Tampilkan postingan dengan label Catatan Keluarga SAMARADA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Keluarga SAMARADA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Februari 2017

Berani Menikahkan Anak-anak Muda

Masih tentang muhasabah 13 tahun pernikahan. Setiap saya mengingat pernikahan kami, saya selalu trenyuh dengan para orangtua kami. Abah dan almh. Mamah saya, dan Bapak Ibu mertua yang sudah lebih dahulu menikahkan 2 kakak tertua suami, juga di usia dini. Para orangtua kami yang benar-benar mengikuti perintah Allah
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui..[An-Nur/24:32 ]. 
Dan, para orangtua kami yakin benar dengan hadits Rasulullah,
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ تَعَالَى عَوْنُهُمْ : الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ الْمُكَاتَبُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِيْ يُرِيْدُ الْعَفَافَ

"Ada tiga golongan, Allah mewajibkan atas Dzatnya untuk membantunya: (yaitu) Orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah untuk menjaga kehormatan diri dan budak yang berusaha membeli dirinya sendiri hingga menjadi orang merdeka ". [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dll. Lihat Shahihul Jami' no. 3050]

Menikahkan para muda saat ini, bukanlah hal mudah. Tuntutan para orangtua terhadap kemapanan calon mantu atau anak mereka sendiri menjadi salah satu alasan para pemuda sholih dan sholihah belum mensosialisasikan rencana menikah mereka, atau menunda-nunda karena khawatir ketemu calon mertua namun terlanjur memberi PHP pada calon belahan jiwa , akibatnya? Pacaran bertajuk pacaran Islami, pacaran meski tak berinteraksi fisik, atau ‘cinta dalam diam’ pun terjadi. Duh..

Untuk itulah, setiap kami mengingat jasa orangtua kami diawal-awal menikah hingga saat ini, rasanya salah satu yang menjadi sebab keberkahan pernikahan kami adalah keikhlasan mereka menikahkan kami dengan penuh kepercayaan dan ketawakkalan akan jaminan rezeki dari Allah untuk kleuarga anak-anaknya.

Keberanian para orangtua kami bukan hanya karena mereka paham bahwa tidak ada ‘pacaran’ dalam tuntunan agama ini. Juga, bukti bahwa  pengaruh dakwah keluarga begitu memegang peranan penting dalam keluarga besar kami. Saya mencoba membuat poin-poin pelajaran dari ‘keberanian’ orangtua kami dalam menghantarkan putra putrinya menikah di usia muda,

1Keikhlasan

Banyak pasangan muda seusia saya saat itu (13 tahun lalu) yang terpaksa meniti ‘karier’ pacaran begitu lama karena orangtua mereka menuntut anak-anak mereka sukses berkarier, menunda pernikahan, bahkan mensyaratkan beberapa ‘balas budi’ terhadap para orangtua jika memang ingin menikah muda. Saya heran saat mendengar curhatan-curhatan mereka. Apakah orangtua saya tidak ingin saya berkarier tinggi , nikah setelah lulus kuliah dulu dan bekerja? Sempat, tapi tidak lama. Abah saya bahkan pernah menjodohkan saya saat saya usia 20 th. Hihi. Tapi saat itu saya yang menolak, karena si calon meminta saya untuk berhenti kuliah dan mengikuti beliau. OOOh noo. Bagi saya menikah muda, tidak boleh meninggalkan hak orangtua atas saya : menyelesaikan kuliah.
Maka, pelajaran yang saya ambil, orangtua kami berdua sangat ikhlas mendidik kami, membiayai kuliah kami, tanpa meminta ‘balas jasa’ dan syarat saat jodoh kami sudah datang. Satu hal yang ditanyakan Abah saya sekali saja saat ‘berproses’ akan menikah ; “Terus gimana nulis bukunya? “ Jawab saya “ Insya Allah aku tetep nulis buku Bah, bahkan mungkin bisa lebih produktif nulis” hehe

2Kepercayaan

Hal lain yang saya syukuri saat kami berdua mengutarakan niat menikah adalah kepercayaan orangtua pada keputusan kami. Orangtua menghargai proses ‘pencarian dan perjodohan’ kami yang tidak mengenal pacaran. Mereka sangat percaya dengan kesungguhan kami untuk meniti biduk rumahtangga yang mandiri di usia muda. Kepercayaan itu dibuktikan dengan tidak menuntut  dan mempersulit kriteria pasangan hidup kami. Asal nasabnya baik, paham agama dan bertanggungjawab. Bahkan, ayah saya nggak nanya detil lho calon saya ‘kerja’ apa buat menafkahi anak gadisnya ini

Disinilah kami justru sangat menjaga amanah itu hingga saat ini. Kami tidak ingin menampakkan apa-apa yang sekiranya menggelisahkan orangtua. Bahkan, biaya kuliah semester akhir pun saya nggak mau lagi dibayarin ayahanda karena sudah menjadi tanggungjawab suami doong.

3Support Finansial

Ini poin yang sering menjadi masalah bagi para pemuda untuk menikah. Kami pun mengalaminya. Menikah disaat masih sama-sama kuliah, apalagi suami kuliah di negri orang, bukan perkara mudah. Disinilah saya melihat pelajaran besar dari bapak ibu mertua dan kakak-kakak ipar saya dalam menjaga izzah anak lelakinya hehe. Diawal menikah, biasanya bapak ibu mertua kami mensupport beberapa kebutuhan menadasr misal mengontrak rumah dan sebagainya. Itupun kami kembalikan dari gaji kami setelah kami ‘cukup ‘ hehe. Keren. 

       Orangtua sebenarnya memiliki kewajiban untuk mensuppot anak-anaknya sampai mereka cukup untuk mandiri, tentu dengan beberapa unsur mendidik dan menumbuhkan tanggungjawab.

4Menghargai Rumahtangga Anak-anak

    Pelajaran lain yang berkesan dari orangtua kami adalah sikap orangtua kami terhadap rumahtangga anak-anaknya. Penghargaan atas pola asuh, keputusan keluarga kami, rencana-rencana dalam rumahtangga kami tidak pernah direcoki J
Orangtua kami sangat menghargai izzah kami, meskipun selalu siap pula untuk membantu dan memberikan masukan. Justru dengan sikap itulah saya dan suami selalu ingin membuat mereka ridho dan bahagia. Sekecil apapun, kami mengabarkan kabar gembira, meminta pertimbangan mereka.


Begitulah, orangtua-orangtua pemberani yang telah menunaikan kewajiban- kewajiban mereka dengan tulus, ikhlas untuk kami. Semoga Allah memuliakan mereka di Jannah-Nya kelak,aamiin

Kamis, 28 Januari 2010

Memancing Rizki di Rumah Kita

Saya dan suami kadang ta’jub dengan kebesaran Allah mengatur rizki. Kadang disaat berbincang berdua, atau melihat anak-anak kami terlelap, atau menyapu pandangan kesekeliling rumah kontrakan kami, kami bernostalgia betapa ‘nekatnya’ kami memulai pernikahan ini.
Suami pernah bertanya “ Kok dulu Umi mau ya? Padahal abi dulu cuma bawa berapa ratus ribu di dompet setelah menikah. Haa..ha..tapi seingatku aku gak pernah minta Bapak (mertua saya,ed) lho, ya secara langsung gak pernah” katanya sok PD

“ Ya…itulah kelebihanku haa.ha.. mau menerima ‘ mahasiswa luar negri nekat ’ yang pulang ke Indonesia cuma buat nyari Istri. Setelah itu ditinggal pula” jawabku bangga.
“ Aku juga nggak pernah tuh seingatku minta Abah sepeserpun sejak menikah. Bahkan kakak juga ya yang bayar registrasi kuliahku tepat dua hari setelah nikah” lanjutku. Dan orangtua saya pun sejak putrinya dilamar oleh seorang ‘mahasiswa nekat’ itu sampai dengan hari ini tidak pernah menanyakan apa pekerjaan calon suami putrinya, penghasilan, atau dengan bahasa ekstrim akan kau beri makan apa anakku hai calon menantu? Itu juga yang membuat suamiku salut pada orangtua saya .he..he..
Perbincangan tentang kenekatan-kenekatan (atau lebih tepatnya ‘tawakkal’ aja ya?) dalam hal rezeki sering kami bahas dan sering kami buktikan bahwa rezeki benar-benar bukan semata hasil kita mengucurkan keringat.

Saat kami akhirnya memutuskan mengontrak sendiripun, suami saya adalah seorang lulusan universitas luar negeri yang baru meraba-raba rezeki di negeri sendiri. Beliau pun ‘orang baru’ di lingkunganku. Tapi entahlah, keyakinan pada pertolongan Allah bahwa kami akan meretas sukses itu lebih kuat. Saya juga tidak pernah merasa risau dengan uang belanja yang diberikan suami.he..he.. Ini sebenarnya ‘rahasia dapur’ tapi saya banyak melihat para istri yang terlalu cemas dengan pemberian suami entah merasa tidak cukup, atau ya... karena terlalu banyak keinginan. Apakah saya juga tidak? Ha..ha.. bukan begitu.

Saya pun seperti kebanyakan perempuan, senang dengan pemberian lebih suami. Namun rasanya kalau sampai terlalu menuntut suami belum pernah saya lakukan. Ya…kalau sekedar ‘sindiran-sindiran’ halus bernada guyon pernah saya lakukan. Tapi ada satu pujian yang saya rasakan tulus dari suami yang hingga kini menjadikan saya GR dan optimis bahwa saya masih dalam frame ‘istri yang bersyukur’ (he..he.. GR sekali ) ya. Begini kata suamiku “ Abi salut lho, Umi gak pernah terlihat cemas dengan ‘uang didompet’ umi –yang pasti jumlahnya tidak banyak- bahkan saat Abi berada diluar kota”. Hm.. itu yang membuat saya selalu percaya bahwa saya akan dicukupkan oleh Allah.

Benarlah saat Rasulullah mengatakan bahwa menikahlah maka kau akan kaya. Atau jaminan Allah tentang rizqi yang Dia sebarkan bagi siapa saja. Kecemasan tentang rizqi secara berlebihan akan menipiskan tawakkal kita pada Allah.

Entahlah, pernikahan mengajarkan pada saya untuk mempercayai bahwa rizqi yang mengalir pada kita berbanding lurus dengan usaha dhohir (nyata, contoh: bekerja) maupun non-dhohir. Rizqi kita dan keluarga kita kadang perlu ‘dipancing’ dengan amalan-amalan dan niat yang benar-benar lurus bahwa ada fadhilah-fadhilah (keutamaan) yang akan kita dapatkan dari amal ringan yang kita lakukan.

Memancing rizqi dengan banyak bersedekah, memberi makan orang-orang yang meminta pada kita, berbuat baik pada pembantu dan sesekali melebihkan upah mereka dengan niat sedekah kami lakukan untuk ‘membersihkan’ siakpa kita yang mungkin menyinggung mereka. Begitu pula dengan memperhatikan orang-orang lemah disekitar kita dengan memudahkan urusan mereka. Saya dan suami sering mencoba-coba begitu. Disaat kami dalam keadaan keuangan yang ‘tipis’ dan kami justru memberi atau membantu orang yang tiba-tiba datang dan meminta tolong, subhanallah! Allah menggantinya dengan cara yang unik dan lebih baik.

Begitu pula kami sering mengatakan bahwa hidup kami ini ‘pas-pasan’ he..he… Artinya ‘pas kami butuh, pas ada’. Luar biasa. Allah memang menjamin setiap kebutuhan kita. Yang harus kita lakukan hanyalah berikhtiar dan tidak malas serta bersyukur. Rizqi dirumah kita pun bermacam bentuknya. Mungkin kita tidak punya uang cash yang cukup banyak di dompet kita, atau tabungan yang besar di rekening bank. Tapi lihatlah, saat anak-anak kita sehat, tumbuh cerdas, suami kita bertanggungjawab, kita pun sehat dan dapat merawat keluarga?! Apakah itu bukan rizqi yang besar? Sementara mungkin kita melihat saudara-saudara kita diuji dengan anak yang sakit, kendaraan yang rusak atau ujian yang menyebabkan rizki ‘dhohir’ yang kita sebut ‘uang’ itu keluar untuk pembiayaan.

Sungguh…menikah adalah pelajaran luar bisa tentang menjaga izzah dan keberanian untuk menghadapi hidup kita sendiri, menciptakan keberkahan dari dalam rumah kita melalui kerjakeras dan syukur. Selamat berjuang!

Minggu, 20 Desember 2009

Menyebut Lengkap nama Pasangan

"I love you Robi'ah Al-Adawiyah"...sms itu membuat saya jengah. Diantara hiruk pikuk anak-anak disuatu sore. Sms itu datang sesaat saya 'curhat' pada suami tentang 'kebandelan' anak-anak selama Abi mereka mudik menjenguk mertuaku 2 hari 3 malam ini.Biasa, anak-anak selalu 'menguji kesabaran' terutama jika Abi mereka lebih dari sehari tidak terlihat. Caper gitu..Dan alhamdulillah..sore itu saya lolos (baca : mampu menaklukkan mereka) .he..he..

Kembali ke sms tadi. Mungkin Sederhana.Tapi entah kenapa sms itu menginspirasi saya tentang sesuatu.Menyirapkan perasaan bangga dan PD. Dasar saya, sms yang menurut saya romantis itu tidak saya biarkan begitu saja menjadi 'hanya' konsumsi pribadi karena ternyata ada sebuah 'analisis rasa' yang saya hasilkan.Karena menurut saya ada ibroh dari pernyataan singkat itu. Waduh...

Ya, begitulah. Entah apakah apa yang saya tuliskan ini Anda setujui atau tidak, Anda rasakan atau tidak, tapi satu hal yang sering saya pikirkan bahwa kita terlampau sering 'mengabaikan' panggilan-panggilan sayang, sapaan nama kita. Kita -terutama yang telah berputra- terlanjur menikmati diri kita dipanggil oleh pasangan dengan 'Bunda', 'Ayah', 'Umi', "Abi', 'Bune (heh..he..), mamah, 'Abah' . Atau Abu Maura, Ummu Hania, dan sederet panggilan yang tujuan awalnya 'membahasakan' panggilan itu untuk anak-anak kita. Bahkan, jangan-jangan pasangan kita lupa dengan nama lengkap kita? Nah looo(just kidding) Atau ..kita penganut "apalah arti sebuah nama? Yang jelas semua juga tau dia istriku/suamiku" lha???

Tapi ternyata, sesekali menyebutkan nama pasangan kita dengan nama lengkapnya, memberikan sebuah kesan tersendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan dan mungkin Anda bisa juga mencobanya. Dengan menyebutkan nama pasangan Anda seperti dalam contoh sms diatas atau dalam panggilan khas yang kita peruntukkan padanya, akan membuat pasangan kita -terutama mungkin para istri- merasa dicintai sebagai DIRINYA SENDIRI. bukan sebagai ibu atau ayah anak-anak Anda. Kadang itu perlu. Hal itu meneguhkan perasaan kita dan perasaannya. Seperti halnya mencoba meluangkan waktu 'berdua', mengungkapkan perasaan Anda bahwa Anda mencintainya sebagai seorang perempuan atau laki-laki menurut saya dapat membesarkan hatinya. Sebab kadang seorang individu tetap ingin dihargai sebagai DIRI SENDIRI.

Hiruk pikuk rumahtangga, kewajiban mengasuh anak-anak,kesibukan ditempat kerja, kadang melupakan kita akan hal-hal kecil bermakna besar. Mungkin termasuk mengekspresikan bahwa Anda mencintai seorang laki-laki atau perempuan bernama :................. yang menyebut / disebut namanya disaat akad nikah beberapa waktu yang lalu membuat Anda tergetar! Yang selama ini mendampingi Anda.
Ini hanya catatan kecil, tapi mungkin kita bisa memulai untuk tidak 'jaim' dan merasa 'untuk apa melakukannya?' hanya karena kita telah lama menikah.Ya, bukankah salah satu tanda cinta terhadap sesuatu adalah menyebutkan nama 'kekasih' kita dengan mantap dan tulus? Wallahu a'lam bishawwab...

Menyebut Lengkap nama Pasangan

"I love you Robi'ah Al-Adawiyah"...sms itu membuat saya jengah. Diantara hiruk pikuk anak-anak disuatu sore. Sms itu datang sesaat saya 'curhat' pada suami tentang 'kebandelan' anak-anak selama Abi mereka mudik menjenguk mertuaku 2 hari 3 malam ini.Biasa, anak-anak selalu 'menguji kesabaran' terutama jika Abi mereka lebih dari sehari tidak terlihat. Caper gitu..Dan alhamdulillah..sore itu saya lolos (baca : mampu menaklukkan mereka) .he..he..

Kembali ke sms tadi. Mungkin Sederhana.Tapi entah kenapa sms itu menginspirasi saya tentang sesuatu.Menyirapkan perasaan bangga dan PD. Dasar saya, sms yang menurut saya romantis itu tidak saya biarkan begitu saja menjadi 'hanya' konsumsi pribadi karena ternyata ada sebuah 'analisis rasa' yang saya hasilkan.Karena menurut saya ada ibroh dari pernyataan singkat itu. Waduh...

Ya, begitulah. Entah apakah apa yang saya tuliskan ini Anda setujui atau tidak, Anda rasakan atau tidak, tapi satu hal yang sering saya pikirkan bahwa kita terlampau sering 'mengabaikan' panggilan-panggilan sayang, sapaan nama kita. Kita -terutama yang telah berputra- terlanjur menikmati diri kita dipanggil oleh pasangan dengan 'Bunda', 'Ayah', 'Umi', "Abi', 'Bune (heh..he..), mamah, 'Abah' . Atau Abu Maura, Ummu Hania, dan sederet panggilan yang tujuan awalnya 'membahasakan' panggilan itu untuk anak-anak kita. Bahkan, jangan-jangan pasangan kita lupa dengan nama lengkap kita? Nah looo(just kidding) Atau ..kita penganut "apalah arti sebuah nama? Yang jelas semua juga tau dia istriku/suamiku" lha???

Tapi ternyata, sesekali menyebutkan nama pasangan kita dengan nama lengkapnya, memberikan sebuah kesan tersendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan dan mungkin Anda bisa juga mencobanya. Dengan menyebutkan nama pasangan Anda seperti dalam contoh sms diatas atau dalam panggilan khas yang kita peruntukkan padanya, akan membuat pasangan kita -terutama mungkin para istri- merasa dicintai sebagai DIRINYA SENDIRI. bukan sebagai ibu atau ayah anak-anak Anda. Kadang itu perlu. Hal itu meneguhkan perasaan kita dan perasaannya. Seperti halnya mencoba meluangkan waktu 'berdua', mengungkapkan perasaan Anda bahwa Anda mencintainya sebagai seorang perempuan atau laki-laki menurut saya dapat membesarkan hatinya. Sebab kadang seorang individu tetap ingin dihargai sebagai DIRI SENDIRI.

Hiruk pikuk rumahtangga, kewajiban mengasuh anak-anak,kesibukan ditempat kerja, kadang melupakan kita akan hal-hal kecil bermakna besar. Mungkin termasuk mengekspresikan bahwa Anda mencintai seorang laki-laki atau perempuan bernama :................. yang menyebut / disebut namanya disaat akad nikah beberapa waktu yang lalu membuat Anda tergetar! Yang selama ini mendampingi Anda.
Ini hanya catatan kecil, tapi mungkin kita bisa memulai untuk tidak 'jaim' dan merasa 'untuk apa melakukannya?' hanya karena kita telah lama menikah.Ya, bukankah salah satu tanda cinta terhadap sesuatu adalah menyebutkan nama 'kekasih' kita dengan mantap dan tulus? Wallahu a'lam bishawwab...

Semua ada Masanya

Suatu hari, tepat diusia ke 28 hari kelahiran anak keduaku aku mulai keluar rumah. Hm..sepertinya tak betah juga terlalau lama berdiam diri. Kami mengunjungi sebuah pameran buku dimana suamiku dan seorang penulis senior yang kuanggap sebagai guru, sahabat, kakak, ada disana sebagai pengisi salah satu acaranya siang itu. Sulungku yang belum genap dua tahun, putri keduaku yang baru 20 hari, mengingatkan peran baruku sebagai ibu dua putri.

Sementara menunggu acara dimulai… aku melihat sahabat seniorku yang akrab kusapa mbak IJ itu bak seorang komandan. Putri-putri cantiknya terus mengintilnya dengan celoteh khas anak-anak. Ya..ya… aku seriing melihatnya membawa serta ketiga putrinya di bebrapa acara. Dan siang itu aku berkomentar tentang anak-anaknya yang mulai tumbuh menjadi gadis-gadis kecil yang menyenangkan.

"Kalau lihat kaya' gini,rasanya udah lupa ya mbak .. capek-capek yang dulu?"kataku
"O…iya.Aku menahan 9tahun untuk bisa beraktivitas lagi.Ada masanya Vid…Aku dirumah sampai anak-anakku bisa kutinggal beraktivitas lagi " begitu kira-kira kata mbak IJ waktu itu.

Hhh…yya.ya.. aku jadi teringat saat aku masih lajang.Dahulu aku selalu berapi-api untuk 'mengoreksi' setiap forum dimana saat itu yang kulihatt hanya 'para ustadz' yang hadir menjadi pembicara. Dimana para ummahat? Ustadzah-ustadzah atau para aktivis yang dahulu meratui kampus….?

Ya..ya…ya.. Kini aku merasakan juga.Tentulah seorang istri tidak dapat disamakan dengan seorang lajang, dan seorang ibu disamakan dengan seorang lajang atau yang belum memiliki putra. Disetiap fase hidup kita ada sebuah kewajiban. Ah..tapi itu bukan lantas menjadi apologi.Setiap orang harus berdaya, apalagi jika jalan dakwah itu menjadi pikihan hidupnya. Inilah sebenarnya kunci dari segala gundah yang sering memantik gelisahku,tentang betapa aku merasa 'tidak melakukan apa-apa' setelah memiliki anak.

Seorang ummahat pernah tanpa sengaja 'mencerahkanku' saat kami berdua mengisi sebuah acara, saat itu seorang akhwat bertanya "Kenapa ya bu setelah menikah banyak ummahat yang tidak lagi muncul" Aaah…mirip dengan pertanyaanku beberapa tahun yang lalu. Dan jawaban ummahat itu…."Semua ada masanya…Hanya satu yang tidak boleh berubah:visi dakwah kita.Ya, dakwah itu seperti energi. Dia tidak pernah hilang, dia kekal hanya bentuknya saja yang berubah…"

Hmm… analogi yang sangat tepat. Seseorang yang mengazamkan dirinya bervisi hidup untuk dakwah maka ia akan tetap dapat memanfaatkan peluang dakwah dalam setiap fase hidupnya, tentu dengan proporsi yang berbeda.

Meskipun sebenarnya ada juga para ummahat dan mantan-mantan aktivis muslimah yang benar-benar 'turun mesin' pasca menikah dan berputra. Mereka cenderung merasa 'cukup' hanya mendatangi halaqah pekanan, atau mungkin juga karena para suami mereka tidak begitu memberi ruang pasca menikah. Padahal..dahulu para suami mereka memilih mereka karena mereka seorang aktivis muslimah. Hayoo ngaku dooong!

Akupun akhirnya merasakan perbedaan itu. Sikapku mengasuh si sulung yang kala itu aku masih 'terlalu idealis' untuk membuktikan bahwa meskipun telah menikah aku harus tetap eksis ternyata memiliki dampak berbeda dengan polaku mengasuh anak keduaku dimana aku sudah bisa merasa seleh untuk menanti saat yang tepat untuk beraktivitas lagi. Bahkan entah ada hubungannya atau tidak, kondisi itu turut mempengaruhi karakter kedua putri ku itu.

Begitulah. Mungkin memang ada masanya kita beraktualisasi diri sebagai seorang muslimah, perempuan atau istri dan ibu. Kesabaran meniti semua fase akan menjadikan kita dapat menikmatinya dan optimal. Yang penting, kita tulus dan tidak pernah merasa cukup untuk belajar apalagi jika kita adalah para perempuan muslim yang 'dibesarkan' dalam atmosfer kecintaan terhadap dakwah. Mungkin perlu juga berkomunikasi dengan pasangan tentang pembaruan-pembaruan cita dan citra diri kita.Agar kita tidak termasuk ummahat 'turun mesin' yang bukan tidak dapat memberdayakan diri namun memang tidak mau menyemangati diri untuk itu. Wallahu a'lam
Faidza faraghta fanshob wa ila Rabbika farghob…..

Rabu, 18 Februari 2009

Berbagi Suami

Wacana Poligami kembali menyeruak, mungkin tidak begitu menghebohkan jika suami saya atau suami anda yang melakukannya. Begitu pula tidak menghebohkan juga jika tetangga kita ketahuan berselingkuh atau beradegan mesum dan beredar videonya sebagai blue film yang dijual dipinggiran jalan.

Yang menjadi masalah, seorang ustadz –yang sebenarnya biasa saja- melakukan poligami dan seorang pejabat anggota dewan yang terbuka kedok perselingkuhannya. Sungguh, dua berita yang menyita perhatian publik diawal bulan ini. Kemudian jika sebuah pertanyaan saya ajukan pada anda kaum perempuan; mana yang Anda pilih : suami Anda menikah lagi dengan pengakuan yang jujur dan terbuka, atau Anda diselingkuhi? Atau.. jika Anda kaum lelaki, Anda menikah lagi atau berselingkuh?Jawabannya pasti amit-amit jangan sampai.

Susah memang, tapi sepertinya realita adanya kecenderungan untuk mendua istri, berbagi suami atau apalah istilahnya, patut mulai dipikirkan dan ditanggapi dengan lebih arif, terbuka dan dibuka ruang-ruang diskusi yang objektif. Tentu saja dengan tidak hanya mengedepankan perasaan, emosi dan cacian-cacian yang kadang mengaburkan persoalan.

Poligami atau ٍSelingkuh?
Saat saya duduk dibangku kuliah, salah seorang dosen Hukum Gender pernah mebuka ruang diskusi tentang poligami, saat itu sedang marak poligami award.Dengan ‘berbekal’ buletin dari sebuah LSM Perempuan, beliau mengajukan pertanyaan pada kami tentang setuju dan tidak setuju mendua istri.Hm… seperti kebiasaan LSM Perempuan, sebagian ‘aktivis perempuan’, selalu saja ‘tanggung’ dalam memahami ayat tentang poligami. Alhasil, yang terjadi justru wacana-wacana yang berkutat pada perasaan, merasa diremehkan, dan sejenisnya sehingga mengaburkan substansi.
Sampailah dosen saya bertanya, “bagaimana perasaan anak-anak dari hasil poligami?Atau anak-anak yang orang tuanya berpoligami?” Saya hanya menjawab singkat : Mana yang lebih menimbulkan dampak psikologis anak dengan orang tua berpoligami –dengan pemahaman yang benar tentunya- dengan anak-anak dari keluarga yang orangtuanya berselingkuh? Dan dosen sayapun diam.
Begitulah, poligami terlanjur dipandang sebagai sebuah keputusan yang berarti akhir dari harmonisnya sebuah hubungan suami istri. Tidak dapat disalahkan juga sebab masyarakat terlanjur salah memahami poligami dari sebuah proses yyang tidak atau kurang pas. Poligami terlanjur dianggap sebagai pelarian dari rumah tangga yang tidak bahagialah,tergoda perempuan yang lebih aduhai, dan –yang lebih parah-poligami diam-diam menjadi sebuah momok yang lebih menakutkan daripada perceraian, bahkan perselingkuhan.
Lihat saja, berita-berita perceraian, gonta-ganti pasangan, bahkan perselingkuhan di infotaintment, misalnya ,menjadi hal yang tidak terlalu menghebohkan dibanding jika seseorang memutuskan berpoligami.Mungkin karena poligami menimbulkan konsekuensi ‘berbagi’ hak dan berbagi cinta yang katanya sangat sulit dijalani oleh kaum perempuan. Jargon “wanita mana yang rela dimadu” seolah-olah menjadi kata kunci yang demikian melankolis untuk mencecar pelaku poligami dan wanita kedua.Padahal,banyak sekali keluraga monogami yang justru menyimpan bara dalam sekam sebab terlilit perselingkuhan yang berujung perceraian, bahkan menjadi skandal.Artinya, tidak fair agaknya ketika poligami digebyah uyah (disamaratakan) tanpa melihat prosesnya.

Masdar F.Mashudi mengatakan bahwa naluri seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu adalah alamiah, yang menjadi masalah adalah, tidak semua laki-laki ‘siap’ menjadi suami dari banyak istri. Sedangkan kaum perempuan sebenarnya lebih siap menjadi istri siapapun dan keberapapun. Hanya saja, perlu kita renungkan, jika semua perempuan hanya ‘mau dan siap’menjadi istri pertama, bukankah peluang berselingkuh, kawin cerai, nikah dibawah tangan justru marak? Semua beralasan tidak mau ‘dimadu’ atau tidak mau menjadi istri kedua, ketiga dan keempat?Dan jika alasannya anak, apakah anak-anak dari semua hubungan-hubungan tersebut tidak lebih menderita? Jadi semestinya kitapun membuat paradigma baru bahwa tidak semua wanita yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat adalah “perusak rumah tangga orang lain” bukan? Jika memang para pelaku poligami merasa ‘nyaman’ dengan pilihannya, bukankah itu cukup?

Berprestasilah Dulu di Keluarga Pertama:Catatan kecil untuk para Suami
Saat banyak tokoh-tokoh berpoligami,sebenarnya bukan ketakutan yang berlebihan yang harus muncul.Poligami sebagai sebuah pilihan berkeluarga, tak selamanya buruk. Saatnya merubah paradiigma masyarakat.Jika saelama ini orang beranggapan “ooo pantes si A poligami lhawong istrinya begini, begitu”, atau jika orang berkomentar “kurang apa tho mbak Itu, kok ya suaminya nikah lagi?” maka saatnya mungkin kita berbaik sangka dengan mengatakan “Ooo… ya pantes tho..poligami wong dia itu sudah sukses, istrinya solihah, anak-anaknya kopen (terawat),pinter-pinter, keluarganya harmonis,…wajar jika dia ingin menambah keluarga sukses lebh banyak lagi he..he..” Indah bukan? Sungguh sangat berbeda dengan berselingkuh tho? Atau dengan poligami yang dilakukan sebagai pelarian karena rumahtangga pertama begitu mencekam.

Inilah yang sepertinya paling pantas direnungi para suami dan mungkin bisa dijadikan ‘syarat’ bagi para istri. Tanggung jawab poligami sangat berat bagi para suami. Jika Anda –para suami- belum dapat berprestasi dikeluarga pertama Anda, belum dapat menjadi pemimpin keluarga yang memahami nilai-nilai moral dan agama,belum dapat menjadi panutan, belum dapat memenuhi hak dan kewajiban Anda sebagai suami dan ayah, belum dapat mensejahterakan (dalam arti yang pantas), meskipun Anda tidak -perlu menjadi milyader, rasanya Anda-para suami- harus berpikir ulang untuk berbagi cinta dan mendua keluarga. Sebab itu hanya akan menambah beban diri dan orang-orang tercinta disekitar Anda. Apalagi jika 'berbagi' cinta tersebut ditempuh dengan cara Selingkuh.Ibarat sebuah perusahaan, tentulah akan membuka cabang baru jika telah terbukti sukses di perusahaan pertama bukan?
Maka membesar-besarkan maslah poligami sebagai sesuatu yang seolah-olah tabu dilakukan namun membuka peluang perselingkuhan dan menganggap selingkuh sebagai sesuatu yang 'biasa' tentu bukanlah sesuatu yang bijak dan adil. Bukan begitu?
Wallahua'lam.