Senin, 28 Maret 2011

Mengkondisikan Anak di Forum/Acara ‘Serius’


kasus 1 :
 ”prang!!!!” tutup toples itu akhirnya pecah oleh anak seorang temanku.Sebelumnya si anak mengaduk-aduk isi toples, berpindah dari satu hidangan ke hidangan lain, tanpa dihabiskan! Kami yang dari tadi miris dan melihat si empunya rumah juga ’cemas’ namun pekewuh negur  akhirnya hanya bisa saling pandang dan menggelengkan kepala. Teguran kami sedari tadi tak meredakan tingkah super ngglidisnya, sedang ibunya? hanya berkomentar ”Nah, mbak nana ( bukan nama sebenarnya), pecah kan?Maaf ya Bu...” Dari tadi ngapain aja buuu??? Ada lagi yang curhat, tanaman hias kesayangannya tercabik-cabik karena tamu kecilnya tidak dihandle dengan baik oleh ibunya.
kasus 2:
Dari tadi beberapa anak  itu kok gak bisa diam ya. Naik turun panggung, mengganggu pembicara (ustadz) Sang ustadz sampai agak jengah dan  wajar jika kehilangan mood dan konsentrasi. Forum yang tadinya menjadi harapan kami menimba ilmu dan merefresh ruhiyah kami, sontak menjadi ajang teriakan, lari-larian. Sebalnya, orangtua anak-anak itu –padahal datang berdua- tidak aada yang beranjak dan mengajak anaknya menjauhi arena atau memberi kegiatan ’alihan’. Diam, hanya ragu-ragu dan memanggil-manggil, atau –bahkan- asyik mengobrol. Ndilalahnya (solo banget) selalu mereka yang jadi ’bintang panggung’.Hiiiih kalau saya orangtuanya, sudah saya angkat anak itu dan saya korbankan tempat duduk saya.Resiko mengajak anak kan?
kasus 3:
Diacara pernikahan seorang kerabat. Seorang anak memaki anak-anak saya dengan berteriak-teriak .”Ini kursiku semua, jangan duduk disitu!!! Jelek kamu”. Selanjutnya si anak tadi meneriaki ibunya, membuat onar, mengacak-acak sup. Ibunya yang malu semakin  panik. Saya hanya memberi isyarat anak-anak untuk diam dan pindah.Jujur saya malas menegur. Anak saya yang memang dari siang sudah saya kondisikan jika  jadi ikut, untuk  duduk ditempat yang lapang, dideretan belakang dan ambil kursi dekat meja agar bisa makan dengan santai. Anak-anak heran dan berbisik ”mungkin dia tadi belum dikasih tau  mamahnya ya, Mi?” Yang tengah berkata ”Kok dia gitu  ya mi, itu mamahnya kan malu ya. ini kan kursinya bukan punya dia ya, kan bukan rumahnya” hehe

    Begitulah.Itu tiga kasus paling sering saya jumpai. Anak-anak di forum serius orangtua.Apakah rapat sekolah, acara-acara pengajian pekanan, seminar (kecuali yang emang boleh bawa anak), undangan pernikahan atau sekedar bertamu. Yah sebenarnya ini secara umum tentang mengajak anak bepergian dan bertandang diluar rumah, tapi saya senang memakai judul diatas
    Sebenarnya, anak-anak memiliki dunia bermain dan waktu konsentrasi yang bisa kita pelajari dan kita kondisikan. Sikap dan attitude diluar rumah pun bisa kita biasakan. Mengajak anak-anak di forum yang ’bukan’ milik mereka menawarkan konsekuwnsi yang mestinya telah kita prediksikan. Bukan untuk kenyamanan kita saja, tentunya, tapi untuk orang lain di forum yang sama. Ya, Saya pun sadar, mungkin kita terpaksa mengajak anak-anak di forum yang serius dan penting  karena tidak ada pihak lain yang bisa kita titipi selama kita pergi. It’s oke sebenarnya, itu pilihan namun sangat perlu kita persiapkan. Semoga sharing pengalaman ini sedikit membantu
1. Pra kondisi itu perlu
    Sebelum mengajak anak-anak, pastikan bahwa mereka mengetahui acara yang akan mereka datangi. Beri gambaran, kemudian beri pilihan. Jangan mendadak mengajak atau juga meninggalkan mereka. Maaf, biasanya saya memberi tahu jadwal acara keluar rumah pada anak-anak sehari sebelumnya. Anak-anak mengerti bahwa saya pengajian pekanan di hari Senin, rapat sekolah mereka, tugas di Posyandu, pergi dengan abi dan semua kegiatan saya. Saya mencoba mendiskripsikan satu-satu dan mengusahakan memberi mereka pilihan. Tidak setiap saat karena sekarang anak-anak sudah ngerti bahwa mereka bisa ikut atau tidak.
    Misal jika saya pengajian pekanan. Saya bilang ke mereka begini
Saya:”Umi besok pengajian, halaqoh”
Anak-anak:”Liqo’ ya mi? Dirumah sini atau di rumah teman umi?”
Saya: ”Dirumah teman umi ?”
Anak-anak :”Rumahnya luas atau tidak? Kalau rumahnya luas, kami boleh ikut kan kata umi?Kalau rumahnya kecil ya..kami gak ikut”
Saya: “Ya, boleh.Jika kamu ikut, adek umi tinggal sama mbak ros (atau pengasuh), dan kalian bersiap karena umi tidak mau terlambat. Tapi sampai hampir maghrib lho acaranya dan disana ada aturan, kalian tidak mengganggu umi ataupun ibu-ibu yang lain. Karena umi disana mengaji, bukan bermain santai. Kalian bawa persiapan yang biasa kalian bawa untuk mengisi waktu. “ Maaf saya memang terbiasa mengajak anak2  berbicara’ serius untuk hal serius
Anak-anak “Hm... sampai maghrib ya.Berarti aku gak bisa nonton TV champion Zona Juara ya? Trus kalo misalnya aku gak ikut? “
Saya:“Ya, kalian bisa membuat snack sore ( dengan bahan seadanya.Biasanya minimal saya mnyediakan nutrijel ), mandi agak nanti, iqro’ dengan mbak Ros, nonton Zona Juara, atau jika Yangti Lia (tantenya Suami)nanti datang dan mengajak kalian ke alun-alun, kalian boleh juga ikut, asal tidak sampai maghrib.Gimana? Silakan aja pilih”
    Biasanya si sulung memilih stay at home, sitengah juga ikut kakaknya. Atau ikut saya. Sayapun siap dengan pilihan anak-anak. Jika mereka akhirnya ikut dan ‘bosan’ mereka akan ingat aturan saya dan biasanya lumayan bisa agal bersabar.Yah, semua pilihan ada akibatnya itu prinsip saya. Itu selalu begitu dalam tiap acara yang saya ikuti.
2. Persiapan
    Saya terinspirasi dengan seorang teman mengaji saya. Ia seorang dokter.Saat itu seingat saya, putranya yang sebaya dengan sulung saya berusia 2 tahun dan si sulungnya berusia 5 tahun (kalau tidak salah). Saat pengajian beliau membawa bekal makan sore lengkap nasi dan sayurnya, dengan sendok dibungkus kantong plastik, terlihat higienis dam cermat. Saya senang melihatnya dan saya ingat-ingat terus. Ternyata, itu adalah cara beliau untuk menjaga ’jadwal makanan’ anak-anak. Luar biasa. Begini jelas beliau setelah sekian lama saya ingatkan lagi peristiwa itu, ”anak-anak usia dibawah 7atau 8 tahun umumnya belum bisa menahan lapar, bu.Jadi jika tidak terpaksa, jangan mengajak pergi menabrak jam makan. Jika itu terjadi, bawakan bekal, agar jadwal makannya tidak terganggu” Itu salah satu ilmu yang saya dapat dari ibu-ibu yang cermat. Pun  demikian ada pula –pelajaran – sebaliknya. Saya pernah melakukan ketidaktelitian dalam mempersiapkan anak-anak saya keluar rumah, saya lupa membawa baju ganti.
    Ya, jika memang kita memilih anak-anak ikut ke forum dan acara kita, persiapan yang cermat akan membantu kita untuk tenang. Perlengkapan pribadi (baju ganti, popok/diapers/celana cadangan, tisue basah, handukkecil, obat-obatan sederhana , minyak telon, bekal makanan-minuman), perlengkapan mengisi waktu ( buku cerita, majalah, buku gambar dan crayon, kertas lipat, lem, gunting, play dough, plastisin, dll)
    Siapkan pula kemungkinan terburuk jika pra kondisi tidak berhasil ditengah acara. Misalnya, cepatlah membuat anak tenang dan atau carilah tempat duduk yang memungkinkan kita segera mengajak anak keluar arena saat mereka bosan
3. Menghandle Anak Bersama
    Jika kita memang datang di acara tersebut berdua, dan memang telah disepakati untuk tidak menitipkan anak-anak pada pihak lain (hehe) ya semestinya kita dan pasangan dapat bekerjasama. Terus terang, saya dan suami biasa melihat substansi acara untuk memutuskan mengajak anak-anak atau tidak. Jika kami memiliki pengasuh, atau tante kami longgar dan bersedia mengajak dua putri tertua kami, ya kami memilih tidak membawa mereka. Bukan apa-apa, kami mencoba mempertimbangkan apakah forum ini bisa ’dinikmati’ anak2 atau tidak. Apakah kami bisa menghandle ank-anak atau tidak, apakah kehadiran anak-anak kami mengganggu forum atau tidak.
    Atau...jika kami memang harus membawa anak ke sebuah forum, semua persiapan harus prima dan kami harus bekerjasama menghandle mereka. Saya kadang gemas melihat suami istri, membawa anak –lebih dari satu- dan hanya si ibu yang repot dan kalangkabut saat anak-anak mereka rewel. Sang ayah hanya duduk bersedekap atau bahkan tidak hafal tangisan dan amukan anaknya hehe.
    Kadang-juga- orangtua tidak peka bahwa ke’aktifan’ anak-anak mereka sebenarnya mengganggu orang lain. Mungkin, mereka anggap ini sebuah bentuk ’keberanian’, kreatif atau lucu. Padahal, anak-anak mulai usia 2tahun sudah dapat diberi tahu tentang adab dan kesopanan. Saya termasuk yang sering risih dengan pemandangan hiruk pikuk anak-anak di forum serius meskipun tentunya saya harus menahan diri.Orangtua harus jeli saat membawa anak-anak apakah tingkah anak mereka membahayakan, merisihkan atau bahkan membuyarkan konsentrasi. Apalagi jika mereka memilih tidak menitipkan anak-anak ke tempat hadhonah atau children area.Sejauh ini  selalu saya tanamkan pada anak-anak bahwa setiap tempat memiliki aturan, jadi jika mereka ikut acara kami  mereka tau apa yang harus mereka jaga ditempat berbeda. Hal itu sangat kami ingatkan terus. Biasanya kami pun memberi 'reward' jika mereka bersikap disiplin dan menyenangkan, mentaati perjanjian hehe
 
4. Hadhonah dan Children Area : Rekomendasi Untuk Penyelenggara
    Anak-anak dibawah lima tahun memang tak bisa berkonsentrasi dalam waktu lama. Maka jika kita menyelenggarakan acara atau dapat mengusulkan pada penyelenggara, jasa hadhonah (penitipan anak dan pengasuhan) dan children area mestinya harus diprioritaskan. Sebab, saya menyadari semua orang ingin datang kesebuah acara penting dan memang tidak semuanya bisa meninggalkan anak-anak dirumah. Maka tim menghandle anak-anak disebuah acara (misal daurah, seminar, atau pengajian bahkan) harus ada.
    Suami saya pernah dengan tegas meminta panitia dan para orangtua disebuah acara untuk menghandle dan menenangkan anak-anak. Secara, sesion beliau mengisi waktunya siang hee. Ya,ya... penyelenggara yang profesional akan mencoba memfasilitasi children area di forum serius. Lalu bagaimana dengan orangtua yang –maaf- kadang ngeyel untuk tetap mengajak anaknya didalam forum? Orangtua sebenarnya bisa memasukkan poin ini pada tahap ’pra kondisi’ dengan mengatakan pada anak-anak ”jika kamu  mau ikut, nanti disana ada tempat untuk anak-anak kamu disana ya atau jika tetap ingin sama umi kamu bisa tenang” dan jika kita akan menitipkan anak-anak di children area atau hadhonah, usahakan datang lebih awal agar anak enjoy dahulu dan tidak kaget

Begitulah, mungkin tulisan ini terkesan ih mau ajak anak aja kok ribet. Tapi jujur, tulisan ini sudah mengendap beberapa waktu. Terus terang dengan sangat jujur saya akui saya sering merasa terganggu dengan acara yang sudah dipersiapkan, kita dapat amenggali ilmu, pembicara pun sudah didatangkan jauh-jauh dan tentu sudah mempersiapkan diri, ternyata nuansa tholabul ilminya gak dapat dan bahkan rusak karena teriakan anak-anak. Semoga ini nasehat untuk diri saya sendiri.Salam inspiratif!

Kamis, 17 Maret 2011

Sebab inilah Kampusku Seumur Hidup!

Sarjana Rumah Tangga. Itu gelar baruku sejak tujuh tahun yang lalu. Kuliah seumur hidup . Setara dengan S1, S2, S3 bahkan nantinya. Dimana kampusku?  Dirumah. Teman belajar dan dosen-dosenku ku adalah suami, anak-anak, mertua, orangtua, ipar, tetangga, tukang sayur, tukang ikan, bahkan pembantu. Keputusan yang kuambil sejak aku masih nikah nyambi kuliah. Dari sinilah cerita ini bermula. 

           Aku seorang anak perempuan yang biasa-biasa saja, namun aku bangga bahwa abah dan mamah ku tidak pernah membuatku patah asa. Siapa yang tak bangga pada orangtuanya? Jika ada semoga itu bukan anda dan saya. Dibesarkan sebagai sulung aku menjadi sangat dekat dengan mamah. Beliau  seorang pekerja keras dan selalu kreatif. Pembelajar otodidak yang bangkit dari harapannya untuk sekolah lebih tinggi dari sekedar SMA. Aku menikmati masa kecil yang indah karena memang aku belum mengenal beban hidup. Baru aku tau cerita-cerita sedih dan keprihatinan saat aku menginjak remaja. Haha. Sejak usia SD –seingatku- ibuku mengelola rumahmakan yang akhirnya berkembang pesat. Tapi sejak saat itu ada sebersit  sedih tiap aku pulang sekolah : rumahku gembokan. Kunci dititipkan ke tetangga, atau aku pulang  dulu kerumah nenek, atau aku menyusul ke rumah makan ibuku yang memang tak terlalu jauh jaraknya. Tapi itu membekas. Sampai tiga rumah makan sukses dikelola ibuku. Aku bangga karena ibuku tetap profil hebat dalam kenanganku. Mama saya punya berjuta ide yang terus membelah dan beliau seorang yang selalu mendukung cita-cita kami.Tapi, tetap saja kenangan masa kecil sampai remaja itu membekas.Salah satu yang turut  Mengkristalkan cita-cita yang benar-benar saya yakini:        Aku tak mau bekerja diluar rumah, kelak!
        Begitulah. Seolah takdir memang menuntunku  pada pilihan itu. Menjadi ibu rumah tangga. Menikah saat masih skripsi, begitu awalnya. Saya bahkan sempat tidak enak hati saat ayah saya secara ‘terselubung’ sebenarnya masih ingin anak sulungnya ini meniti karier profesional sesuai ilmu hukum yang ia punya. Mungkin ayah saya pengen lihat putrinya yang ‘aktivis’ ini jadi pengacara, atau notaris begitu . Tapi setelah menikah, saya bertekad bahwa saya akan sukses dengan menulis, mengasuh anak-anak, mendukung karier dan dakwah suami saya. Saya yakinkan abah dan mamah saya bahwa saya akan terus berkarya, menulis dan sukses dengan cara yang lain

       Setelah menikah saya masih sempat merasakan sisa-sisa semangat dan idealisme masa muda hehe. Saya masih ingin tetap beraktivitas diluar rumah, mengisi kajian-kajian, kesana kemari sambil membawa anak pertama saya. Apalagi setelah menikah dan melahirkan, saya sempat berpisah dengan suami yang menempuh kuliahnya di Sudan. Tapi setelah kelahiran anak kedua dan mengontrak rumah sendiri, saya mulai merasakan nuansa berbeda. Saya sudah mulai menyadari bahwa ada peran dan target berbeda, ada amanah dan fokus berbeda, pun ada peran dakwah berbeda pula saat kita telah menjadi seorang ibu dan istri. pomah, begitu orang Jawa bilang.Saya mulai menikmati ada dirumah, ngurus anak-anak dan segala hiruk pikuknya.

         Saya juga mulai bermasyarakat, membuka rumah baca, mengasuh anak-anak saya dan belajar sedikit demi sedikit mengatur rumahtangga saya. Saya benar-benar belajar mandiri, menyelami problematika rumahtangga dan berinteraksi dengan banyak pihak. Saya pun belajar benar tentang bagaimana bertawakkal, belajar qona’ah, menjaga izzah suami dan keluarga saya. Ya, memang kadang sempat terbersit mengapa ya saya hanya dirumah, tidak berpenghasilan, sementara cita-cita saya banyak sekali, haha. Tapi, saya segera dapat mengubah pikiran-pikiran negatif itu menjadi lebih positif. 

Inilah Kampusku
Saat menjelang kelahiran anak ketiga saya benar-benar merasakan puncak semangat sebagai ibu dan istri. Mungkin karena kata orang, memiliki anak lebih dari dua berarti kita benar-benar jadi ‘orangtua’.Ya, karena kita tak lagi bisa bawa anak satu-satu dengan suami, hehe. Kita harus bisa mengatur segalanya seluwes mungkin, menghayati perbedaan karakter anak-anak kita. Terlebih saat anak ketiga lahir, dengan penuh ketulusan suami saya menawarkan beberapa pilihan apakah saya ingin sekolah lagi, berbisnis toko kue atau saa ingin aktif di LSM sambil mengasuh anak-anak? Intinya suami dan saya berkomitmen untuk ’istirahat’ dulu , hehe apalagi persalinan cesar anak ketiga kami memang mengharuskan saya istrirahat dulu. Dan saya memilih yang ketiga : meretas KPPA Benih, LSM yang saya rintis bersama teman-teman saya, fokus mengasuh anak-anak dan menulis sebagai refreshing intelektual saya, serta 'cuap-cuap' membagi ilmu pengasuhan anak yang saya tularkan ke kampung-kampung.sederhana alasananya : karena mengasuh anak benar-benar investasi masa depan.

Ya, ini pilihan yang membahagiakan saya. Saya memang memiliki keinginan besar untuk kuliah lagi atau berbisnis kecil-kecilan. Tapi semua saya tunda. Saya melihat bahwa mengasuh anak-anak kita sampai dengan karakter dasar mereka terbentuk tidak dapat setengah-setengah. Saya mungkin belum menjadi ibu yang hebat.Tapi setidaknya menurut saya, senantiasa ada saat anak-anak memanggil dan membutuhkan saya adalah suatu masa yang tidak akan dapat saya tukar dan ulang lagi. Mungkin saya juga belum menjadi ibu yang sabar, tidak pemarah dan kadang pun masih bete dengan kejenuhan. Tapi, saya benar-benar belajar dari rumahtangga saya ibarat seorang ’murid’ atau mahasiswa. Tiap hari mata kuliah baru dalam hal pengasuhan dan manajemen rumahtangga saya dapatkan justru dari anak-anak saya. Saya belajar dari rumah. Dan inilah ’aktivitas’ kuliah saya dirumah





1. Saya  dan  ’Civitas Akademika’ di Kampus saya


            Di Universitas rumah tangga saya berteman sekaligus menimba ilmu dari semua. anak-anak saya, suami, pembantu, mertua, adik ipar, kakak ipar, penjual sayur, penjual ikan, tetangga dan guru-gur u anak saya. Yang paling utama ya keluarga inti : anak-anak, suami dan pembantu.


            Saya menikmati hari-hari saya bersama mereka sebab tiap hari ada mata kuliah baru yang saya dapatkan. Stay at home mom adalah pilihan saya untuk terus belajar setiap hari dan waktu.Tidak ada hari libur, yang ada aktifitas belajar tanpa jeda. Mengenal dan terus memperbarui rasa cinta pada ’civitas akademika’ saya adalah kunci dari semangat saya untuk tetap ada disini : dirumah

2. Membuat Jadwal Kuliah dan Skill Aktivity

            Saya terinspirasi dengan tulisan sahabat saya, Jazimah al- Muhyi yang suatu hari menulis sebuah catatan tentang jadwal sehari-harinya bersama anak-anak dan sebagai istri. Saya senang karena dari sana sebenarnya hikmah tentang kata ’belajar’ itu kita dapat.

            Para ibu yang tetap dirumah memiliki rutinitas yang hebat, 24 jam nonstop. Saya merasakan itu. Jadwal-jadwal kuliah di ’universitas’ saya ini kami buat sendiri. Saya harus berkomitmen. Awalnya saya memang belum bisa mengatur ritme. Jujur, saat pertamakali menikah sayapun harus beradaptasai (kayak ospek eheh). Memilih menjadi stay at home mom berarti siap untuk menghadapi rutinitas yang –kadang- menjemukan.
            Namun seperti halnya ’ngampus’, saya tidak mau menjadikan rutinitas itu sebagai pekerjaan.Namun sya menjadikannya kerier,jenjang-jenjang dan kualitasnya  harus saya lampaui dengan manis dan terus bertambah baik , meskipun ’pekerjaan’ dan aktivitasnya sama tiap hari.

            Sayapun mulai mengatur jadwal mata kuliah tiap hari. Misal untuk mata kuliah ’nutrisi’, maka saya setiap hari harus menyusun menu yang baik dan bergizi selain lezat. Saya harus memasak dengan kualitas yang bertambah baik dengan pengetahuan yang semakin baik pula tentang masak, memasak. Itu misalnya. Setiap hari dosen-dosen kecil saya dan segala peristiwa dirumah dan sekitarnya pasti menjanjikan mata pelajaran baru. Dan...saya mencoba lulus dengan baik!

3. Mencari Referensi ’Kuliah’ : Memanfaatkan Teknologi dan Jaringan

            Siapa bilang ibu-ibu kuper? Saya mencoba  tidak. Mmeutuskan menjadi stay at home mom, tidak menjadikan saya katak dalam tempurung. Saya tetap mengakses informasi, menjalin hubungan dengan dunia luar yang positif. Untuk referensi ’kuliah’ dirumah, suami saya menyediakan fasilitas internet. Saya pun memiliki teman-teman yang luar biasa.

            Berkumpul dan berbicara bagi seorang perempuan adalah setengah dari solusi segala permasalahan. Saya bertemu dengan ibu-ibu hebat berkat teknologi dan jejaring sosial. Saya membuat pengajian dirumah, berbagi dengan ibu-ibu dikampung.Saya cari refernsi agar ilmu mengasuh anak, memenej rumahtangga dan menjadi perempuan yang tetap berkarya serta melek wawasan selalu berjalan seiring.Saya tau, saya harus terus menyegarkan intelektual, ruhiyah dan berbagi pengalaman dan itu saya lakukan bersama banyak perempuan dan ibu-ibu hebat : sahabat-sahabat saya.

4. Praktikum : Memasak,  Membuat Mainan, Membuat Jadwal Micro teaching, Outing Class

            Di kampus rumahtangga ini saya belajar tentang banyak hal, mempraktekkan ilmu dari  mencoba aneka resep masakan, membuatkan mainan anak-anak saya dengan barang-barang bekas, membuat jadwal belajar anak-anak, mempraktekkan teknik-teknik pengasuhan anak (parenting) dan bagaiamana mengatur detil-detil urusan rumah

            Sayapun berpartner dengan asisten rumahtangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang tak berjeda ini. Rumah bersih, anak-anak sehat dan bebas berekspresi dirumah, agar tidak berulah diluaran, hehe

            Sesekali kami lakukan outing class : mudik, jalan-jalan diluar rutinitas, mengunjungi teman-teman, pengajian. Intinya, hampir 80% ilmu kita dipraktekkan dirumah. Bagaimana kita bersikap, mengendalikan emosi, adil, toleransi dengan tetangga, saling memberi hadiah pada anak-anak dan para sahabat, membagi masakan kita, bersedekah, mengajarkan anak-anak baik buruk dan berbagai ketrampilan hidup. Itu semua adalah pelajaran berharga untuk kita. Kita pun akan semakin terampil

5. Menulis Resume Aktivitas , Nge- Blog dan Membuat buku: Refreshing Intelektual, Berkah Ilmu
        Setiap orang harus menjadi penulis. Itu menurut saya. Tak terkecuali ibu rumahtangga. Menulis mendokumentasikan pengalaman dan prestasi kta sekaligus sebagai bahan evaluasi sejauh mana kita berproses. Setiap hari aktifitas menulis harus saya lakukan.
            Senang rasanya saat kita menuliskan banyak hal, karya dan bisa bermanfaat bagi banyak orang. Saya berkomitmen untuk me-refresh pikiran saya dengan menulis. Menulis di facebook, blog atau menulis buku menjadi sebuah jalan bagi saya berbagi berkah ilmu. Maka saya mengajak para emak untuk menulis. Ya, ya ya..universitas rumahtangga menjadi bahan penulisan yang kaya dan selalu segar.Maka, bagi saya menuliskannya  adalah keniscayaan agar saya semakin mencintai tempat belajar saya ini : rumah saya.


Begitulah, saya selalu optimis untuk  menjadi perempuan yang mencintai kariernya sebagai ibu rumahtangga, sebab pilihan menjadi istri /ibu yang tetap dirumah dan produktif akan menjadi  sebuah prestasi dihadapan anak, suami dan Sang Maha Mencintai : Allah SWT saat kita tulus, sadar dan mau terus memperbaiki diri. Dan jika sudah begitu, keberkahan semoga dapat kita sebar di jagad semsta ini. Amiin.

Sabtu, 05 Maret 2011

Puding Pisang Creakers Rasa Coklat Rempah

        Ini resep  gampang sebenarnya. Ada sisa creakers (kita dirumah turun menurun nyebutnya 'gabin' heheh) atau bisa tuh pake roma malkist. Trus pas ada pisang buah gak tau nih namanya jenis apa, ya sebenarnya agak sepet pisangnya kalo dimasak.Tapi kok ajib ya pas udah jadi gak terasa. So, direbus dulu ternyata kuncinya. Dan masih dengan nuansa rempah tentunya

       Pas udah jadi ternyata tandas dalam sesore. Untungnya udah sempet diabadikan. Oke mungkin resep simple ini boleh dicoba buat makanan selingan atawa desert, disajikan dingin agak2 padet gitu lebih enak, kaya es krim kata anak-anak. hehe.Di foto itu penampakan bolak baliknya prends

Bahan
2 bks nutrijel coklat (kalo pake jeli tuh teksturnya lembut. kalo agar-agar kok kayaknya keras ya)
1 liter susu segar
gula pasir 150gr atau sesuai selera
Pisang kepok kuning atau raja 3 buah dipotong bulat-bulat atau sesuai selera yang penting tipis
Creakers 7 keping atau sampai memenuhi dasar  loyang 20 x20 cm (aku pakai Khong Guan atau Roma Malkist yang plain)
1sdm margarin
1 kuning telur, kocok
1sdt garam
10 cm kayu manis
4 cengkeh
air 200cc untuk rebusan pisang

Cara buatnya:
1. Rebus potongan pisang dengan 200 cc air, kayu manis, gula 50gr, cengkeh sampai layu
2. Tata didasar loyang berurutan : pisang rebus, lalu creakers diatasnya
3. Campurkan nutrijel coklat, susu segar, sisa gula, garam, rebus. Setelah mendidih, campurkan sedikit ke kocokan telur, satukan
4. Campurkan margarin
5. Tuang sesendok sayur, rebusan puding, tunggu sebentar, lanjutkan sesendok2 (jangan langsung dituang ya...ntar jadi ngambang deh pisang n creackersnya
6. kalo udah 15 menit, baru tuang semua adonan puding
7.Biar kan dingin dan padat, masukkan lemari es
8.Potong-potong dan sajikan sebagai makanan selingan atau penutup