Kamis, 09 Februari 2017

Berani Menikahkan Anak-anak Muda

Masih tentang muhasabah 13 tahun pernikahan. Setiap saya mengingat pernikahan kami, saya selalu trenyuh dengan para orangtua kami. Abah dan almh. Mamah saya, dan Bapak Ibu mertua yang sudah lebih dahulu menikahkan 2 kakak tertua suami, juga di usia dini. Para orangtua kami yang benar-benar mengikuti perintah Allah
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..[An-Nur/24:32 ]. 
Dan, para orangtua kami yakin benar dengan hadits Rasulullah,
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ

"Ada tiga golongan, Allah mewajibkan atas Dzatnya untuk membantunya: (yaitu) Orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah untuk menjaga kehormatan diri dan budak yang berusaha membeli dirinya sendiri hingga menjadi orang merdeka ". [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dll. Lihat Shahihul Jami' no. 3050]

Menikahkan para muda saat ini, bukanlah hal mudah. Tuntutan para orangtua terhadap kemapanan calon mantu atau anak mereka sendiri menjadi salah satu alasan para pemuda sholih dan sholihah belum mensosialisasikan rencana menikah mereka, atau menunda-nunda karena khawatir ketemu calon mertua namun terlanjur memberi PHP pada calon belahan jiwa , akibatnya? Pacaran bertajuk pacaran Islami, pacaran meski tak berinteraksi fisik, atau ‘cinta dalam diam’ pun terjadi. Duh..

Untuk itulah, setiap kami mengingat jasa orangtua kami diawal-awal menikah hingga saat ini, rasanya salah satu yang menjadi sebab keberkahan pernikahan kami adalah keikhlasan mereka menikahkan kami dengan penuh kepercayaan dan ketawakkalan akan jaminan rezeki dari Allah untuk kleuarga anak-anaknya.

Keberanian para orangtua kami bukan hanya karena mereka paham bahwa tidak ada ‘pacaran’ dalam tuntunan agama ini. Juga, bukti bahwa  pengaruh dakwah keluarga begitu memegang peranan penting dalam keluarga besar kami. Saya mencoba membuat poin-poin pelajaran dari ‘keberanian’ orangtua kami dalam menghantarkan putra putrinya menikah di usia muda,

1Keikhlasan

Banyak pasangan muda seusia saya saat itu (13 tahun lalu) yang terpaksa meniti ‘karier’ pacaran begitu lama karena orangtua mereka menuntut anak-anak mereka sukses berkarier, menunda pernikahan, bahkan mensyaratkan beberapa ‘balas budi’ terhadap para orangtua jika memang ingin menikah muda. Saya heran saat mendengar curhatan-curhatan mereka. Apakah orangtua saya tidak ingin saya berkarier tinggi , nikah setelah lulus kuliah dulu dan bekerja? Sempat, tapi tidak lama. Abah saya bahkan pernah menjodohkan saya saat saya usia 20 th. Hihi. Tapi saat itu saya yang menolak, karena si calon meminta saya untuk berhenti kuliah dan mengikuti beliau. OOOh noo. Bagi saya menikah muda, tidak boleh meninggalkan hak orangtua atas saya : menyelesaikan kuliah.
Maka, pelajaran yang saya ambil, orangtua kami berdua sangat ikhlas mendidik kami, membiayai kuliah kami, tanpa meminta ‘balas jasa’ dan syarat saat jodoh kami sudah datang. Satu hal yang ditanyakan Abah saya sekali saja saat ‘berproses’ akan menikah ; “Terus gimana nulis bukunya? “ Jawab saya “ Insya Allah aku tetep nulis buku Bah, bahkan mungkin bisa lebih produktif nulis” hehe

2Kepercayaan

Hal lain yang saya syukuri saat kami berdua mengutarakan niat menikah adalah kepercayaan orangtua pada keputusan kami. Orangtua menghargai proses ‘pencarian dan perjodohan’ kami yang tidak mengenal pacaran. Mereka sangat percaya dengan kesungguhan kami untuk meniti biduk rumahtangga yang mandiri di usia muda. Kepercayaan itu dibuktikan dengan tidak menuntut  dan mempersulit kriteria pasangan hidup kami. Asal nasabnya baik, paham agama dan bertanggungjawab. Bahkan, ayah saya nggak nanya detil lho calon saya ‘kerja’ apa buat menafkahi anak gadisnya ini

Disinilah kami justru sangat menjaga amanah itu hingga saat ini. Kami tidak ingin menampakkan apa-apa yang sekiranya menggelisahkan orangtua. Bahkan, biaya kuliah semester akhir pun saya nggak mau lagi dibayarin ayahanda karena sudah menjadi tanggungjawab suami doong.

3Support Finansial

Ini poin yang sering menjadi masalah bagi para pemuda untuk menikah. Kami pun mengalaminya. Menikah disaat masih sama-sama kuliah, apalagi suami kuliah di negri orang, bukan perkara mudah. Disinilah saya melihat pelajaran besar dari bapak ibu mertua dan kakak-kakak ipar saya dalam menjaga izzah anak lelakinya hehe. Diawal menikah, biasanya bapak ibu mertua kami mensupport beberapa kebutuhan menadasr misal mengontrak rumah dan sebagainya. Itupun kami kembalikan dari gaji kami setelah kami ‘cukup ‘ hehe. Keren. 

       Orangtua sebenarnya memiliki kewajiban untuk mensuppot anak-anaknya sampai mereka cukup untuk mandiri, tentu dengan beberapa unsur mendidik dan menumbuhkan tanggungjawab.

4Menghargai Rumahtangga Anak-anak

    Pelajaran lain yang berkesan dari orangtua kami adalah sikap orangtua kami terhadap rumahtangga anak-anaknya. Penghargaan atas pola asuh, keputusan keluarga kami, rencana-rencana dalam rumahtangga kami tidak pernah direcoki J
Orangtua kami sangat menghargai izzah kami, meskipun selalu siap pula untuk membantu dan memberikan masukan. Justru dengan sikap itulah saya dan suami selalu ingin membuat mereka ridho dan bahagia. Sekecil apapun, kami mengabarkan kabar gembira, meminta pertimbangan mereka.


Begitulah, orangtua-orangtua pemberani yang telah menunaikan kewajiban- kewajiban mereka dengan tulus, ikhlas untuk kami. Semoga Allah memuliakan mereka di Jannah-Nya kelak,aamiin

Senin, 06 Februari 2017

Pernikahan



Blueprint Keluarga itu Penting!



Selama ini saya dan suami lebih intens mengamati beberapa masalah rumahtangga dan  keluarga yang secara kebetulan sering kami temui. Baik di keluarga kecil kami, keluarga besar, keluarga teman dan semuanya menjadi bahan renungan untuk kami berdua yang  Insya Allah, 8 Februari 2017 esok genap menjalani biduk ini 13   tahun. Sering mengisi seminar pra nikah dan keluarga bersama, juga membuat kami banyak mengambil hikmah.


Dan sampailah saya pada satu simpulan bahwa memang blueprint atau gampangnya gambaran detil tentang rumahtangga kita itu penting sekali. Bukan hanya sebuah angan-angan tapi  sebuah rancangan, pola-pola hubungan dengan banyak pihak, yang jika tak terbahas dan tak dapat disepakati ternyata akan ters menjadi pemicu ketidaknyamanan, ketidak mantapan, keragu-raguan dan berakhir dengan ketidakselarasan kita , kejenuhan kita dalam rumahtangga
Mengapa Penting?

Saya mengambil pelajaran dari keluarga-keluarga yang sukses –meskipun ukuran sukses itu relatif- yang saya kenal. Rata-rata mereka bukan orang-orang yang menjalani kehidupan rumahtangga dengan apa adanya dan waton mlaku (asal jalan). Mereka  adalah penghayat setiap jengkal jejak rumahtangganya. Bagaimana jika tidak ?

Sayapun melihat profil keluarga yang carut marut, timpang dalam komunikasi, jenuh dalam perjalanan, dingin dalam hubungan, anak-anak yang tidak terhandle, konflik dengan mertua, menantu , ipar bahkan antar keluarga besar ternyata dimulai dari ketidakjelasan arah dan pola. Dari semuanya saya mengambil pelajaran.Saya juga tidak menjamin keluarga kecil saya baik-baik saja, saya  pun tetap punya masalah. Namun ternyata saat semua masalah itu saya dan suami kembali pada tuntunan syar’i dan pola yang sudah kami sepakati, masalah-masalah itu tetap berakhir cantik. Maka, dengan segala keterbatasan saya menyerap ilmu, mengamati dan dengan kerendahan hati, izinkan saya urun ide tentang blueprint yang mungkin dapat sama kita renungkan dan mulai kita gagas agar tak terlambat. Sekali lagi, ini hanyalah sekelumit ide, bisa jadi Anda tela lebih dulu sukses dalam menjalaninya.
Apa Isinya?Apa yang sebaiknya kita masukkan kedalam blueprint itu?

1. Pola K O M U N I K A S I
            Suatu hari seorang teman pernah mengatakan pada saya, “ aku ndak mau ribut mbak sama suamiku, aku malas berkonflik, jadi aku turuti saja apa kata suamiku meskipun kadang bertentangan dengan pendapatku” Saya pun menjawabnya :  “ Dan itu sikap yang tidak selalu benar...itu tidak sehat menurutku”
            Banyak suami istri yang menganggap bahwa previlige kepemimpinan seorang laki-laki dan haknya mendapat ‘ketaatan’ dari seorang istri adalah mutlak dan akhirnya bersifat menjajah karena tidak dibarengi dengan semangat mencintai dan memahami agama sehingga melahirkan  ketaatan tanpa pemahaman antara kedua belah pihak. Suami semestinya memiliki kepantasan untuk ditaati dengan terus memperbaiki ilmu tanggungjawab, dan kasih sayangnya pada istrinya. Sebaliknya istri mentaati karena ketulusan dan pemahaman, rasa hormat. Itu semua perlu komunikasi.

            Pola komunikasi harus disepakati dan dipahami. Ekspresi marah, cemburu, setuju, tidak setuju,sedih , gembira harus pas  dipahami oleh sepasang suami istri. Mungkin-seperti juga saya- diawal menikah hal itu sangat sulit. Tapi saya dan suami yang tipenya sama-sama suka ’blak-blakan’ segera menemukan pola komunikasi yang lumayan. meskipun, jujur, saya termasuk yang kadang masih suka mudah tersinggung dan meletup hehee

2. Pola Hubungan Dengan PIHAK KETIGA
Pihak ketiga disini semua orang diluar kita dan pasangan, dari mulai orang tua, mertua, ipar, adik kandung, pembantu, tetangga, sahabat kita, sahabat pasangan kita, bahkan anak-anak kita bisa jadi termasuk ’pihak ketiga’ hehe.
            Pola yang mungkin bisa kita sepakati dengan pasangan adalah sejauh mana para pihak ketiga (semua orang diluar rumahtangga kita) bisa ’mengintervensi’ kita. Okelah jika hanya sekedar memberi saran tapi jika sudah mulai mengganggu komitmen keluarga, merubah banyak planning masa depan , sebaiknya kita musyawarahkan. Termasuk dalam ini adalah interksi sehat dengan keluarga besar dan kerabat. Kalau kita istri, pliss, sadari bahwa dalam Islam hak orangtua atas suami kita masih melekat.Jika memang wajar dan sudah semestinya, biarkan suami kita memenuhi baktinya, Insya Allah kita dapatkan keberkahan. Kalau Anda suami, pliss ajak juga istri Anda untuk memahami dan ikut serta dalam kebaktian pada orangtua, namun juga jangan abaikan hak-hak kekerabatan istri Anda.

            Pola ini bisa jadi gawat jika kita atau pasangan merasa tidak adil dalam mebagi ’perhatian’ pada –terutama- keluarga besar. Tapi jika memang suami /istri dapat kompak , asyik sekali, dijamin tak banyak badai dan intervensi yang membuat bimbang. Udah pas takarannya, udah jelas gimana bersikap

3. Pola mengasuh dan  Pendidikan  Anak

            Ini dia yang kadang bikin ’berantem’ baik terang-terangan ato perang dingin. Apalagi kalau kita masih kumpul sama ortu or mertua (makanya saya bersyukur suami dulu sedikit ’ngotot’ ngajak ngontrak sendiri) . Jangan serahkan bulat-bulat pengasuhan pada siapapun! Kita harus punya pola sendiri bagaimana mengasuh anak dengan benar. Prinsipnya semua orang disekitar kita hanya penonton dan hanya boleh kasih saran positif. Jangan terombang ambing. Pastikan anak-anak kembali pada kita. Jangan menggantungkan pada pembantu atau keluarga besar. Sikap menggantungkan ini sangat menjemukan orang lain dan akan menjadikan kita kehilangan wibawa dan cenderung ’menyerah’ pada kemauan anak dan atau keluarga besar.

            Kalau saya, sangat bersyukur bahwa saya dibesarkan di lingkungan yang selalu ’ikut mendidik saya’ disamping ibu dan ayah  saya sendiri. Saya juga melihat ibu saya tidak pernah ’sayang buta’ pada anak-anaknya yang mengakibatkan orang lain takut menegur kami –anak-anaknya- saat kami salah. Itu yang sekarang saya pake. Saya pun bersikap sama dimanapun tentang aturan. Misal tentang makan, dirumah embah dan dirumah sama saja : makan besar sebelum snack, jadi meskipun dirumah mbah ’dimanjakan’ dengan berbagai macam jajanan toko , anak-anak selalu ’izin’ : ”aku sudah boleh makan ini?” saya pun tidak  juga kaku. Jika saya pikir sayur, dan makanan utama udah masuk, oke, atau jika memang untuk selingan oke juga. Yang penting jangan biasakan anak ’lapar mata’ dengan menuruti semua permintaan mereka, namun tidak dihabiskan, misalnya. Singkatnya tentang poin ini, bicarakan polanya, jalani, evaluasi, kembangkan dengan semakin baik. Pengetahuan dan ilmu parenting bukan menjadikan anak-anak kita ’malaikat kecil’ yang selalu baik dan manis. Tapi ilmu parenting lebih menjadikan kita tau dan konsisten untuk menghadapi anak-anak kita dengan cara yang benar.

Termasuk masalah pendidikan anak, saya dan suami berusaha tidak memaksakan idealisme anak menempuh pendidikan sekolah dasar yang 'bagus' tapi  ditempat yang jauh dari rumah. Atau saya menyarankan suami untuk tidak sekolah lagi  keluar negri sebelum anak sulung berusia minimal 8 tahun kecuali kami ikut serta hehee. Atau kapan saya dan suami 'longgar' terhadap pendidikan formal dan kapan sudah membiasakan anak-anak dengan 'serius' belajar. Bolehlah saat-saat TK ini mereka bolos saat mereka mengeluh  capek hahaa. 

4. Hal-hal EKSTERNAL

            Pekerjaan, sekolah lagi? Dakwah? organisasi? Kegiatan masyarakat? bicarakan dengan pasangan tentangnya. Komitmen macam apa yang ingin kita berikan pada hal-hal diatas yang selaras dengan keluarga kita? Kapan kita harus ’keluar’ kandang dan apa yang harus kita penuhi dahulu dirumah? PRINSIPNYA , INTERNAL SOLID, EKSTERNAL PUBLISH....jika kita sudah solid didalam rumahtangga  kita, tiga pola sebelumnya sudah oke dan sudah punya pegangan, insya Allah urusan ’luar rumah’ akan oke. Seringkali Dakwah, kerjaan, organisasi diluar  jadi ’korban’ menimpakan kesalahan atau kambing yang sebenarnya berawal dari ketidakmampuan kita membuat blueprint keluarga kita dan berkomitmen atasnya.

well Cuma empat itu saja pola yang utama saya  bahas. Silakan buat pola-pola yang Anda inginkan untuk blue print keluarga Anda.. Mumpung masih trisemester awal tahun, mari kita susun kembali. Semoga menginspirasi!


Sabtu, 04 Februari 2017

Mengembalikan Fitrah Pengasuhan dan Pendidikan Anak dari Rumah

           
Pendidikan dari rumah merupakan modal bagi tumbuh kembang anak-anak kita. Sungguh, sedianya, idealnya, orangtua memegang sendiri pendidikan anak-anak mereka terutama terkait penanaman aqidah, pembiasaan ibadah dan akhlak. Namun seiring kemajuan zaman dan teknologi, banyaknya peluang karier bagi para ibu, pendidikan anak sudah mulai diserahkan pada ‘pihak lain’ apakah itu pembantu, nenek kakek, ataupun sekolah. Penyerahan anak-anak ke sekolah-sekolah usia dini sebenarnya diutamakan bagi para ibu bekerja yang tidak memiliki pengasuh, demi tetap mencarikan lingkungan bermain dan belajar untuk anak-anaknya.  Sedangkan kini, hampir setiap anak di usia dini 2-5 tahun sudah mulai ‘keluar’ dan berpisah dengan para orangtuan mereka dan diasuh oleh para guru. Hal ini tidak bisa disalahkan, toh saya pun memasukkan anak-anak kami ke PAUD atau TK di usia 4 tahun sampai siap masuk SD

                Pun demikian, ada yang harus dipahami orangtua bahwa pendelegasian pengasuhan dan pendidikan formal di sekolah harus pula dibarengi dengan pola asuh yang seiring dirumah. Jangan sampai ketidaksiapan orangtua akan pola asuh anak-anaknya menjadikan para orangtua ‘bergantung’ pada sekolah untuk penanaman kebiasaan, karakter dasar  yang sebenarnya sangat efektif dicontoh anak dari orangtuanya.

                Untuk itulah, pendidikan berbasis rumah, lebih ditekankan pada pengembalian peran-peran orangtua untuk menyertai dengan proaktif proses pendidikan anak-anak mereka sebagai kerjasama dengan pihak sekolah. Misal, dengan memberikan pembiasaan, pendampingan program-program ibadah harian anak-anak dirumah, pembiasaan kejujuran, motivasi yang benar tentang prestasi, support orangtua dalam tugas anak-anak, bahkan sampai bagaimana merancang liburan dirumah berdasarkan laporan dan evaluasi hasil belajar anak-anak di sekolah
3 Fitrah Utama = Dimulai dari Rumah

                Orangtua , terutama dalam 7 -10 tahun kehidupan anak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan fitrah pengasuhan dan pnedidikan dari rumahnya. Jika dalam fase tersebut orangtua dapat mendampingi anak-anak dengan optimal, maka pada fase selanjutnya (11-15 tahun) anak-anak telah siap mengawali masa pra- akil baligh dan masa  akil baligh nya dengan kesiapan bertanggungjawab dan karya yang bermanfaat untuk masyarakat.  Untuk itu,  dalam pendidikan berbasis fitrah , Ustadz Harry Santosa menyebutkan bahwa fitrah setiap anak adalah berbeda. Mereka adalah anak-anak yang memiliki keunikan dalam bertumbuh dan berkembang. Disinilah pentingnya orangtua menjadi pendamping setia untuk melalui tahapan-tahapan pendidikan sesuai fitrah anak. Ada tiga fitrah utama yang harus tuntas tergali dan terdampingi terutama oleh orangtua dirumah

                Pertama, Fitrah Keimanan. Orangtua memiliki tanggungjawab mengenalkan Allah dan segala imaji positif tentang Allah sebagai RABB sejak usia 0-6 tahun pertama, misalnya dengan keteladanan, kisah, kejadian sehari-hari, mengenalkan diri dan  alam sekitar sebagai ciptaan Allah. Allah adalah Pencipta, Pemelihara. Fitrah keimanan ini dilanjut di fase 7-10 tahun dimana anak-anak mulai harus dibangkitkan kesadaran bahwa Allah adalah al Malik, dimana semua Perlindungan, Hakim, Pengawasan adalah milik Allah. Di fase berikutnya (11-15 tahun) anak-anak sudah mulai yakin bahwa Allah adalah ILAH mereka, yang menjadi satu-satunya yang Disembah dan diibadahi. Fitrah keimanan inilah yang semestinya tuntas sejak usia 10 tahun, sehingga tidak perlu lagi para orangtua ‘memukul’ anaknya untuk sholat, misalnya. Fitrah keimanan inilah yang menjadi dasar utama yang mestinya diberikan oleh orangtua dan dilanjutkan oleh guru di sekolah.

                Kedua, Fitrah Belajar.
               Fitrah kedua yang harus dibangkitkan oleh orangtua (terutama ibu, sebagai madrasah utama) adalah fitrah belajar. Orangtua harus membangkitkan kesadaran belajar dalam diri anak. Fitrah bereksplorasi, mengamati, mengambil hikmah,belajar di alam bebas, adalah hak anak. Dalam membangkitkan fitrah ini, di fase 0-6 anak dikenalkan pada kegemaran belajar, lalu dilanjutdi fase 7-10 tahun anak-anak sudah terbiasa mengikat makna dengan bahasa  dan tulisan. Bahkan dalam fase pra akil baligh dan masa akil baligh, hendaknya anak sudah memiliki kesadaran melakukan riset, melakukan karya untuk masyarakat. Membangkitkan Fitrah belajar inilah yang harusnya telah dipersiapkan oleh orangtua, sehingga tidak adalagi orangtua yang bingung mengapa anaknya sukar belajar, enggan dan malas membaca.

          Ketiga, Fitrah Bakat. Orangtua sebagai pihak paling dekat dengan anak-anaknya, semestinya dapat mulai menyeranta bakat anak-anak mereka sejak dini. Bakat dan talenta akan berkembang jika orangtua jeli dan terus membangkitkan kesadaran anak akan potensi dan kelebihannya. Jika  fitrah ini berhasil terdampingi dengan baik oleh orangtua, maka saat anak telah masuk diusia 11-15 tahun mereka telah mulai memiliki ‘project of life’ dalam dirinya. Bakat dan talenta inilah yang diamati dengan jeli oleh Rasulullah dalam diri para shahabatnya (yang rata-rata adalah pemuda). Hasil pendidikan Rasulullah dapat kita lihat dalam diri para shahabat Rasulullah dan tabi’in, tabi’u tabi’in. Mereka di usia 15 tahun, 17 tahun telah mampu membuat karya besar, mampu memimpin pasukan, mampu menaklukkan negri-negri kuffar. Masya Allah.
TANGGUNGJAWAB BERDUA
                 
                    Keempat Fitrah Perkembangan
              Bahwa anak-anak akan tumbuh sesuai dengan perkembangannya. Orangtua semestinya mendampingi perkembangan anak-anaknya dengan sabar dan telaten. Perkembangan yang dipercepat, tidak alami dan banyak terpengaruh orang-orang dewasa disekitarnya. Termasuk perkembangan pula anak-anak mulai mengenal lawan jenis, mulai mengalami 'protes-protes' kecil, adalah bahasa mereka bertumbuh kembangnya mereka. Ketergesaan orangtua agar anaknya 'cepat dewasa' justru akan melahirkan keterlambatan sikap dewasa dan sulit bekerjasama dengan pihak lain



                Jika ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, maka Ayah adalah kepala sekolahnya. Dalam pendidikan berbasis rumah dan fitrah, ayah ibu memiliki peran yang sama, seiring. Pola asuh tidak dapat dibebankan pada salah satu pihak. Ayah dan ibu mmeiliki peran yang saling mendukung. Bermusyawarah, menentukan program pengasuhan dan pendidikan dirumah, mendukung aturan kebaikan, memberikan pengawasan dan asih asuh asah dapat menyiapkan anak-anak yang matang dan siap dilepas  dimasyarakat kelak, Aamiin
Satu Jam yang Menyemangati, bersama Dr. Salim Segaf Al Jufri :
Teruslah Berkhidmat, dan Terus “Memenangkan /Menolong” Allah


Kemarin pagi, suami dan anak lelaki saya kemasjid untuk subuhan. Agak lebih lama dari biasa. Sesampainya di rumah , suami bilang “Malah ketemu Dr. Salim tadi di Assegaf (masjid jami’ di daerah Pasarkliwon, Solo). “Wah, Subhanallah. Aku baru mbatin, kalau pas ada khaul ustadz Salim mesti ke Solo. Gek kapan ketemu lagi sama beliau” tanggap saya sambil menyiapkan wedangan pagi. Terakhir mendengar taujih beliau saat menjelang Pilkada Solo . Dan pagi itu semua berjalan dengan kesibukan akhir pekan yang ternyata ‘padat’.
Tapi, mungkin saya GR sama Allah. Batin saya kemarin dikabulkan. Hehhe , sore kemarin,tanpa disangka saya dan beberapa ibu berkesempatan untuk silaturahim kerumah mertua Dr. Salim, dan bertemu dengan istri beliau, Ibu Zaenab . Bagi saya, bertemu dengan para Ustadz adalah rezeki karena Insya Allah akan mendapat tambahan ilmu. Makanya saya ‘perjuangkan’ apalagi ini dekeeet sekali dari rumah kami. Dalam suasana setelah hujan, kami berlima berkunjung ke rumah yang adem,luas, dengan aroma wangi khas rumah penduduk keturunan Arab yang memang banyak menghuni kecamatan kami, Pasarkliwon, Solo. Kebetulan, saya tinggal di kecamatan yang sama, tapi Subhanallah ya baru sore itu bisa ditakdirkan Allah bertemu dengan ibu Zaenab yang asli Solo. Kami pun disambut dengan ramah.
Karena Dr. Salim masih menjamu satu tamu diserambi, maka kami berlima ngobrol dengan ibu Zaenab ditempat yang tak jauh dari serambi depan. Karena ruangannya tidak bersekat, saya langsung dapat melihat bagaimana ustadz Salim yang selama ini hanya bisa say abaca dari tulisan-tulisan ikhwah lain. Saya saksikan betapa beliau melayani tamu dengan tenang, tidak banyak memotong pembicaraan.
Ketawadhukan lain yang saya saksikan adalah ketika tiba-tiba ada seseorang yang dengan pakaian sederhana, masuk dengan membawa surat (seemacam permohonan bantuan), menyampaikan hal nya, dan bersiap untuk duduk dilantai, ustadz Salim mengisyaratkan untuk duduk di kursi disebelah beliau “Jangan dibawah, ndak usah duduk bawah.Disini saja” kata beliau mempersilakan si Bapak tadi duduk disamping beliau. 
Lalu sang Tamu ditanya rumahnya dan sebagainya. Istri beliau segera masuk, mengambilkan sejumlah uang untuk sumbangan (mungkin sudah reflek ya hehe, istri mantan mensos) dan banyak gesture beliau yang walau hanya sekilas saya saksikan sebagai seorang Ustadz yang Tawadhu’ namun tegas. Istri beliau pun, adalah wanita ramah yang dengan gaya khas Solo dan keturunan Arab,komunikatif dan sangat menghormati tamu, membuat kami enjoy mengobrol. Saat ditanya “Ibu, apa resepnya ni mendampingi Ustadz yang sibuk dan amanahnya banyak. “ beliau menjawab dengan bergurau “ Ya kita ini kan ma’mum. Tinggal imamnya, kalau imamnya lurus, baik yang kita ikuti. Makmum juga akan lurus”
Tibalah giliran Dr. Salim menemui kami, bertanya kabar, menanyakan perkembangan dakwah di Solo. Lalu beliau sampaikan ‘taujih’ sore yang saya simak seksama (semoga tidak banyak tercecer) . Diantara poin yang Beliau sampaikan (judul poinnya saya buat macam poin rangkuman )

1. Berkhidmat tiada henti, Menghubungkan Kebaikan-kebaikan
“ Kita harus jadikan berkhidmat untuk rakyat, bukan sekedar tagline. Berkhidmat artinya melayani dengan sepenuh hati. Bagaimana dengan pelayanan yang terus menerus rakyat akan mengerti, mana yang mencintai mereka. Kalau masalah memenangkan partai, harus itu sudah wajar menjadi sebuah target. Sebuah partai kalau mau memimpin ya harus menang. Tapi melayani adalah kewajiban kita, terus menerus.” Beliau melanjutkan,

“ Banyak yang menganggap bahwa berkhidmat selalu berhubungan dengan fundrising, dana yang besar. Tidak harus. Coba kalau para ikhwan tiap waktu-waktu sholat bukakan pintu masjid, adzan, ngimami, itu khidmat. Para akhwat, ummahat, setiap hari berkeliling, masuk kerumah tetangga, lihat siapa yang sakit, siapa yang butuh kita sambungkan dengan pihak yang bisa membantu, itu khidmat, tidak perlu nunggu dana. Lagi, katakanlah dari 50-100 KK, pasti ada sekitar 7-10 yang dibawah kemiskinan, saya rasa orannag-orang yang mampu di kampong itu mau dan bisa menyisakan satu piring jatah nasi dan lauk untuk tetangganya, hanya saja butuh orang-orang yang mau ngantar, mau menjadi penghubung. Itu tugas kita. “ Sampai di poin ini saya merasa berdesir (mau mewek malu ). Betapa kebaikan itu simple sebenarnya.
Ya, kemenangan harus lahir dari rakyat yang mencintai kita, begitu yang saya simpulkan.

2. Intanshurullaha Yanshurkum; Apakah Allah Perlu Pertolongan?! Bagaimanan ‘ Memenangkan’ Allah
Poin taujih lain yang menyemangati saya sore kemarin adalah ketika Ustadz Dr. Salim Segaf memantik satu tema , “ Bagaimana kita memaknai Intanshurullaha yanshurkum ukhty? Saat ditanya apa maksudnya menolong Allah? Memenangkan Allah? Pasti kita sama yakin, dan memang betul ALLAH tidak perlu pertolongan kita, Allah Maha Penolong, Allah tidak perlu kita ‘menangkan’, ALLAH Pemilik Kemenangan. Lalu apa maknanya? “ Beliau melanjutkan,kurang lebih begini,

“Maka tafsir yang benar adalah bahwa Allah memang tidak memerlukan pertolongan kita. Namun dalam semua amal dakwah, berkhidmat, melayani umat, mendapatkan karunia jabatan, keberhasilan, kiat harus tetap ‘memenangkan’ Allah bukan hawa nafsu kita. Bukan karena kita, bukan untuk kita. Memenangkan Allah saatkita memilih antara Allah dan hawa nafsu kita, tetap Memenangkan Allah saat kita memilih antara Allah dan kepentingan lain. Jika sudah benar-benar kita bersungguh-sungguh dalam upaya memenangkan Allah, menolong Allah, maka PASTI kemenangan itu datang, pasti Allah menolong kita dengan pertolongan-Nya. ”
Di poin ini saya bergetar. Ini tentang orientasi dan keikhlasan yang terus menerus dibersihkan. Kesimpulan saya yang dhoif ini, memenangkan Allah, ‘menolong’ Allah bukan melulu tentang dakwah dan pihak yang memusuhi Allah dan Rasul secara nyata dan terang-terangan. Justru yang sangat berat adalah memenangkan Allah saat kita memilki orientasi lain, tergoda dngan orientasi selain Allah, disaat kita memiliki kesempatan dan fasilitas untuk disorientasi. Maka ayat ini begitu memotivasi dan bagi saya menyuntikkan optimism “SUNGGUH jika engkau menolong Allah ,maka (SANGAT PASTI) Allah akan menolongmu, dan MENEGUHKAN kedudukanmu”QS. Muhammad : 7 . Masya Allah semoga Allah karuniakan orientasi yang lurus, dan keikhlasan yang terus kita perbaiki, hingga akhir hayat. Aamiin
Masih ada beberapa poin taujih yang menyemangati, namun nampaknya tidak bisa saya share dalam satu tulisan. Satu jam pastilah tidak cukup untuk menggali inspirasi dari para Ustadz. Semoga Allah memberi para asatidz, para ulama, para da’I kesehatan…hingga kita bisa selalu menggali ilmu dan inspirasi dari para pembawa misi kenabian.
Aamiin

Jumat, 23 Oktober 2015

Saya Gak Muslim, Tapi Juga Pilih Anung Fajri, lho!



Proses memilih pemimpin daerah sedang menjadi ‘gawe’ warga Solo sampe 9 Desember nanti. Perjalanan kami dengan agenda direct selling ke rumah-rumah dan bertemu masyarakat memberi seabreg  pelajaran. Mblusuk kerumah-rumah dan bertemu masyarakat  bagaikan sales bukan ‘hal baru ‘ bagi kami kader PKS. Monggo saja dibilang ‘jualan’ partai, jualan pasangan calon hehehe… memang kami sedang mengenalkan apa yang kami anggap baik untuk masyarakat, kok!  MESKIPUN memang kami haqqul yakin  TIDAK ADA KESEMPURNAAN jika kita masih mengaku sebagai ciptaan Allah, apalagi Cuma partai  pasangan calon pemimpin dan sistem pemilu buatan manusia. Semua punya potensi buruk, salah, berlebihan, tidak akan menang, in itu semua pasti. Namun…bukan tidak ada postif dan kontribusi kebaikannya juga tho? heehe

Kembali ke masalah Pilkada dan menawarkan pilihan pada pasangan calon, tidak dipungkiri dan JUJUR sajalah ada dua pasangan yang akhirnya mengerucut pada pilihan muslim dan non muslim. Tidak perlu tabu membicarakan ini karena memang pasangan Anung- Fajri Muslim-muslim dan bapak FX Rudi- Purnomo Non Muslim-Muslim. Ini menarik dan tidak masalah. Isue agama adalah sah sebagai pertimbangan pemilih, asalkan fair dalam menyampaikan informasi tentang pasangan calon dan profilnya. Artinya, memang wajar dong  jika saudara-saudara yang Non- Muslim memilih FX Rudi tho? Atau jelas yang memahami bahwa seorang muslim wajib memilih pemimpin seakidah juga sangat wajar bukan jika memilih Anung – Fajri ?!  maka bagi yang mengatakan “jangan bawa-bawa agama di Pilkada ” yaa gimana yaa piye-piyeo (solo banget yak. bagaimanapun, ed) agama itu songgone wong urip (tiangnya orang hidup),wajar  orang akan lebih memilih orang yang seakidah lah untuk memimpinnya.Jadi melibatkan agamamu dalam segala selera hidupmu itu wajar kok, baik Anda Muslim maupun non Muslim.

Pun begitu, dari bincang-bincang dengan teman-teman, tetangga dan masyarakat yang saya temui ada pula yang tidak melulu memilih pasangan calon berdasarkan agama. Wajar kok. Selera tidak bisa dipaksakan. Seperti yang kita tahu, Koalisi Solo Bersama diusung beberapa partai yang tidak semua berbasis partai Islam. Maka disini menarik, saat saya tanya seorang teman dan warga yang kebetulan saya temui beberapa ( yang kebetulan non muslim) ternyata juga tidak selalu memilih berdasar agama.

 Beberapa menyatakan “Mbak…kita memilih pemimpin bukan hanya siapa dia tapi siapa yang mengusungnya. Meskipun saya bukan Muslim, saya memilih AFI, karena partai pendukungnya minimal tidak nggegirisi mbak…meskpun semua bukan jaminan tapi kita ingin bersama membangun Solo ini lebih baik bersama-sama, saya pikir Pak Anung dan Mas Fajri bisa mengayomi kami juga yang non –Muslim kok, pengalaman pak Anung di pmerintahan dan mas Fajri di masyarakat  juga lumayan. Semoga ya mbak, kita doakan agar Tuhan memberkati..” 

Semoga pilkada Solo sejuk dan mnyejukkan, damai dan mndamaikann. Tak perlu ada ancaman ketakutan, ancaman bakar-bakaran kalo pasangan tertentu tidak menang, atau budaya-budaya premanisme yang dihembuskan ke masyarakat, atau intimidasi ‘halus’ yang membuat masyarakat justru tidak menggunakan hak pilihnya, atau pembodohan opini. Biarkan masyarakat Solo memilih karena kesadarannya monggo apakah kesadaran religiusnya atau…kerinduan akan moralitas, budi dan pengayoman pemimpinnya, karena moralitas, budi dan pengayoman itu MILIK dan AJARAN SEMUA AGAMA .
****
“Apa Tidak ada NKRI di hati anda? Kok Bilang Berasa Gak Punya Presiden”
                menulis status tentang apa yang kita ‘pikirkan’ di sosmed  tentulah menawarkan dua pilihan saat ini : dibully atau dibela. Hm..bagi saya, itu tidak banyak berpengaruh. Kita harus belajar memaknai ‘kemerdekaan ‘ cipta, rasa dan karsa kita.
Tersebutlah saya, seorang warga negara biasa, yang juga ibu rumahtangga ini ‘lancang sekali’ menulis status tentang kabut asapngan ‘mennatang’ para pembela presiden dan kabinet HEBAT , yang saya anggap ini memang tugas negara doong melindungi warga.saya mungkin terlalu judes dengan ‘menantang’ para pemujua, pembela presiden dan kabinet HEBAT yang dulu suka dishare linknya, atau diposting kinerja2 hebatnya di awal. Nah…coba doong sekarang saya dikasih postingan2 tentang kinerja peme.ihhiirr…termasuk nyinyir bilang “ Saya memang berasa GAK PUNYA PRESIDEN” kok… ahhhay rupanya


Lembaran Triplek dan Mangga yang Ranum  : Bekal karakter ber- Amar Ma’ruf Nahy Mungkar

                Dua perumpamaan itu sangat saya sukai. Saya mendapatkan penjelasan keduanya dari sebuah kajian dimana ‘Ustadz Special’ yang saya cintai menyampaikannya. Pantesan nyantel..(nggak diing, jangan lihat siapa yang mengatakannya, tapi lihat apa yang dikatakannya kaaan kebetulan aja yang nyampekan kekasih hati) . Tulisan ini mengambil ‘referensi’ perumpamaan keduanya yang bagi saya inspiratif. Dan setiap saya hendak timbul malas…saya selalu mengulang merenunginya agar energi positif pendar kembali. Kali ini saya tuliskan agar pendar itu menyemangati kita semua.Yuk, Mari!
  Adalah kita, manusia laki-laki dan perempuan, memilih menjadi orang beriman dan pada akhirnya memilih dengan sadar atau bahkan ada yang awalnya ‘terpaksa terkondisikan’  menjadi ‘sebagian manusia’ yang memenuhi seruan Allah untuk melakukan amar ma’ruf nahy mungkar ( yuk buka QS.Ali Imran 104), maka kita tentu tak ingin menjadi seseorang penyeru kebaikan yang berilmu lemah, atau pencegah kemungkaran yang beringas dan kaku bukan? Amanah amar ma’ruf nahy mungkar yang disematkan Allah dalam misi agama ini begitu mulia dan terus menerus menjadi warosatul anbiyaa’ (warisan para nabi) hingga kita saat ini. Pembawa misi kebaikan tentulah harus berbekal banyak ketrampilan, ilmu dan kepribadian mempesona yang tulus dan benar-benar menjadi karakternya (bukan pencitraan, lhoo hihi)

1.       Lembaran Triplek : Luas dan Luwes
         Apakah kita pernah melihat dan menemukan secuil triplek? Bagaimana keadaannya? Apa yang bisa dibuat dari secuil triplek? Ya, ya..Secuil triplek tentu kaku, keras, tidak bisa dibentuk dan hanya bisa sedikit memberi manfaat. Tapi triplek lembaran? Yang lebar dan bahkan bisa digerak-gerakkan? Begitu luas, manfaatnya banyak, bisa jadi daun pintu, bisa jadi almari, meja dan sebagainya. Selembar triplek memberi ‘peluang’ untuk dijadikan apa saja yang memberi manfaat.
          Itulah manusia dan modal ilmunya. Seseorang, yang berilmu hanya secuil dan –lebih parah lagi- jika tidak mau menerima pelajaran dari orang lain biasanya berpotensi menjadi pribadi yang kaku, pedapatnya hanya satu sumber, sulit menerima perbedaan. Diperparah jika dengan ilmu yang secuil itu dia begitu percaya diri dan tidak mau belajar lagi.Apa yang terjadi?
           Sebaliknya, orang yang berilmu luas, memiliki semangat belajar dari siapa saja, mau menerima masukan, bersemangat mencari ilmu dan terus membagikan ilmunya menjadi seorang yang memiliki kapasitas dan bahkan expert di bidangnya biasanya bisa memahami perbedaan, opend mind, memegang perinsip namun bisa menerima hal yang berbeda, tidak surut dicela, tidak pongah dipuji.
           Karakter ‘lembaran triplek’ yang luas itu juga menjadikan seorang yang berilmu luas bisa luwes tanpa harus menyakiti orang lain dan tanpa harus ‘melacurkan’ keilmuan dan idealismenya.
Ilmu menjadi modal kita beramar ma’ruf nahy mungkar.Mari  mulai belajar bicara dengan data, mulai mengajak dengan pemahaman yang prima tentang apa yang kita seru, juga mencegah dengan cara yang baik, tau tahapan kapan harus bicara lembut kapan harus tegas. Sekali lagi ilmu yang luas seperti lembaran triplek,bisa juga lembaran kain atau apapun deh  yang luwes dan memberi manfaat lebih luas

2.       Mangga ranum : Disukai semua orang dan Mengundang Selera
           Ini karakter penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran yang satu lagi. Pernah kita lihat mangga mengkal yang muda? Sudah tumbuh besar tapi masih mengkal. mangga seperti itu siapa yang menyukainya? Tentulah ibu hamil yang suka nyidam yang asem-asem, atau tukang rujak. hehe..Mangga mengkal dan muda kadang juga bisa menyebabkan sakit perut jika dimakan tanpa batas. Intinya penyuka mangga muda itu terbatas, sist!
           Beda kan dengan mangga ranum, manis dan matang pohon pula. Semua orang di semua usia dan kondisi suka dan ingin memetiknya, ditawarin juga gak nolak, baunya harum rasanya manis, siapa gak kepingin?
            Begitulah kita, jika karakter kita seperti mangga muda dan mengkal maka kita hanya mampu masuk  dan diterima olah ‘segmen’ tertentu. Kita tidak bisa membaur, kita bahkan terlalu underestimate dengan orang-orang yang baru atau tidak kita kenal, akibatnya kita terkesan begitu ‘masam’ dan membosankan.      Pada akhirnya ya…kita hanya bisa diterima dikalangan terbatas dan bahkan banyak orang ‘mewarning’ orang lain tentang keberadaan kita, duuh…
             Sebaliknya, kita semestinya menjadi mangga ranum yang menyenangkan, bisa masuk pada semua kalangan, disukai karena memang kita begitu humble, hangat, ramah,apa adanya dan jujur dengan keadaan diri kita. Karakter mangga ranum itu menjadikan kita bisa berempati dan tepo sliro dengan hal-hal yang baru kita temui, atau tidak hanya cukup dengan menyenangkan banyak orang tapi kita juga bisa membawa mereka pada kebaikan-kebaikan yang kita tularkan. Hingga amar ma’ruf dari lisan dan sikap kita menjadi sebuah keistiqomahan, dan orang meninggalkan kemungkaran dengan penuh kesadaran karena si penyeru yang penuh kesabaran dan begitu mengesankan
          Ah…jika..jika dari keduanya saja kita bisa belajar, maka kita pasti akan mendapatkan energi keberkahan dari semua aktifitas menyeru pada kebenaran dan mencegah kemungkaran, dan janji Allah bahwa sebagian orang yang demikian adalah orang-orang yang beruntung akan kita raih dan rasakan.In syaaAllah. Semoga menginspirasi akhir pekan kita. Wallahu a’lam..