ada, pertanyaan muncul kapan nambah lagi? Mungkin itu juga yang menjadi inspirasi sebuah iklan kontrasepsi di televisi.

Program investasi generasi. Begitu saya dan suami menamakan. Sebab memang anak, keturunan adalah sebuah ‘investasi’. Mereka bisa menguntungkan untuk dunia akhirat jika kita bisa dan benar merawatnya. Sebaliknya, bisa menjadi fitnah jika kita salah dalam orientasi memilikinya dan lalai dalam mendidiknya. Dan yang penting diingat : kita hanya bisa MERENCANAKAN dan memohon kepercayaan dari Allah. Kita tidak berhak mendikte Allah dan mendesak atau bahkan menyinggung orang-orang yang belum memilikinya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti diatas.

Saya sering menghibur teman-teman yang belum berputra dengan mengatakan " Allah masih menginginkanmu memberikan banyak sedekah waktu dan produktifitas amal yang belum tentu lho bisa kau lakukan saat sudah berputra.he..he..Berkhusnu
dhon saja ya...?"

Begitulah. Layaknya sebuah investasi, Allah menuntunkan kita benar-benar lurus dalam usaha menanamkan benih dirahim kita. Sejak awal hubungan biologis orang-orang beriman dituntunkan untuk berdo’a. Bismillahi Allahumma jannibnasy syaithon wajanibnasy syaithona maa razaqtana.
Begini terjemahan hadits lengkapnya. Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah bersabda:

“Sekiranya salah seorang diantara kalian menggauli istrinya lalu ia mengucapkan ‘Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami’, maka sekiranya Dia mengaruniakanseorang anak kepada keduanya, maka anaknya itu tidak akan dibahayakan oleh setan selama-lamanya “.

Sungguh sebuah amanah yang besar itu selayaknya pula dipersiapkan dengan tuntunan Allah. Tidak ada sebuah rencana bagi kita yang mengaku beriman ini tanpa melibatkan Allah dalam segala urusan dan hajat kita.

Program investasi generasi ini menurutku juga benar-benar akan menguji ketawakalan kita sebagai hamba. Bahwa kesenangan, harapan dan cita-cita mendapatkan anak yang sholeh, banyak dan sehat tentulah tidak cukup dengan persiapan dhohir dengan program-program makanan sehat, tips agar cepat mendapat keturunan, namun lebih dari itu.

Keyakinan bahwa Allah yang menjadikan benih itu tumbuh dirahim kita, Allah yang melahirkannya, termasuk Allah yang memilihkan jenis kelamin anak-anak kita, atau bahkan menjadikan kita tak berputra, harus terus kita pelihara. Semua itu agar tidak ada harapan yang pupus ataupun percaya diri berlebihan yang melahirkan sikap berbangga. Termasuk berbangga dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sungguh benar Allah berfirman dalam Q.S. Asy-Syura (42) : 49-50

“Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, (QS.42 : 49)
“atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.(QS.42:50)

Ya, anak-anak kita adalah investasi generasi. Mari mempersiapkannya dan terus memohon kepada Allah agar kita ridho atas semua kehendak Allah atas kita,pasangan kita, dan anak-anak kita.Berdo'a dan bersabar akan datanganya amanah itu akan lebih baik daripada kita menebak-nebak. Wallahu a’lam bish shawwab

Dua Tahun Benih Cendekia : Tawaran Partisipasi

Rumah "BC" 2 Des 2007- 2 Desember 2009
Alhamdulillah.. meskipun masih tertatih mewujudkan idealisme, masih menjadi 'benih' yang mencoba tersemai dan tumbuh.Namun belajar adalah keniscayaan dan pantang menyerah adalah pena yang tak boleh mengering.Mengajak sahabat, teman, saudara yang memiliki kepedulian yang sama dalam meretas jalan mencerdaskan diri dan sesama dalam tawaran partisipasi Rumah Baca dan Rumah Karya kami di Tahun Kedua ini:

1. Books Box Drop Jauh Dekat
Program pengumpulan buku baru dan bekas baik buku pelajaran, buku-buku pendidikan (parenting), majalah, novel yang mendidik, buku-buku ketrampilan hidup,bundel majalah dan semua bahan bacaan yang bermanfaat untuk anak, remaja, perempuan, umum.

Kami juga berharap para penerbit buku untuk dapat menyumbangkan buku-buku pada kami baik secara langsung maupun bekerjasama dalam event-event tertentu.

Dapat dikirimkan ke : Rumah baca BENIH CENDEKIA d.a Bp/Ibu Hatta Syamsuddin Jl. s. Langkat no 11, Sawahan Sangkrah Rt.01/XI Pasarkliwon Solo 57119 Cp.081329460601
Jarak dekat (Kota Solo) kami bersedia mengambil kerumah/institusi Anda

2. Relawan Pendidikan
Anda seorang trainer?Pendongeng? Guru lukis? Apapun,siapapun Anda yang peduli pendidikan atau Berminat menjadi mentor sukarela dalam program pendampingan belajar SD? kami menunggu partisipasi Anda bergabung mencerdaskan generasi

3. Sumbangan Media Belajar dan Kreatifitas
Berupa sumbangan media belajar : crayon, cat lukis, kanvas, mainan edukatif (bekas atau baru), rak buku, papan tulis, gambar tempel dsb

4.Infaq Dana Kegiatan
Berupa infaq dana partisipasi untuk mensupport kegiatan kami.Dapat Dikirim ke Rekeneing BSM atas nama Robi'ah al Adawiyah No rekening 0120151625
5. Penyuluh Parenting
Anda dapat bergabung dalam program 'Penyuluhan Pendidikan Keluarga' yang memberikan penyuluhan pada ibu-ibu di kampung tentang pendidikan anak, komunikasi keluarga, kesehatan keluarga, dll

Program Kegiatan Andalan Kami Terbaru
1. Kursus Murah Bahasa Inggris Untuk SMP-SMU (sementara masih memerlukan Guru untuk SMU, jadi yang berjalan baru SMP) setiap rabu sore

2. Kelas Belajar Membaca Usia TK (persiapan SD)
hari: Jumat sore. masih membutuhkan relawan

3. Pendampingan Belajar untuk SD kelas 4,5,6 setiap kamis dan sabtu pk 14.30-16.00

4. Penyuluhan Pendidikan Keluarga (setiap bulan)

demikian catatan kecil ini semoga mengetuk hati siapapun yang bersemangat dalam menyemai benih-benih kebaikan.Amiin

Berdamai dengan si Sulung

Hari ini melelahkan. Dan aku yakin kemarin, besok, dan akan seterusnya begini. Anak-anak kita akan selalu mempunyai potensi konflik dengan kita. Hm…tentu saja sesuai dengan fase bertumbuh dan berkembang mereka. Aku baru saja memutuskan berdamai dengan anakku setelah bebrapa jam yang lalu ia benar-benar keras kepala.

Bagaimana tidak? Sepulang sekolah ia terus menerus melakukan hal-hal yang memantik emosi. Dari satu permintaan –pemaksaan- satu ke yang lain. Dan sungguh seperti yang kutulis kemarin : aku belum cukup sabar atau belum cukup bisa menahan diri .

Akhirnya aku memilih diam sejenak. Kupandangi sulungku yang merajuk karena permintaannya yang kesekian kali siang itu tidak kuturuti. Kali ini ia memintaku membelikan pensil warna yang baru karena sepulang sekolah tadi ia mendapatkan hadiah buku mewarnai yang ternyata sama dengan yang pernah ia punya. Alhasil ia merasa tidak ada sesuatu yang ‘baru’. Ditambah lagi seperti biasa, crayonnya yang lama hilang dan entah kemana. Segala argumen kuhiburkan, kuminta ia memakai sisa crayonnya yang lama. Dan tidak berhasil. Mulailah ia mengamuk,berteriak, berguling dilantai (khas anak-anak yang marah), mengatakan “Umi jahat” dan seterusnya.
Dan menurut teori yang kubaca, semakin tinggi volume suara kita saat anak marah ternyata semakin membuatnya bertahan dengan kemarahannya. Maka, akupun DIAM, Tanpa ekspresi.

“Nak....sini nak, umi tau kamu kecewa. .” akhirnya itu kalimat pertama yang kuucapkan setalah menghela nafas. Sulungku masih merajuk. Kurengkuh tubuhnya meski dia masih enggan
“Aku dapat hadiah buku yang sama, Mi. Aku sudah pernah punya. Lagipula Aku juga gak punya pensil warna…” anakku panjang lebar meluapkan kekesalannya. Masih dengan seragam sekolahnya. Aku mendengarkan dengan menatap matanya. Berusaha setulus mungkin!
“ Ya sudah… sekarang Maura ganti baju dulu, pipis,minum air putih, dan nanti kita coba cari lagi crayonmu ya? Kalau memang sudah saatnya beli pensil warna baru, Insya Allah Umi belikan. Tapi kita cari dulu crayonmu yang lama.”… beringsut sulungku mengangkat tangannya keatas, bersiap melepas seragamnya dan sterusnya. Pertanda bagus.

Aku benar-benar membantunya mencari crayonnya. Memang tidak mungkin ditemukan semua karena memang crayon itu sudah ‘habis’ ia pakai atau sebagiannya lagi tercecer kesana kemari. Aku pun sadar aku akan membelikan pensi warna baru di toko sebelah rumah sebab memang sebenarnya ia telah lama tidak lagi memilikinya. Tapi belum sekarang waktunya.

Kubantu putri sulungku mencari crayon yang masih tersisa. Sembari mencari, kunetralkan perasaannya.
“Sudah Nak? Sudah nggak marah kan? Bersyukur ya Nak, hadiah Bunda Dina kan sudah bagus. Malahan Maura bisa mewarnai lebih baik karena sudah pernah.” Putriku mengangguk pelan. Bagus. Marahnya reda
“ Aku sudah mau terima hadiah itu, Mi. Tapi aku ndak punya pensil warna lagi. Cuma ini, kan ndak banyak warnanya” Baiklah. Aku sudah berdamai dengannya.
Kemarahan yang luar biasa bisa kuredam dengan sedikit berempati dengan perasaannya. Perasaan kecewa, capek, frustasi. Aku tidak menjamin bisa setiap hari begitu. Kadang lelahku beradu dengan lelahnya, batas kesabaranku, beradu dengan ketidakpuasannya. Dan sebenarnya itulah yang kadang memicu kita ‘berperang’ dengan anak-anak kita.

Siang ini setidaknya aku ingin mengajarkan ia berdamai dengan perasaannya dahulu. Memang kadang kita terburu menghentikan rasa marahnya dengan salah : segera memberi apa yang ia minta. Ya, memang ia berhenti, namun dia sedang belajar ‘menjajah’ orang lain untuk menuruti segala permintaan dengan MARAH.

Siang itu setelah ia ‘berdamai dengan kemarahannya’, setelah ia mau mewarnai buku barunya dengan crayon seadanya, barulah kuberikan reward (penghargaan) padanya sekotak pensil warna yang memang tidak mahal...he..he... dan kurendahkan tubuhku lalu kubisikkan padanya : “ Ini untuk anak Umi yang bersyukur dengan pemberian, mau bersabar, dan mau mencari crayonnya...he..he..” Siang itu, aku berdamai dengan Si sulung. Meskipun akan selalu ada lagi ‘peperangan’ dan potensi konflik yang harus kita hadapi sebagai seorang ibu, tho?? Kita hanya harus bersiap untuk berdamai dengan benar dan mendidik.
Ishbir ya, Ummi!

Menyebut Lengkap nama Pasangan

"I love you Robi'ah Al-Adawiyah"...sms itu membuat saya jengah. Diantara hiruk pikuk anak-anak disuatu sore. Sms itu datang sesaat saya 'curhat' pada suami tentang 'kebandelan' anak-anak selama Abi mereka mudik menjenguk mertuaku 2 hari 3 malam ini.Biasa, anak-anak selalu 'menguji kesabaran' terutama jika Abi mereka lebih dari sehari tidak terlihat. Caper gitu..Dan alhamdulillah..sore itu saya lolos (baca : mampu menaklukkan mereka) .he..he..

Kembali ke sms tadi. Mungkin Sederhana.Tapi entah kenapa sms itu menginspirasi saya tentang sesuatu.Menyirapkan perasaan bangga dan PD. Dasar saya, sms yang menurut saya romantis itu tidak saya biarkan begitu saja menjadi 'hanya' konsumsi pribadi karena ternyata ada sebuah 'analisis rasa' yang saya hasilkan.Karena menurut saya ada ibroh dari pernyataan singkat itu. Waduh...

Ya, begitulah. Entah apakah apa yang saya tuliskan ini Anda setujui atau tidak, Anda rasakan atau tidak, tapi satu hal yang sering saya pikirkan bahwa kita terlampau sering 'mengabaikan' panggilan-panggilan sayang, sapaan nama kita. Kita -terutama yang telah berputra- terlanjur menikmati diri kita dipanggil oleh pasangan dengan 'Bunda', 'Ayah', 'Umi', "Abi', 'Bune (heh..he..), mamah, 'Abah' . Atau Abu Maura, Ummu Hania, dan sederet panggilan yang tujuan awalnya 'membahasakan' panggilan itu untuk anak-anak kita. Bahkan, jangan-jangan pasangan kita lupa dengan nama lengkap kita? Nah looo(just kidding) Atau ..kita penganut "apalah arti sebuah nama? Yang jelas semua juga tau dia istriku/suamiku" lha???

Tapi ternyata, sesekali menyebutkan nama pasangan kita dengan nama lengkapnya, memberikan sebuah kesan tersendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan dan mungkin Anda bisa juga mencobanya. Dengan menyebutkan nama pasangan Anda seperti dalam contoh sms diatas atau dalam panggilan khas yang kita peruntukkan padanya, akan membuat pasangan kita -terutama mungkin para istri- merasa dicintai sebagai DIRINYA SENDIRI. bukan sebagai ibu atau ayah anak-anak Anda. Kadang itu perlu. Hal itu meneguhkan perasaan kita dan perasaannya. Seperti halnya mencoba meluangkan waktu 'berdua', mengungkapkan perasaan Anda bahwa Anda mencintainya sebagai seorang perempuan atau laki-laki menurut saya dapat membesarkan hatinya. Sebab kadang seorang individu tetap ingin dihargai sebagai DIRI SENDIRI.

Hiruk pikuk rumahtangga, kewajiban mengasuh anak-anak,kesibukan ditempat kerja, kadang melupakan kita akan hal-hal kecil bermakna besar. Mungkin termasuk mengekspresikan bahwa Anda mencintai seorang laki-laki atau perempuan bernama :................. yang menyebut / disebut namanya disaat akad nikah beberapa waktu yang lalu membuat Anda tergetar! Yang selama ini mendampingi Anda.
Ini hanya catatan kecil, tapi mungkin kita bisa memulai untuk tidak 'jaim' dan merasa 'untuk apa melakukannya?' hanya karena kita telah lama menikah.Ya, bukankah salah satu tanda cinta terhadap sesuatu adalah menyebutkan nama 'kekasih' kita dengan mantap dan tulus? Wallahu a'lam bishawwab...

Menyebut Lengkap nama Pasangan

"I love you Robi'ah Al-Adawiyah"...sms itu membuat saya jengah. Diantara hiruk pikuk anak-anak disuatu sore. Sms itu datang sesaat saya 'curhat' pada suami tentang 'kebandelan' anak-anak selama Abi mereka mudik menjenguk mertuaku 2 hari 3 malam ini.Biasa, anak-anak selalu 'menguji kesabaran' terutama jika Abi mereka lebih dari sehari tidak terlihat. Caper gitu..Dan alhamdulillah..sore itu saya lolos (baca : mampu menaklukkan mereka) .he..he..

Kembali ke sms tadi. Mungkin Sederhana.Tapi entah kenapa sms itu menginspirasi saya tentang sesuatu.Menyirapkan perasaan bangga dan PD. Dasar saya, sms yang menurut saya romantis itu tidak saya biarkan begitu saja menjadi 'hanya' konsumsi pribadi karena ternyata ada sebuah 'analisis rasa' yang saya hasilkan.Karena menurut saya ada ibroh dari pernyataan singkat itu. Waduh...

Ya, begitulah. Entah apakah apa yang saya tuliskan ini Anda setujui atau tidak, Anda rasakan atau tidak, tapi satu hal yang sering saya pikirkan bahwa kita terlampau sering 'mengabaikan' panggilan-panggilan sayang, sapaan nama kita. Kita -terutama yang telah berputra- terlanjur menikmati diri kita dipanggil oleh pasangan dengan 'Bunda', 'Ayah', 'Umi', "Abi', 'Bune (heh..he..), mamah, 'Abah' . Atau Abu Maura, Ummu Hania, dan sederet panggilan yang tujuan awalnya 'membahasakan' panggilan itu untuk anak-anak kita. Bahkan, jangan-jangan pasangan kita lupa dengan nama lengkap kita? Nah looo(just kidding) Atau ..kita penganut "apalah arti sebuah nama? Yang jelas semua juga tau dia istriku/suamiku" lha???

Tapi ternyata, sesekali menyebutkan nama pasangan kita dengan nama lengkapnya, memberikan sebuah kesan tersendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan dan mungkin Anda bisa juga mencobanya. Dengan menyebutkan nama pasangan Anda seperti dalam contoh sms diatas atau dalam panggilan khas yang kita peruntukkan padanya, akan membuat pasangan kita -terutama mungkin para istri- merasa dicintai sebagai DIRINYA SENDIRI. bukan sebagai ibu atau ayah anak-anak Anda. Kadang itu perlu. Hal itu meneguhkan perasaan kita dan perasaannya. Seperti halnya mencoba meluangkan waktu 'berdua', mengungkapkan perasaan Anda bahwa Anda mencintainya sebagai seorang perempuan atau laki-laki menurut saya dapat membesarkan hatinya. Sebab kadang seorang individu tetap ingin dihargai sebagai DIRI SENDIRI.

Hiruk pikuk rumahtangga, kewajiban mengasuh anak-anak,kesibukan ditempat kerja, kadang melupakan kita akan hal-hal kecil bermakna besar. Mungkin termasuk mengekspresikan bahwa Anda mencintai seorang laki-laki atau perempuan bernama :................. yang menyebut / disebut namanya disaat akad nikah beberapa waktu yang lalu membuat Anda tergetar! Yang selama ini mendampingi Anda.
Ini hanya catatan kecil, tapi mungkin kita bisa memulai untuk tidak 'jaim' dan merasa 'untuk apa melakukannya?' hanya karena kita telah lama menikah.Ya, bukankah salah satu tanda cinta terhadap sesuatu adalah menyebutkan nama 'kekasih' kita dengan mantap dan tulus? Wallahu a'lam bishawwab...

Anak Kita: Steril ato imun?

Keputusan kami mengontrak rumah dikawasan pinggir kota Solo membuat orang tuaku dan sebagian kerabat ‘mengeryit’. Daerah itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuaku dan kerabatku. Hanya berbeda kelurahan saja. Menurut sejarah kota ini adalah tempat yang dikenal dengan black area-nya Solo. Meskipun banyak hal telah berubah, namun pengaruh image terhadap sesuatu ternyata begitu hebat.

Tapi entah kenapa aku menyukainya. Hehe meskipun untuk kemana mana aku –sst... yang sampai tulisan ini dibuat tidak bisa naek motor- harus mencapai mulut gang dan bertemu dengan pasar diatas tanggul tempat banyak becak mangkal.

Aku tak ingin bercerita tentang istanaku itu.Aku akan menceritakannya dibagian lain buku ini. Hal yang paling dikhawatirkan oleh orangtuaku sebagai seorang nenek dan kakek tentu saja pengaruh lingkuangan kami terhadap perilaku para cucu mereka. Dua putri balitaku dikhawatirkan terpengaruh dengan anak-anak kampung .

Hmm… kubiarkan anak-anakku bebas bermain bersama anak tetangga. Biar saja. Memang kadang aku terkaget-kaget dengan nada bicara dan kosakata yang hmm…asing dan kadang ada juga kata-kata kasar yang tersangkut dalam memori mereka. Kebetulan anak-anak tetanggaku tidak ada yang benar-benar sebaya dengan sulungku, Maura. Mereka lebih tua usianya.

Bahkan untuk mengkampanyekan memakai sandal saat bermain pun aku harus sedikit bekerja keras dengan terus menerus menegur anak-anak tetanggaku, menggiring mereka mencuci kaki-kaki kecil mereka di kamar mandi rumahku. Dengan perlahan tapi pasti mereka tau : sandal itu berguna untuk kaki mereka. Agar mereka tak terkena kuman dan tentu saja tidak membawa najis dan kotoran jalanan kerumah.

Aku benar-benar merasakan betapa yang benar-benar penting adalah memberikan mereka imunitas untuk bergaul ditengah masyarakat. Bukan mensterilkan mereka dari proses mengenal banyak anak, sifat dan perilaku. Kuakui, kadang cemas menyelinap saat anakku kadang tidak mematuhi aturan kami.
Imunitas pada anak-anak dapat berupa penanaman nilai, proses dan bukan hasil. Sulit memang, sangat sulit. Bahkan akupun masih belum bisa sepenuhnya bersabar menghadapi anak-anak yang bertumbuh.

Imunitas berupa kejujuran akan menjadikan anak-anak kita sportif. Berani mengakui ksalahan kecil maupun besar nantinya. Kehangatan menerima mereka juga akan menjadikan mereka tetap kembali pada kita.

Mungkin, kesalahan kecil yang sering kita –para orangtua- lakukan adalah mencari kambing hitam dengan menyalahkan teman-teman bermain anak-anak kita. Dalam bukunya Bersikap Terhadap Anak (2000), Fauzil dengan sangat adil mengatakan bahwa mencari kambing hitam dengan menyalahkan teman anak-anak kita pada saat mereka ‘nakal’ atau melanggar aturan bukanlah sesuatu yang efektif.

Sebab akar masalah dan kenakalan tak akan selesai. Sebaliknya, anak-anak kita terbiasa ‘menyelahkan’ dan mensterilkan dirinya dari kesalahan atau kenakalan yang sebenarnya iapun turut serta melakukannya bersama teman-temannya.

Akibatnya? Anak-anak yang disterilkan orangtuanya dari proses bergaul (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) justru akan menjadi anak yang manja, pengadu, dijauhi teman-temannya karena akhirnya kurang bisa berdaptasi dan egois.

Biar saja proses bergaul dan bermain menjadi hak anak-anak kita. Biar saja mereka memahami bahwa disekitar mereka ada anak-anak yang berbeda-beda, ada orangtua yang berbeda-beda, ada permusuhan, ada perdamaian, ada persahabatan, ada memaafkan setelah pertengkaran, ada berbagi. Yang terpenting, saat mereka pulang kembali dalam rengkuhan kita, suntikkan lagi vaksinasi moral, kehangatan, kesiapan mendengarkan cerita-cerita mereka. Insya Allah…kemanapun mereka bermain, semoga kita para ibunya tetap menjadi tempat kembali yang memberinya bekal lagi bahwa hidup tidak pernah datar dan merekapun siap bertemu, bergaul dengan siapapun tanpa menggadaikan prinsip. Semoga.

Buku Tamu & Profil

 Enam tahun yang lalu seorang pemuda  bernama Hatta Syamsuddin memberanikan diri untuk melamarnya. Waktu itu keduanya masih berstatus mahasiswa. Saat ini,  putri solo kelahiran 15 Mei 1981 ini tengah sibuk membesarkan tiga putra-putrinya yang kecil-kecil ; Kuni Maura Ahna ( 4,5 tahun) dan Salma Haniyya ( 3 tahun) dan Farwah Awwab Hafidz (6 bulan).


Sejak SMA telah aktif berorganisasi, bahkan pernah menjadi Ketua PII wati wilayah Surakarta. Mantan aktifis mahasiswa Fakultas Hukum UNS angkatan 1999 ini bukan nama baru di dunia kepenulisan. Buku pertamanya KENAPA HARUS PACARAN (Mizan, 2004) sukses menggebrak pasar remaja dan menjadi best seller di jamannya. Hingga saat ini, setidaknya enam buku telah dihasilkannya. masing-masing :

1. Kenapa Harus Pacaran - Mizan 2004

2. Diary Pengantin - Syamil 2005 ( kolaborasi dengan Izzatul Jannah - Ketua FLP )

3. How To Get Married - Mizan 2005 ( buku kompilasi)

4. Nggak Sekedar Ngampus ( MVM media 2006)

5. Agar Ngampus Tak Sekedar Status ( Indiva Media Kreasi - 2007)

6. Pacaran Enggak Banget ( Indiva 2009)

 Disela-sela kesibukannya mengisi kajian remaja, menulis dan merawat ketiga putra-putrinya, ia  bersama rekan-rekannya merintis rumah baca dan bengkel kreatifitas anak dan remaja BENIH CENDIKIA.  Sebuah perpustakaan kecil dan manis menempati ruang tersendiri di rumahnya. Setiap hari tak kurang sekitar 15-an anak membaca, belajar dan bermain di dalamnya.  Ini memang cita-citanya sejak dahulu. Saat ini, BENIH CENDIKIA telah berkembang lebih jauh menjadi KPPA (Komunitas Peduli Perempuan & Anak) BENIH, yang mempunyai konsentrasi penuh dalan pemberdayaan perempuan, parenting dan dunia anak remaja.


Untuk peningkatan isi blog ini, mohon kiranya para sahabat bisa berbagi pesan, saran dan kritik di bawah postingan ini. Terima kasih ..

Semua ada Masanya

Suatu hari, tepat diusia ke 28 hari kelahiran anak keduaku aku mulai keluar rumah. Hm..sepertinya tak betah juga terlalau lama berdiam diri. Kami mengunjungi sebuah pameran buku dimana suamiku dan seorang penulis senior yang kuanggap sebagai guru, sahabat, kakak, ada disana sebagai pengisi salah satu acaranya siang itu. Sulungku yang belum genap dua tahun, putri keduaku yang baru 20 hari, mengingatkan peran baruku sebagai ibu dua putri.

Sementara menunggu acara dimulai… aku melihat sahabat seniorku yang akrab kusapa mbak IJ itu bak seorang komandan. Putri-putri cantiknya terus mengintilnya dengan celoteh khas anak-anak. Ya..ya… aku seriing melihatnya membawa serta ketiga putrinya di bebrapa acara. Dan siang itu aku berkomentar tentang anak-anaknya yang mulai tumbuh menjadi gadis-gadis kecil yang menyenangkan.

"Kalau lihat kaya' gini,rasanya udah lupa ya mbak .. capek-capek yang dulu?"kataku
"O…iya.Aku menahan 9tahun untuk bisa beraktivitas lagi.Ada masanya Vid…Aku dirumah sampai anak-anakku bisa kutinggal beraktivitas lagi " begitu kira-kira kata mbak IJ waktu itu.

Hhh…yya.ya.. aku jadi teringat saat aku masih lajang.Dahulu aku selalu berapi-api untuk 'mengoreksi' setiap forum dimana saat itu yang kulihatt hanya 'para ustadz' yang hadir menjadi pembicara. Dimana para ummahat? Ustadzah-ustadzah atau para aktivis yang dahulu meratui kampus….?

Ya..ya…ya.. Kini aku merasakan juga.Tentulah seorang istri tidak dapat disamakan dengan seorang lajang, dan seorang ibu disamakan dengan seorang lajang atau yang belum memiliki putra. Disetiap fase hidup kita ada sebuah kewajiban. Ah..tapi itu bukan lantas menjadi apologi.Setiap orang harus berdaya, apalagi jika jalan dakwah itu menjadi pikihan hidupnya. Inilah sebenarnya kunci dari segala gundah yang sering memantik gelisahku,tentang betapa aku merasa 'tidak melakukan apa-apa' setelah memiliki anak.

Seorang ummahat pernah tanpa sengaja 'mencerahkanku' saat kami berdua mengisi sebuah acara, saat itu seorang akhwat bertanya "Kenapa ya bu setelah menikah banyak ummahat yang tidak lagi muncul" Aaah…mirip dengan pertanyaanku beberapa tahun yang lalu. Dan jawaban ummahat itu…."Semua ada masanya…Hanya satu yang tidak boleh berubah:visi dakwah kita.Ya, dakwah itu seperti energi. Dia tidak pernah hilang, dia kekal hanya bentuknya saja yang berubah…"

Hmm… analogi yang sangat tepat. Seseorang yang mengazamkan dirinya bervisi hidup untuk dakwah maka ia akan tetap dapat memanfaatkan peluang dakwah dalam setiap fase hidupnya, tentu dengan proporsi yang berbeda.

Meskipun sebenarnya ada juga para ummahat dan mantan-mantan aktivis muslimah yang benar-benar 'turun mesin' pasca menikah dan berputra. Mereka cenderung merasa 'cukup' hanya mendatangi halaqah pekanan, atau mungkin juga karena para suami mereka tidak begitu memberi ruang pasca menikah. Padahal..dahulu para suami mereka memilih mereka karena mereka seorang aktivis muslimah. Hayoo ngaku dooong!

Akupun akhirnya merasakan perbedaan itu. Sikapku mengasuh si sulung yang kala itu aku masih 'terlalu idealis' untuk membuktikan bahwa meskipun telah menikah aku harus tetap eksis ternyata memiliki dampak berbeda dengan polaku mengasuh anak keduaku dimana aku sudah bisa merasa seleh untuk menanti saat yang tepat untuk beraktivitas lagi. Bahkan entah ada hubungannya atau tidak, kondisi itu turut mempengaruhi karakter kedua putri ku itu.

Begitulah. Mungkin memang ada masanya kita beraktualisasi diri sebagai seorang muslimah, perempuan atau istri dan ibu. Kesabaran meniti semua fase akan menjadikan kita dapat menikmatinya dan optimal. Yang penting, kita tulus dan tidak pernah merasa cukup untuk belajar apalagi jika kita adalah para perempuan muslim yang 'dibesarkan' dalam atmosfer kecintaan terhadap dakwah. Mungkin perlu juga berkomunikasi dengan pasangan tentang pembaruan-pembaruan cita dan citra diri kita.Agar kita tidak termasuk ummahat 'turun mesin' yang bukan tidak dapat memberdayakan diri namun memang tidak mau menyemangati diri untuk itu. Wallahu a'lam
Faidza faraghta fanshob wa ila Rabbika farghob…..