Kamis, 28 Januari 2010

Memancing Rizki di Rumah Kita

Saya dan suami kadang ta’jub dengan kebesaran Allah mengatur rizki. Kadang disaat berbincang berdua, atau melihat anak-anak kami terlelap, atau menyapu pandangan kesekeliling rumah kontrakan kami, kami bernostalgia betapa ‘nekatnya’ kami memulai pernikahan ini.
Suami pernah bertanya “ Kok dulu Umi mau ya? Padahal abi dulu cuma bawa berapa ratus ribu di dompet setelah menikah. Haa..ha..tapi seingatku aku gak pernah minta Bapak (mertua saya,ed) lho, ya secara langsung gak pernah” katanya sok PD

“ Ya…itulah kelebihanku haa.ha.. mau menerima ‘ mahasiswa luar negri nekat ’ yang pulang ke Indonesia cuma buat nyari Istri. Setelah itu ditinggal pula” jawabku bangga.
“ Aku juga nggak pernah tuh seingatku minta Abah sepeserpun sejak menikah. Bahkan kakak juga ya yang bayar registrasi kuliahku tepat dua hari setelah nikah” lanjutku. Dan orangtua saya pun sejak putrinya dilamar oleh seorang ‘mahasiswa nekat’ itu sampai dengan hari ini tidak pernah menanyakan apa pekerjaan calon suami putrinya, penghasilan, atau dengan bahasa ekstrim akan kau beri makan apa anakku hai calon menantu? Itu juga yang membuat suamiku salut pada orangtua saya .he..he..
Perbincangan tentang kenekatan-kenekatan (atau lebih tepatnya ‘tawakkal’ aja ya?) dalam hal rezeki sering kami bahas dan sering kami buktikan bahwa rezeki benar-benar bukan semata hasil kita mengucurkan keringat.

Saat kami akhirnya memutuskan mengontrak sendiripun, suami saya adalah seorang lulusan universitas luar negeri yang baru meraba-raba rezeki di negeri sendiri. Beliau pun ‘orang baru’ di lingkunganku. Tapi entahlah, keyakinan pada pertolongan Allah bahwa kami akan meretas sukses itu lebih kuat. Saya juga tidak pernah merasa risau dengan uang belanja yang diberikan suami.he..he.. Ini sebenarnya ‘rahasia dapur’ tapi saya banyak melihat para istri yang terlalu cemas dengan pemberian suami entah merasa tidak cukup, atau ya... karena terlalu banyak keinginan. Apakah saya juga tidak? Ha..ha.. bukan begitu.

Saya pun seperti kebanyakan perempuan, senang dengan pemberian lebih suami. Namun rasanya kalau sampai terlalu menuntut suami belum pernah saya lakukan. Ya…kalau sekedar ‘sindiran-sindiran’ halus bernada guyon pernah saya lakukan. Tapi ada satu pujian yang saya rasakan tulus dari suami yang hingga kini menjadikan saya GR dan optimis bahwa saya masih dalam frame ‘istri yang bersyukur’ (he..he.. GR sekali ) ya. Begini kata suamiku “ Abi salut lho, Umi gak pernah terlihat cemas dengan ‘uang didompet’ umi –yang pasti jumlahnya tidak banyak- bahkan saat Abi berada diluar kota”. Hm.. itu yang membuat saya selalu percaya bahwa saya akan dicukupkan oleh Allah.

Benarlah saat Rasulullah mengatakan bahwa menikahlah maka kau akan kaya. Atau jaminan Allah tentang rizqi yang Dia sebarkan bagi siapa saja. Kecemasan tentang rizqi secara berlebihan akan menipiskan tawakkal kita pada Allah.

Entahlah, pernikahan mengajarkan pada saya untuk mempercayai bahwa rizqi yang mengalir pada kita berbanding lurus dengan usaha dhohir (nyata, contoh: bekerja) maupun non-dhohir. Rizqi kita dan keluarga kita kadang perlu ‘dipancing’ dengan amalan-amalan dan niat yang benar-benar lurus bahwa ada fadhilah-fadhilah (keutamaan) yang akan kita dapatkan dari amal ringan yang kita lakukan.

Memancing rizqi dengan banyak bersedekah, memberi makan orang-orang yang meminta pada kita, berbuat baik pada pembantu dan sesekali melebihkan upah mereka dengan niat sedekah kami lakukan untuk ‘membersihkan’ siakpa kita yang mungkin menyinggung mereka. Begitu pula dengan memperhatikan orang-orang lemah disekitar kita dengan memudahkan urusan mereka. Saya dan suami sering mencoba-coba begitu. Disaat kami dalam keadaan keuangan yang ‘tipis’ dan kami justru memberi atau membantu orang yang tiba-tiba datang dan meminta tolong, subhanallah! Allah menggantinya dengan cara yang unik dan lebih baik.

Begitu pula kami sering mengatakan bahwa hidup kami ini ‘pas-pasan’ he..he… Artinya ‘pas kami butuh, pas ada’. Luar biasa. Allah memang menjamin setiap kebutuhan kita. Yang harus kita lakukan hanyalah berikhtiar dan tidak malas serta bersyukur. Rizqi dirumah kita pun bermacam bentuknya. Mungkin kita tidak punya uang cash yang cukup banyak di dompet kita, atau tabungan yang besar di rekening bank. Tapi lihatlah, saat anak-anak kita sehat, tumbuh cerdas, suami kita bertanggungjawab, kita pun sehat dan dapat merawat keluarga?! Apakah itu bukan rizqi yang besar? Sementara mungkin kita melihat saudara-saudara kita diuji dengan anak yang sakit, kendaraan yang rusak atau ujian yang menyebabkan rizki ‘dhohir’ yang kita sebut ‘uang’ itu keluar untuk pembiayaan.

Sungguh…menikah adalah pelajaran luar bisa tentang menjaga izzah dan keberanian untuk menghadapi hidup kita sendiri, menciptakan keberkahan dari dalam rumah kita melalui kerjakeras dan syukur. Selamat berjuang!