Tampilkan postingan dengan label essai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label essai. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Juni 2011

Antara Bu Guru TK dan ‘ART’ ku

“ Gaji saya Cuma 200ribu bu Vida, kata suami saya mending saya ngopeni anak sendiri. Gaji tidak sebanding dengan waktu anak  yang saya korbankan ..” jawab seorang guru TK dimana saya mengisi kajian parenting pada suatu hari. Saya memang menanyakan hal sensitive itu sebagai survey pada beberapa guru TK.

“Lalu, kenapa njenengan tidak keluar saja?” kata saya. Jujur, saya  selalu gemas mendengar ‘curhat’ betapa minim gaji guru TK, PAUD terutama swasta dan sedihnya dibawah yayasan Islam
“Yah, bu Vida… lha wong kata ibu mertua saya, perempuan itu kalau kerja tetep ‘gagah’. Njenengan tau, ada lho Bu TK di yayasan kami ini yang cuma dikasih 50 ribu tiga hari. Karena meskipun TK dibawah organisasi kami  ini banyak, tapi tingkat kesejahteraan dan kualitasnya berbeda-beda. Itulah kenapa untuk bensin saja tidak cucuk (tidak sebanding, ed).Mungkin gaji kami dengan rewangnya (PRT)  bu Vida besar rewangnya bu Vida per bulan.Saya tetap punya tekad keluar bu, meskipun kadang tidak tega lihat anak-anak kecil ini…”
…..
Itu baru satu guru. Ada yang mengatakan pada saya lagi, bahwa untuk dapat tunjangan-tunjangan bonus di Diknas aja harus dipotong ini itu. Ada lagi yang curhat “PAUD kami ya Cuma mengandalkan dana operasional  dari orang tua, Umi…” Ada lagi yang membuat saya merasa aneh, di sebuah Yayasan Besar  dikota saya, disalah satu TK nya, gaji seorang satpam pun harus ditanggung kas komite, para gurunya yang bergaji tidak lebih dari 500 ribu (itupun yang sudah kepala sekolah) harus kuliah PGTK dengan biaya sendiri. Padahal, kita sama taulah berapa ‘income’ sebuah Yayasan yang cabangnya ratusan, yang pemasukan dari sector pendidikannya begitu besar. Belum lagi sangat disayangkan anak-anak pengurusnya justru bersekolah di TK-TK mahal dengan alasan ‘kebutuhan’ survey dan studi banding. Olala…
Jika dihitung, banyak guru TK dan PAUD swasta atau rintisan di RW-RW yang gaji awalnya tidak lebih dari 400ribu bahkan ‘gratis’.Apalagi jika belum lama dan kondisi TK tidak terlalu ‘kaya’. Sedangkan gaji asisten rumahtangga saya setiap bulan sekitar 480 ribu dengan tugas  rumahtangga yang dibagi dengan saya. Tentu bukan bermaksud merendahkan, justru ini suara keprihatinan saya terhadap guru-guru TK yang mungkin gajinya tidak cukup untuk menjadi penopang kebutuhan rumahtangga, apalagi untuk sekolah lagi. Wajar jika kadang mutu pendidikan pun tak terlalu bersemangat peningkatannya karena rasa kemanusiaan untuk ‘jeleh’ (bosan) bisa mengikis keikhlasan dan etos kerja. Akhirnya, seperti celetuk suami salah satu guru TK diatas “mending kamu ngurusi anakmu sendiri, saya tambah uang belanjamu, bu..’
Sungguh, kesejahteraan para guru TK itu membuat saya menarik kesimpulan bahwa pengabdian menjadi sebuah motivasi yang melampaui nilai nominal. Tapi apa iya para guru yang setiap pagi sudah bersiap menyambut anak-anak kita, kadang meninggalkan anak-anak balitanya sendiri, mengasuh, menghadapi kerewelan anak-anak, harus melatih kemampuan anak-anak kita, harus tetap ceria ditengah persoalan mereka, membuat peraga-peraga yang kadang butuh ketelatenan, melatih motorik halus dan kasar anak-anak, menghadapi ‘hasil’ didikan orangtua yang tak semuanya santun. Ya,ya,ya.. profesi guru TK /Play group yang jika kita renungkan merupakan ‘bagi tugas’ pengasuhan yang semestinya banyak dihandle orangtua, ternyata tak mendapatkan penghargaan materi yang selayaknya. Belum lagi tuntutan saat ini dimana kebanyakan orangtua dan beberapa SD mensyaratkan bahwa lulusan TK harus dapat membaca. Hasilnya? Mohon maaf, anak-anak tak lagi menemukan sekolah TK zaman kita dahulu yang benar-benar hanya bermain. Guru TK pun akhirnya bekerja keras mengajar membaca.
Entah apa pesan dari tulisan ini. Namun jika boleh saya menyuarakan ‘ngudo roso’ para guru yang sempat saya dengar, sepertinya sangat mulia jika Yayasan , atau pengelola-pengelola TK, PAUD swasta mulai memperhatikan kesejahteraan pendidiknya. Insya Allah dengan terperhatikannya –minimal- gaji pokok mereka, etos kerja akan semakin baik. Sekali lgi, ini tentu bukan tentang spirit ikhlas dan tidak ikhlas, sebab saya yakin menjadi guru TK adalah pilihan bagi orang-orang tulus dan cinta anak-anak. Ini soal penghargaan profesionalitas. Wallahu a’lam bishawwab. Salam Inspiratif!

Minggu, 01 Mei 2011

Revitalisasi Pendidikan Madrasah

Seorang teman bercerita bahwa anaknya ‘terancam’ dipindahkan ke Madrasah Ibtidaiyah di sebuah Yayasan perguruan Islam yang sama dengan SD tempat kini putranya sekolah. Begini cerita lengkapnya
“Aduh anakku kalo gak bis ngikutin pelajaran di SD-nya  mungkin ntar kelas dua dipindah ke MI-nya Bu. Ponakanku tadinya mau masuk ke SD Islam itu, trus gak lolos seleksi , mau dilempar ke madrasah ibtidaiyah nya. Yah. Emang kayak ‘pembuangan’ gitu yaaa kesannya”

                Saya yang tadinya optimism au masukin anak saya ke MI tersebut juga jadi mikir. Bukan karena ikut ‘mengunder estimate- ti” kualitasnya tapi sedih aja dengan kenyataan bahwa banyak Madrasah di negri kita ini hanya jadi tempat alternative bahkan tempat ‘pembuangan ‘ anak-anak yang dianggap kurang berprestasi, atau anak-anak kurang mampu daripada tidak sekolah. Sebenarnya pun, ini issue lam, tapi mengapa tidak banyak aksi yang dilakukan oleh para pengurus Yayasan Islam, atau bahkan oleh Diknas dan Depag sebagai penanggungjawab lini pendidikan jalur Madrasah ini.

                Jika kita runut sebab betapa memprihatinkan kualitas dan animo masyarakat terhadap pendidikan madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah) sungguh tidak lepas dari beberapa faktor

Pertama , : Sejarah Sekularisasi & Pemisahan Pendidikan di Negri kita
                Dahulu, di zaman pendidikan, dikotomi pendidikan government dan madarasah sudah terjadi. Lihat saja perjuangan Ahmad Dahlan merintis sekola-sekolah Muhammadiyah , misalnya ,juga dilatarbelakangi bahwa sinergi sekolah negri (government) dan swasta ( madrasah) harus dilakukan.
                Di zaman penjajahan, Belanda seringkali membuka peluang ‘kerja’ hanya untuk para lulusan sekolah government (negri), para lulusan madrasah hampir tidak memiliki akses pekerjaan yang  bergengsi pada masa itu. Bisa jadi itulah yang turun temurun menjadikan para orangtua ‘terkkoptasi’ dengan pilihan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ‘negri’ agar cepat mendapatkan pekerjaan. Dan tercapailah brand image yang diciptakan Belanda untuk mensekulerisasi dan memisahkan pendidikan agama dan umum.

Kedua : Persaingan Kualitas dan Image antara Sekolah Negri , Swasta Islam dan Madrasah
                Pada perkembangan selanjutnya, sebenarnya pendidikan Islam (MI, MTs, MA) telah mendapatkan persamaan  dengan pendidikan negri melalui UU Sisdiknas 2003. Namun entah mengapa image tentang pendidikan di madrasah yang cenderung kurang berkualitas baik secara input dan fasilitas . Anak-anak berkemampuan baik dan istimewa cenderung disekolahkan para orangtua di sekolah negri atau swasta Islam Unggulan, bahkan seperti kasus diatas, sebuah Yayasan Islam pun ‘membedakan’ anatara SD Islam  dan MAdrasah Ibtidaiyah padahal dengan nama yang sama.Jadilah madrasah seolah menjadi tempat anak-anak berinput tidak terallau ‘pintar’ dan atau berkemampuan ekonomi menengah kebawah.
                Padahal, semestinya pendidikan Islam yang sarat dengan kelebihan di sisi-sisi spiritual dan moral ini harus diperjuangkan kualitasnya. Terkait dengan ‘persaingan’ itulah maka saya menyimpulkan beberapa tipikal orangtua muslim dalam memilihkan sekolah anak mereka
  • Orangtua dengan kemampuan ekonomi menengah keatas dan anak yang ‘pintar’ maka memilih sekolah negri atau swasta Islam yang terkenal unggulan
  •   Orangtua dengan kemampuan pas-pasan dan anak dengan kemampuan ‘pintar’/sedang  memilih menyekolahkan anak di sekolah negri, karena umumnya gratis dan image-nya berkualitas
  •   Orangtua berkemampuan cukup dan anak yang sedang , memilih menyekolahkan nak mereka di sekolah negri atau sekolah Islam non madarasah
  •   Orangtua berkemampuan pas-pasan dan anak yang kemampuan ‘kurang’ pintar memilih sekolah swasta Islam yang tidak unggulan atau madrasah. Yang penting anak tetap sekolah
Pada akhirnya, masyarakat memang berhak memilih kemana pendidikan anak-anak mereka dititipkan. Maka, para pengelola sekolah Islam dan madrasah harus memiliki kepercayaan diri dan spirit mendidik yang prima. Merencanakan pendidikan mdarasah yang memiliki visi keislaman dan mutu pendidikan yang baik dengan pengelolaan professional harus ditempuh untuk membuktikan kualitas (klik link ini)  untuk refernsi.

Kepercayaan diri itu dapat pula dibuktikan dengan tidak gentar menerima input murid yang kurang ‘pintar’ dengan sebuah semangat menghasilkan output yang baik dan berakhlak. Memang harus sedikit bekerja keras, sebab sangat jamak bahwa sekolah-sekolah unggulan baik negri, swasti Islam terpadu dan sejeneisnya dapat mempertahankan kualitas karena input yang ‘sudah jadi’ dan terseleksi. Jadi wajar jika para gurunya tidak terlalu bekerja keras. Jadi, mari bersemangat para guru dan pengelola Madrasah!

Kamis, 14 April 2011

Mengakrabi Semangat Sang Raden Ajeng : 3 Inspirasi Untuk Kartini Era Digital!


                Panggil Aku Kartini Saja,  buku karya Pramoedya Ananta Toer itu saya baca di usia yang masih ranum, 19 tahun.Saat itu saya adalah :seorang anak perempuan, gadis muda dengan banyak cita-cita. Buku  yang entah  bagaimana membuat saya ‘jatuh cinta’ pada Sang Raden Ajeng. Selanjutnya, saya semakin intens menelusuri banyak buku, tulisan dan beberapa artikel tentang Kartini.Ya, tentang semangat dan pemikirannya.
                Waktu berjalan dan saat ini  usia saya menjelang 30 tahun. Kini saya telah menjadi seorang istri dan ibu dari tiga anak balita. Namun toh  saya tetap seorang perempuan. Dan saya tidak mau ‘turun mesin’ dalam cita-cita dan idealisme seperti keluhan banyak perempuan saat telah menjadi istri dan ibu. Bagi saya, Sang Raden Ajeng menjadi salah satu perempuan inspiratif yang mampu menyikapi segala perubahan budaya, peran, status, dengan tetap menghidupkan idealismenya sebagai perempuan bercita-cita luhur ditengah bangsa dan budaya terjajah.
                Perjalanan saya ‘mengakrabi’ sosok Kartini, justru tidak membentuk saya selalu menuntut persamaan hak. Itu sudah selesai. Wacana tentang tuntutan kebebasan, peluang, kesempatan meraih kemajuan sudah sejak lama kita genggam. Justru, telaah saya terhadap sosok Sang Raden Ajeng mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa RA. Kartini adalah perempuan sederhana yang sadar terhadap fitrahnya sebagai istri dan ibu namun menyimpan semangat  kemajuan yang melampaui adatnya. Sang Raden Ajeng  bagi saya justru menyemaikan beberapa inspirasi dan kesadaran yang tak lekang kapanpun. Inspirasi yang akan menjadikan peringatan kelahiran beliau –semoga- bukan lagi peringatan simbolik, bukan lagi diperingati dengan peragaan trend-trend busana kebaya terbaru,misalnya J
                Maka,dalam konteks kekinian,dimana teknologi dan informasi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, izinkan saya memaparkan setidaknya tiga inspirasi dari Sang Raden Ajeng Kartini bagi kita, perempuan Indonesia di era digital untuk memberdayakan diri, keluarga dan masyarakatnya.
Inspirasi Pertama : Kesadaran Menjadi  Perempuan Pembelajar
                Kartini seorang pembelajar. Semangat pembelajar itu yang membawa Kartini pada kesadaran untuk mengakses  informasi dan terus mengikutinya dari semua kalangan. Semangat belajar itulah yang mengeluarkan Kartini dari sekat-sekat budaya dan keterbatasan. Kesadaran belajar itu pulalah yang menggiring Kartini mengakrabi kembali ajaran Al-Qur’an dan menjadikannya seorang perempuan kritis yang akhirnya menemukan bahwa agamanya mengajarkan persamaan hak belajar dan hak-hak kemanusiaan yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Kesadaran itulah yang membentuk kesadaran moral bagi Kartini untuk mencerahkan kaumnya.Luarbiasa !
Kita, perempuan Indonesia masa kini semestinya lebih mampu memompa semangat belajar. Era digital  didepan mata, mengajak kita menjadi pemilih teknologi dan informasi yang cerdas. Segala hal dapat kita akses, segala ketrampilan dapat kita pelajari dan segala ilmu dapat kita perdalam hanya dengan menggerakkan jari. Apapun profesi dan kegiatan perempuan saat ini, ia harus dapat belajar menemukan hal baru yang dapat meningkatkan kualitas aktifitasnya.
Hal itu benar-benar saya coba patrikan dalam diri. Bahwa saya bangga berprofesi dan berkegiatan utama sebagai istri dan ibu rumahtangga. Namun saya harus mampu meningkatkan kualitas saya dalam mengasuh anak-anak, memenej rumahtangga, berinteraksi sehat serta berpartner dengan suami dan orang-orang disekitar saya. Lewat teknologi internet saya dapat meluaskan wawasan saya, melejitkan potensi , bahkan ‘bersekolah’ online dari rumah. Perempuan pembelajar mampu mengatasi keterbatasan menjadi sebuah energi positif untuk lebih maju.Ya,seperti sang Raden Ajeng.
Inspirasi Kedua: Kemampuan Bersinergi dan Berkepedulian Sosial
                Hal lain yang saya temukan dalam sosok Raden Ajeng Kartini adalah kemampuan beliau untuk membuat sinergi dengan orang lain, dengan orang terdekat dan dengan masyarakatnya. Beliau –dengan spirit moral dan karakter pembelajarnya- mampu meyakinkan suaminya untuk mendukung cita-citanya, pun beliau mampu menjalin komunikasi efektif dan sinergis dengan sahabat Belanda beliau pasangan suami istri J.H Abendanon dan sahabat penanya yang lain,  Estelle "Stella" Zeehandelaar, untuk bertukar pikiran, saling mendukung dan mensinergikan cita-cita luhurnya. Tak heran jika dimasa itu, justru suami beliau mendukung keinginannya untuk membuka sebuah sekolah bagi kaum perempuan, sebuah dukungan berharga dan diluar kebiasaan kala itu.
                Itulah yang harus kita ejawantahkan saat ini. Kasus-kasus kekerasan, perkosaan, kasus sosial ,keluarga, anak dan semua yang terkait dengan dunia keperempuanan hanya bisa diselesaikan dengan sinergi para perempuan sendiri. Kita para perempuan Indonesia dapat menyuarakan segala persoalan dan mencari solusi dengan memanfaatkan jejaring sosial,media dan semua akses teknologi. Maka, tidak ada lagi alasan untuk bersikap acuh dan hidup dalam kepentingan diri. Sebab Kartini dan para pejuang bukan sosok yang hidup untuk dirinya sendiri.
Inspirasi Ketiga : Kemampuan Mendokumentasikan dan Menebar  Pemikiran/Ide
                Boleh jadi, Cut nya’ Dien adalah pahlawan perempuan yang lebih dahulu terjun dengan heroik di Tanah Rencong. Pun seorang Dewi Sartika lebih dahulu membuka Sekolah Istri sebagai kepeduliannya terhadap kemajuan kaum perempuan bumiputera.Namun, mengapa Kartini memiliki ide yang terus hidup, diperingati dan menyejarah??
                Jawabnya karena kartini MENULIS! Inspirasi terakhir dan menjadi terpenting dalam tulisan ini adalah bahwa Sang Raden Ajeng Kartini mampu mendokumentasikan pemikiran dan cita-citanya. Kegemaran korespondensi beliau dengan sahabat pena di Belanda, tulisan-tulisan beliau kepada Nyonya Abendanon menjadi kumpulan pemikiran yang tak lekang.
                Belajar dari semangat Kartini untuk menggunakan pena dalam memperjuangkan cita-citanya, maka saya mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk belajar ‘bersuara’ melalui tulisan. Sebab menulis akan menyalurkan ketulusan , kepedulian serta  energy positif kita. Menulis akan mengasah kemampuan kita untuk memandang persoalan dengan banyak sudut pandang, menulis mampu mempengaruhi pemikiran dan menyentuh perasaan.
Kemampuan mendokumentasikan pemikiran dan ide inilah yang kelak akan menjadikan kita perempuan yang memiliki rekam jejak dan sejarah cita-cita. Apalagi di era digital, tulisan kita di facebook, blog ataupun website menjadi sebuah sebaran pemikiran yang luarbiasa. Kesuksesan-kesuksesan kecil dan pemikiran-pemikiran –yang mungkin kita anggap sederhana- namun kita dokumentasikan melalui tulisan, kelak akan menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan jika itu membawa kebaikan maka kita akan mampu menawarkan perubahan sikap dan perilaku yang luarbiasa. Ya,ya,ya!Maka inilah salah satu cara saya mendokumentasikan ‘perkenalan’ saya dengan Sang Raden Ajeng, dengan menuliskannya untuk Anda!
Demikian tulisan ini, semoga menjadi renungan dan inspirasi dari sosok yang tentunya tak ingin dirinya hanya menjadi sebuah simbol tanpa makna. Maka, mari kita coba menanyakan pada diri, apakah benar kita pantas menjadi ‘Kartini’ Digital masa kini? Mari memulainya hari ini!
*tulisan ini saya sertakan dalam kompetisi menulis blog ‘Kartini Digital’ oleh XL dan forum Indonesia Berprestasi. Mohon koment dari teman dan sahabat.Silakan berkunjung ke rumah pemikiran kami,  di  http://penaperempuan.blogspot.com untuk tulisan-tulisan seputar dunia perempuan dan keluarga .Salam Inspiratif!
Info Kompetisi Menulis Blog dan Kompetisi lain silakan klik http://xlcsr.com/kartinidigital/lomba-menulis-blog/


Minggu, 16 Januari 2011

SALAH SATU ARTIKEL YANG MEMBUATKU BERHENTI MEMBERI SUFOR!

Pada Bulan Desember 2009 -kalau tidak salah- tak sengaja saya membaca sebuah majalah kesehatan milik adik saya yang tertinggal dirumah orangtua. Kini saya tinggal dirumah itu . Majalah yang membuat saya 'kembali' mencoba pola hidup lebih sehat. Padahal sebelumnya saya juga sering membaca banyak artikel kesehatan. Tapi begitulah, mungkin kita tak pernah tau rahasia sebuah ilmu sampai benar-benar kita dapat berkomitmen. Dan artikel inilah salah satu 'ilmu' yang saya dapatkan hari itu, menginspirasi saya terutama yang saya cetak tebal. 

Kebetulan, saya sedang  mencoba menghentikan 'kecanduan' susu formula anak kedua saya  yang tiap kali meminta susu. Susu formula yang memang manis  itu pastilah disukai anak. Saya benar-benar beruntung.Kini semua anak saya tidak lagi minum sufor. Kami berlangganan susu segar. Tentang ini, semoga ada postingan lain yang segera saya buat. Saya sengaja meng-copy paste artikel ini, semoga menginspirasi! atau buka  link ini 

************

Pola baru? Bukan!
Oleh: Dr. Tan Shot Yen. Sumber: Majalah Prevention Indonesia, Januari 2009

Ketika saya diminta bicara dalam suatu seminar tentang pola makan, ada satu pertanyaan yang paling sering muncul.


Pertanyaan itu adalah seputar kesulitan ‘beradaptasi’ dengan isi piring makan yang sudah dijelaskan. Sambil menghela napas (menguji kesabaran) dan memutar otak untuk menata bahasa, saya akhirnya bertanya,”Apakah yang diuraikan tadi adalah hal yang sama sekali baru, sehingga Anda perlu beradaptasi?” Kaget karena ditanya balik, sang penanya biasanya tersipu-sipu,”Yaaa… saya tau sih dok, makan sayur itu sehat. Apalagi bentuknya segar, tapi… ‘kan kita enggak biasa…”

Tubuh manusia abad ini dan tubuh manusia purba membawa pola genetik dengan tatanan DNA dan RNA dalam inti sel yang 99% masih sama. Kaget? Tidak perlu. Yang mengagetkan saya justru begitu cepatnya perubahan gaya makan manusia dalam kurun waktu tersebut. Yang ternyata membuat orang mempunyai jurang lebar antara apa yang dilakukan (dimakan) dengan apa yang sebenarnya diketahui sebagai hal yang tidak baik. Ketimpangan ini rupanya tidak hanya terjadi di bidang akhlak (siapa yang tidak tahu korupsi itu buruk? Tapi dilakukan juga…) melainkan juga dalam memilih gaya hidup (siapa yang tidak tahu merokok sama dengan bunuh diri? Tapi masih dikerjakan juga…) dan dalam hal memilih pola makan (siapa yang tidak tahu gula berlebih membuat keropos tulang? Tapi tetap ngopi-ngopi berteman tumpukan snack bertepung…).

Pembenaran yang tampaknya hanya sekadar permainan ‘rational excuses’, seperti menghentikan rokok sebaiknya pelan-pelan, atau membiasakan makan sayur secara bertahap, ternyata bukan mencerminkan niat sesungguhnya atau pengejawantahan ‘resolusi hidup sehat’. Seperti kebanyakan jargon obral janji orang modern setiap awal tahun baru. Saya sering (walaupun tidak selalu!) menemukan segala sesuatu yang berhubungan dengan niat tapi dijalankan dengan gaya ‘adaptasi’, lebih cenderung gagal. Karena sejak awal yang dibuka adalah self-sabotage, atau bahkan backdoor exit. Sebagai orang berintelektual tinggi dan pandai merasionalisasi segala sesuatu, tentu berderet alasan bisa dijadikan pembenaran. Termasuk kegagalan untuk konsisten makan sayur karena alasan ‘keluar kota’, atau yang paling konyol : istri saya belum sempat beli…

Jadi, yang sesungguhnya kerap terjadi (salah satunya dalam menerapkan pola makan sehat) bukanlah untuk membiasakan tubuh (karena tubuh justru akan bersorak sorai mendapatkan makanan layaknya untuk tetap bugar). Melainkan membiasakan diri untuk stand for your ultimate vision – menegakkan visi Anda.

Betul, Anda tidak hidup sendiri. Butuh support? Tunggu dulu. Dalam perjalanan terbang Surabaya-Jakarta beberapa waktu yang lalu, saya ‘mencuri dengar’ pembicaraan seru tentang marketing dan kelesuan ekonomi antara dua pria dengan penampilan keren. Pembicaraan mengenai ekonomi biasanya sangat saya hindari karena memusingkan kepala, buntut-buntutnya saya tetap kelihatan tidak pintar. Tapi sepotong kalimat si keren tadi membuat telinga saya tegak, ”Tahu enggak, warung kopi franchise menjadi sangat laris karena menambahkan informasi mengenai susu. Bahwa dalam setiap gelas cappucino atau coffee latte mereka, pelanggan juga mendapat manfaat susu sebagai pencegah keropos tulang…” Astagaaaa!! Saya baru sadar tentang ampuhnya jargon dan kepercayaan. Itulah mengapa sulit sekali ‘meluruskan kembali’ peta masalah dan memanggil orang untuk bangun dari tidur lelapnya yang sudah terlalu lama. Itulah sebabnya mengapa saya harus berjuang agar pasien perlu keluar dari ribuan kepercayaannya: Bahwa minum teh manis tiap pagi bukan ‘morning call’ yang sehat untuk insulin, bahwa jus malah meningkatkan risiko diabetik, bahwa sapi kita bukan lagi pemakan rumput dan susu pasteurisasi tidak mungkin memberikan manfaat pencegahan keropos tulang karena kalsiumnya sudah bersifat ‘non bio-available’. Alih-alih memadatkan tulang, ia malah nyasar mengendap di pembuluh darah.

Jargon lebih ampuh dari fakta ilmiah (yang sering disimpan kalau bunyinya merusak derap perdagangan dan investasi). Bukan hanya untuk awam, juga untuk yang katanya ‘profesional’. Ketika kedelai sekarang sudah dihujat di belahan bumi lain (yang memuja kedelai yang sama 10 tahun lalu), negeri ini justru baru mulai membuat ritual pemujaannya. Barangkali ini nasib dunia ketiga.

Apabila saya berkampanye tentang kembali ke sayur dan buah sebagai sumber karbohidrat, menganjurkan bayi-bayi menyusu pada ibunya dan berhenti menyusu (termasuk susu kaleng!) pada saat gigi sudah komplit karena ia perlu mengunyah dan mengaktifkan alat-alat cernanya (toh, kadar enzim laktase dan renin sudah hampir tidak ada pada usia 3 tahun), apakah saya mengajarkan ‘pola makan’ gaya baru?

Yang perlu lebih dicermati adalah perilaku gampangan dan mempertahankan survival dalam comfort zone manusia, yang pasti tidak akan membawanya ke mana-mana selain kematian dini. Bila cinta saja mati dalam lingkaran comfort zone yang tidak menjanjian pertumbuhan, apalagi tubuh? Tantangannya, bukan mengadopsi ‘pola yang baru’, melainkan: yuk, kembali menjadi manusia yang selaras dengan alam, bebas dari jargon dan berani bangun dari nina-bobok berbagai kepercayaan usang. Karena hidup sudah berubah. Beras tidak lagi ditumbuk dengan alu, sapi tidak lagi makan rumput. Banguuuuuunnnnnn!!(Dr. Tan Shot Yen, M.Hum.,)


**Dr. Tan Shot Yen, M.Hum., kinesiolog, sekaligus praktisi Braingym dan Quantum Touch, energy healing. Ia juga dikenal sebagai basic & advanced clinical hypnotherapist di Internasional Center for Hypnosis Education & Research. Selain sibuk menjadi pembicara dan narasumber di berbagai seminar, talkshows dan media, dia juga dipercaya menjadi co-teacher di kursus-kursus medical hypnotherapy. Wanita yang sedang sudah menyelesaikan studi di Program Magister Filsafat Manusia, STF Driyarkara ini juga aktif sebagai konsultan di Health Service Program – USAID.

Minggu, 28 November 2010

Menjadi Perempuan Hebat dengan Ber- Internet Sehat



      Perkenalan saya dengan internet bermula saat masih kuliah. Masih lugu. Sekedar punya e-mail, chat, dan sedikit-sedikit mengirimkan tulisan ke website-website majalah online. Termasuk juga browsing untuk keperluan skripsi dan menulis buku pertamaku. Setelah menikah dan memiliki satu putri  intensitas saya ke warnet lebih sering. Maklum long distance love kami jalani saat itu. Suami yang menempuh kuliah di Sudan membuat  kami punya jadwal nge –date untuk chatting. Sederhananya, saya bersyukur teknologi internet bisa saya kenal. Setelah kami berkumpul kembali di akhir  tahun 2006 dan mulai mengontrak rumah kecil dipinggiran kota kami, internet mulai menjadi kebutuhan.

Pekerjaan saya  dan suami sebagai penulis serta hobby gadget suami menjadikan kami memutuskan mengakses internet dan hingga kini kami sudah memasang speedy dirumah. Jujur, saya sangat terbantu dengan fasilitas ini. Pilihan saya untuk tidak bekerja diluar rumah dan menunda kuliah lagi  sampai anak-anak kami berusia diatas lima tahun membuat saya berkomitmen untuk menjadikan rumah kami menjadi home office. Saya menulis, menjalankan aktivitas di rintisan LSM dan rumah baca kami, mengasuh anak-anak dan sesekali memenuhi undangan bedah buku serta mengisi training atau kajian. Tentu saja semua membutuhkan wawasan yang up to date.
Beruntung saya memiliki pasangan hidup yang berwawasan, tidak gaptek (hehee) dan sangat akomodatif terhadap semua  cita-cita saya. Dukungan beliau diwujudkan dengan memberikan fasilitas internet 24 jam dirumah kami. Berinternet sehat menjadi aktifitas kami sehai-hari. Kini dengan belajar dari suami saya bisa mengelola blog, memanfaatkan facebook dan twitter, mengakses informasi dari berbagai website.

      Tentu saja, saya menyadari bahwa teknologi bernama internet itu sangat mudah pula membuat penggunanya menilik hal-hal berbau porno atau tidak bermanfaat.Tapi itulah teknologi, itulah alat, itulah dunia. Selalu ada dua sisi yang memberikan kita pilihan. Baik buruk, manfaat – mudhorot. Dan kita punya hati dan pikiran untuk menyaringnya. Kampanye berinternet sehat menjadi salah satu cara kita berupaya mengajak para pengguna internet agar memanfaatkan teknologi ini dengan lebih bijak dan penuh manfaat. Sebagai perempuan khususnya, saya banyak mengambil manfaat dari interaksi dan ’persahabatan’ saya dengan internet sehat agar saya belajar jadi ’perempuan hebat’ hehe. Setidaknya ada empat hal yang ingin saya bagi, semoga menginspirasi:

Satu : Internet Sehat Meluaskan Wawasan Perempuan         


Suatu hari, saya dan suami menunggu pemberangkatan bus ke kota Kudus, saat itu seorang loper koran menjajakan dagangannya. Saat melewati kami berdua maka ia menyodorkan koran ’serius’ dan harian nasional pada suami saya, dan pada saya? Ia menyodorkan beberapa harian dan tabloid gosip.Saya sempat tersinggung tapi kemudian saya tersenyum kecil, mungkin memang itulah imej kita, kaum perempuan secara umum : suka berita gosip, fashion, gak suka berita yang ’berat-berat’. hehee.Mungkin.

         Begitupun dalam era internet saat ini. Mungkin masih jarang kaum perempuan memanfaatkan si mesin pencari ’mbah Google’ untuk meluaskan wawasan atau semoga saja internet bukan hanya dimanfaatkan untuk pengisi senggang. Perempuan hebat dalam cita-cita saya adalah perempuan yang mampu memanfaatkan teknologi untuk keluasan wawasannya. Bayangkan saat ini tidak ada satu informasi pun yang tidak terakses. Jika kita mampu meluaskan cakrawala wawasan kita, apalagi kita yang beruntung telah mengenal teknologi ini, maka setiap hari adalah waktu-waktu belajar yang menyenangkan. Kita-perempuan- dengan segala peran dan potensi kita akan memiliki wawasan yang selalu bertambah dan akan membuat kita mampu mengikuti segala kemajuan zaman.

 Dua : Internet Sehat Meluweskan Pergaulan dan Menambah Jaringan
Luas dalam wawasan harus didukung dengan luwes dalam pergaulan. Tidak lagi dinafikan bahwa jejaring sosial seperti facebook dan twitter membuat seseorang mampu melipatgandakan jaringan pertemanan.
            Saya sendiri sangat mensyukuri ini. Dengan facebook saya menemukan teman-teman lama saya, pembaca buku-buku saya, bergaul dan berkenalan denganteman-teman baru orang-orang yang secara jarak  mungkin saya belum tentu bisa bertemu. Sikap luwes dan ’apa adanya’ juga saya terapkan meskipun hanya didunia maya. Namun saya yakin saat kita mampu mengelola interaksi dengan para sahabat kita di jejaring sosial, bersikap jujur dan apa adanya, maka persahabatan itu dapat terjalin seolah-olah kita sudah lama mengenal. Jaringan itulah yang dapat kita menfaatkan untuk menawarkan usaha, menangkap peluang bisnis dan bahkan dapat saling memberikan informasi yang dibutuhkan oleh para sahabat kita. Bergabung dengan grup-grup minat, bisnis, blog walking, dan sekedar berkomentar yang santun dan positif dapat menjadikan kita sahabat untuk teman-teman kita

Tiga : Internet Sehat Membuat kita Kreatif dan Sehat

Teman saya pernah berkomentar , ” Alamak, sekarang mau bikin sambal bajak acar pake nyari di internet” Haha sekilas selorohan teman saya itu bernada menyindir tapi saya menangkap sisi lain bahwa betapa mudah hidup ini.  Bagi saya sendiri, untuk menjadi istri, isbu dan kelak nenek harus memiliki wawasan yang luas dan inovasi kreatif.

Perempuan hebat mampu memanfaatkan teknologi dan memberdayakan potensi akalnya untuk kreatif. Berinternet sehat membantu untuk itu. Saya memanfaatkan sebaik-baiknya segala macam informasi mulai dari resep masakan,tips  mendekorasi ruangan, membuat makanan bayi sendiri, membuat berbagai kerajinan tangan, berolahraga praktis dirumah, sampai tips cara menjahit pakaian. Saya jadi lebih kreatif dan bersemangat menerapkan hal-hal baru. Bayangkan, sekali duduk saya mendapatkan beragam informasi yang bisa saya terapkan dan saya modifikasi tiap pekan.

Bagi fulltime mom seperti saya, berinternet sehat membantu saya belajar hidup lebih sehat. Anak-anak saya pun saya libatkan dalam mencari informasi. Sering putri sulung saya bercerita pada temannya ”Umiku kan belajar dari internet, kata umiku kita bisa tambah kreatif dan pintar” .Ya,ya,ya... sekali lagi, teknologi dan informasi adalah ’bahan makanan’ yang bisa kita olah menjadi masakan yang lezat dan bergizi.

Empat :. Menjadi Pribadi  Bermanfaat dengan Internet Sehat

Saya selalu salut dengan orang-orang yang sangat rajin dan profesional mengelola blog atau website-website yang bermanfaat. Blog-blog dan  website-website bermutu itu dikunjungi ratusan bahkan ribuan orang tiap hari. Dengan logika akal , tentu dia memberi banyak manfaat dengan tulisan dan pemikirannya, dengan logika yang lebih agamis, jika si pembuat blog dan website atau catatan-catatan di facebook itu bermanfaat dan diamalkan banyak orang dan meniatkannya untuk itu, berapa banyak pahala amal jariyah yang mereka dapat?

Jujur, itulah yang menginspirasi saya untuk lebih giat menulis catatan-catatan, bertekad lebih sungguh-sungguh mengelola blog saya tentang dunia perempuan dan pengasuhan anak, dan menjadikannya sebagai lahan amal sholeh. Bukankan sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Bukankah setiap amal kita dapat menjadi sedekah yang menjadi pemberat timbangan di hari akhir? Saya banyak belajar dari orang-orang inspiratif yang saya temui melalui facebook, blog dan pertemanan di dunia maya. Saya yakin mereka adalah orang-orang berdedikasi yang mau membagi ilmunya. Ya! Berinternet sehat memberi kita peluang untuk lebih bermanfaat dengan ilmu kita, dengan profesi kita, dengan ketrampilan kita. Perempuan hebat tentu akan mengambil peluang itu: menebar benih manfaat untuk semua orang, disemua tempat.

Akhirnya, mari kita manfaatkan segala kemudahan yang dianugerahkan Allah pada kita. Kita manfaatkan teknologi sebagai bentuk kemudahan itu untuk menjadi ’sahabat’ kita dalam mencapai kebaikan-kebaikan yang bermanfaat untuk diri kita, orang-orang disekitar kita dan untuk dunia akherat kita. Selamat berinternet sehat, sahabat!     

Rabu, 06 Oktober 2010

Suatu Siang Bersama Prof. Wakitri : Belajar Tentang Spirit Mengabdi & Mendidik Generasi

 Siang itu aku bersiap meninggalkan rumah untuk bersilaturahim ke rumah seorang murid senior kakekku di MTA, bu Ummi Salamah namanya. Dengan sangat berniat, aku berangkat bersama aunty Maya (hehehe bulikku) kami memang klik banget karena telah merencanakannya beberapa waktu lalu. Perjalanan ke daerah Nusukan pun kami jalani dengan bersepeda motor. Sampailah kami di sebuah rumah di sekitar pasar meuble Nusukan . Rumah joglo yang kini jarang ada. Halaman yang luas dan masih ada tanah yang tak berbatu kerikil. Khas rumah-rumah kampung dimasa kecil saya. Pohon srikaya, mangga dan suasana adem membuat saya menikmati sembari menunggu ’eyang putri’. Suasana ’jadul’ tambah lengkap dengan alunan musik tetangga yang menyetel radio ’ABC’ Solo dengan lagu-lagu dangdut dan pop yang populer tahun 87 an.

            Sebenarnya, tulisan ini akan saya jadikan dua. Sebab hari itu saya bertemau dua ’eyang putri’ yang luar biasa hari itu. Asyik mengobrol dengan bu Ummi Salamah, tanpa saya duga saya bertemu dengan ’eyang putri’ satu lagi. Dengan usia yang sepuh, baju gamis dan jilbab lebar  bersahaja, perempuan tersebut ikut menemani kami mengobrol. Ternyata, hari itu saya benar-benar beruntung . Perempuan lanjut usia yang masih bernas itu bernama Profesor Wakitri, nama yang sering disebut-sebut Almarhumah ibu saya untuk contoh seorang perempuan berpendirian kukuh dan idealis, namun baru hari itu saya bertemu. Subhanallah, ternyata beliau adalah kakak bu Ummi Salamah. Saya baru tahu hari itu.

Beliau seorang guru besar UNS, seorang yang sepanjang kami mengobrol menunjukkan stamina pemikiran yang luar biasa. Jadilah siang itu saya seumpama peserta tutorial gratis dari seorang guru besar. Dari mulai mengobrol konsep pendidikan, PAUD, menyarankan saya kuliah S2 Psikologi atau PAUD sampai menawarkan saya berdiskusi lebih lanjut di lain hari. Beberapa penggal ‘kuliah’ dan obrolan penuh keakraban itu saya tuliskan ulang. Tentunya dengan bahasa yang lebih dinamis.Semoga menginspirasi. Terutama untuk semua orang yang peduli dengan dunia pendidikan, untuk para Guru. Bagi saya pribadi, bertemu dengan beliau adalah kesempatan memompa spirit mengabdi dan semangat belajar

Profesor (PW)  : “ Saya dari TK Bakti, Jeng.... ada halal bihalal. Ini Mbak Mayah ya, ”
Tante Mayah    : Iya Prof lama tidak berjumpa, dan ini cucu Ustadz yang mbarep, Robi’ah. Mau ngangsu Kawruh dan silaturahim biar belajar dari generasi sepuh.
Sayapun menjabat tangan beliau yang telah sepuh namun saya masih merasakan energinya
Saya                 : ”Wah, masih ada waktu prof untuk mengurusi TK. Masih semangat ya Prof, Subhanallah”
Profesor           : “ Wah kalau waktu, saya bisa saja  bilang tidak punya waktu.Tapi mereka butuh saya, dan saya masih punya ilmu. Jadi untuk apa saya tolak? Saya masih memberikan pengarahan untuk TK Surya Mentari, TK Bakti, saya masih memberi kuliah di Muhammadiyah Magelang. Kalau di TK saya bilang ke mereka, saya tidak usah dibayar tapi terserah saya mau datang kapan. Cukup fair kan Jeng? Toh saya ini tinggal mengisi KMS (Kartu Menuju Surga) dan tinggal mencari SMS (Sarana Menuju Surga) “ dan kamipun tertawa.

1. Pelajaran Tentang Semangat, Tekad dan Kemandirian

Saya     : "Ke Magelang (Univ Muhammadiyah Magelang) di jemput  Prof? " tanya saya
PW      : " Tadinya dijemput sampai kesini. Tapi suatu hari saya tanya sopirnya, dia ternyata harus bangun pukul 3 dini hari  kalau pas tugas jemput saya, ambil mobil di kampusnya, dan berangkat ke solo.Saya tanya subuhan dimana? Jawabnya di Meguwo. Wah kejam sekali saya kalau membiarkan orang kecil harus demikian susah. Akhirnya saya minta dia untuk menjemput saya di Ringroad saja, dekat agen travel melati."
Saya     : "Lalu profesor ke Jogja dengan travel?"
Prof      : "Saya naik bis Sumber Kencono, atau Bis Surabaya –Jogja kan banyak, jeng"
 HA?????!!!!! Saya membayangkan tubuh renta itu menaiki bus. Saya termangu. Pelajaran rendah hati yang manis.
Saya     : ”Subhanallah....Salut prof. Maaf ...usia profesor berapa, terlihat masih semangat lho prof, wah saya mesti dibagi resepnya” Dasar saya, biar kata didepan guru besar, asal dia udah sepuh dan suasana akrab sudah tercipta, saya mulai suka ’usil’ hihihi.Dan ternyata selera humor Profesor boleh juga

Prof      : ” Usia saya rokok Djarum, Jeng ( 76, pembaca.hehe) . Tapi saya selalu berkata pada diri saya bahwa saya bisa, bisa dan bisa. Allah pasti akan menolong saya. Sampai usia ini saya sehat. Baru- baru saja saya dibilang dokter ada sedikit masalah di kesehatan dan itupun hanya kalau saya banyak pikiran. Saya tidak mau ngoyo.”
            Obrolan itu membuat saya tersirap. Bagaimana masa tua saya kelak ya? Mampukah saya menjadi lansia yang terus bersemangat dan mandiri

2. Pelajaran Tentang Idealisme, Cita-cita dan Pengabdian

Bercerita tentang pengabdiannya sebagai guru, Profesor wakitri sangat terlihat menikmati, menghayati.
“ Orang tidak akan menyangka jika orangtua saya hanya guru biasa. Kami bertujuh toh bisa mengenyam pendidikan. Saya sendiri nyambi mengajar saat masih SMA. Hasil dari mengajar saya belikan batik halus, saya simpan , lama-kelamaan jadi satu almari.Dan Jeng tau? Untuk melanjutkan kuliah doktor saya, batik halus satu lemari dan satu kalung sebagai biayanya. Jeng, saya selalu optimis saya bisa sekolah sampai tinggi. Saya pernah berdoa disuatu malam, memohon kapankah orangtua saya tidak usah lagi membiayai sekolah saya. “
 Saya hanya terus merekam semua detil ucapan beliau dengab semampu memori saya. Seandainya saya tau bahwa rencana wawancara saya dengan bu Ummi tentang awal berdiri MTA akan seberuntung ini dengan bonus bertemu Profesor Wakitri, tentulah saya membawa handrecord dan kawan-kwannya untuk membantu saya merekam semuanya.

 Saya                : “ Apa kesan profesor tentang seorang Guru? Mengapa Profesor masih terus semangat memajukan diri dan orang lain?”

Profesor           : ”Mbak, guru itu model. Seorang guru harus dapat menjadi model kebikan. Mengapa? Karena mereka akan bertemu dengan anak-anak didiknya. Jeng tau, di TK kami guru haruslah menyenangkan, tidak boleh terlalu gemuk, atau merengut.Hehehe. Biarpun gemuk tapi dia harus menarik. Mengapa? Karena anak-anak yang senang melihat gurunya dia akan meneladani. ...Guru harus dapat mengasah dan mengasuh.

Saya                 : ”Profesor tampak mencintai pekerjaan sebagai pendidik, guru , dosen ya Prof..” beliau menatap saya dan tersenyum

Profesor           : ”Jeng, saya dulu saat pembentukan UNS, saya satu-satunya dosen yang dulu menentang digabungkannya universitas2 swasta menjadi UNS. Mungkin saya sombong, tapi saya merasa tidak level saat itu, merasa lulusan Gajahmada.(beliau tertawa) Saya pun enggan mengajar di Universitas swasta karena gaji saya tidak dianatar.Memangnya siapa saya? Disuruh ambil gaji ke kantor. Saya tidak mau.  Ini guyonan Jeng. Tapi itulah. Mengajar bukan semata-mata mencari Gaji. Jeng harus ingat. Kalau Anda bekerja pertama kali, carilah JENENG dulu, jangan cari JENANG.Artinya, anda harus bersungguh-sungguh agar orang melihat hasil kerja anda secara memuaskan. Uang, gaji (jenang istilahnya) akan mengikuti jika kita profesional dan tekun.
Sungguh, saya hanya bisa mengangguk, mencatat dalam memori saya, mengingat semua nasehat dan ’tutorial’ siang itu. Menghayati setiap petuah yang dituturkan oleh sang Eyang Profesor”

 3. Pelajaran Tentang Pendidikan Usia Dini
            Meskipun usia beliau telah kepala tujuh, namun yang membuat saya salut adalah dedikasi beliau untuk tetap membina beberapa TK Islam di Solo. Mengisi seminar untuk guru-gurunya dan membersamai mereka. TK –TK dibawah bimbingan beliau pun terus mengalami kemajuan.

Saya                 : “Apa pendapat Profesor tentang.... mendidik. Prof, kebetulan saya punya tiga balita dan saya ingin sekali membuat buku tentang kecerdasan bahasa. Saya senang hari ini dapat bertemu dengan Anda, jadi tambah referensi” Beliau tersenyum. Sungguh, kata tanteku ini kesempatan langka dimana beliau dengan sukarela menjawab semua pertanyaan saya, menceritakan pengalaman-pengalaman beliau dari jaman dulu2 hehehe

Profesor           : “Jeng, itu tema bagus. Jeng bisa mulai dari belajar psikologi perkembangan. Anak-anak di masa emas akan meniru. Untuk apa kita mendidik ? Bukankah kita ingin mereka segera bisa melakukan hal-hal yg dilakukan orang dewasa dengan baik dan benar? Mendidik adalah menjadikan anak didik kita mengerti apa-apa yang benar, jeng. Anda tau, tetangga saya yang anak kecil, Unet namanya jadi objek penelitian saya tentang bahas. Baru 1,5 tahun tapi dia sudah dapat mengapresiasi. Mengapa? karena saya melibatkan dia dalam keseharian. Saya sering mengajaknya jalan-jalan, mengenalkan padanya tentang semua hal di jalan.” (Lalu profesor memanggil Unet, gadis kecil itu memang bermata cerdas, apresiasi dan ekspresinya bagus)
Jeng bisa melanjutkan kuliah di S2 PAUD atau lansgung Psikologi saja. Karena Anda seorang praktisi ”
Saya terinspirasi. Eyang-eyang saja semangat ngajarin anak kecil berbahasa dan berkarakter baik apalagi kita???

Saya                 : ” Kurikulum apa yang menurut Profesor harus dikembangkan dalam pendidikan usia dini?”

Profesor           : ” Basic moral. Agama. Jeng tau multiple intelegence? Di Eropa danm Barat hanya da 8 kecerdasan, tapi Indonesia satu-satunya yang menambahkan spiritual dalam kecerdasan majemuk. Tapi masyarakat kita ini malas menggali nilai-nilai spiritualitas itu. Jeng tadi di komite TK  X ya? (maaf saya tidak sebutkan namanya) saya jadi ingat TK  BM ( maaf inisial. karena menyangkut nama) TK tersebut jadi seerti TK nya si Tokoh, bukan TK oraganisasi pegayomnya. Mengapa? Karena banyak sekolah yg menuruti tokoh bukan basic spiritual dimana mereka dilahirkan. TK yang baik adalah masuk dan menanamkan nilai pada anak didik dari otak kanan dulu, dari nilai-nilai basic, akhlak. Bukan mengejar kemampuan kognisi saja”

            Percakapan dua jam itu begitu membuat saya berasa ‘cerah’. Bahasa beliau yang 'tinggi' , pengalaman beliau bergaul dengan para ningrat dan guru besar serta orang-orang berilmu membuat beliau berbahasa dengan budaya tinggi. "Kita harus berbahasa dengan orang lain sesuai dengan budaya dan lingkungan mereka. Itulah mengapa saya memanggil para Guru besar yang keturunan kraton dengan 'panjenengan ndalem', misalnya. Hmm... itulah mengapa beliau juga memanggil saya dengan  "jeng'. Ngajeni aja kedengarannya saya senang deh hehe.  Jika bukan karena anak-anak telah saya tinggal lama, mungkin saya masih betah mendengarkan ilmu dari beliau. Saya masih punya banyak poin ‘ibrah’ untuk ditulis sebenarnya.Tapi ini pun sudah sangat panjang ya?!

Saya                 : “Profesor, terimakasih banyak atas ilmunya. Saya jadi kuliah privat nih prof”
Profesor           : “ Boleh, boleh... Jeng datang saja, kita janjian dulu nanti kita mulai dari Psikologi perkembangan ya? Saya senang bisa berbagi ilmu. Jeng telpon saja kerumah. Saya tidak mau bawa HP jeng, HP bikin kemrungsung, saya tidak boleh kemrungsung biar tetap sehat dan bisa memberi manfaat” Lalu beliau pamit sholat dhuhur. Saya pun merencanakan  membuat ‘jadwal’ untuk mendengar lagi kuliah beliau dirumahnya hehe. Sebentar kemudian beliau pun keluar lagi dengan membawa modul Diklat Pendidikan Profesi Guru .Beliau meminjamkannya pada saya.

            Sungguh, tak pernah lekang semangat bagi orang-orang yang memiliki spirit pengabdian. Sebagai apapun, kita harus berangkat dari sebuah kesadaran akan peran kita. Dari kesadaran dan semangat belajar yng terus kita pelihara, kita akan menjadi orang-orang yang terus menerus menularkan semangat untuk belajar, untuk memberi dan memberi apa yang kita punya. Salam inspiratif!

Senin, 09 Agustus 2010

Tetap Puasa Saat HAmil dan Menyusui? BISA!

      Tetap Puasa saat Hamil dan Menyusui? Bisa!
     Ramadhan esok hari . Gegap cita menyemai amal dan meraih keberkahannya semarak bergema. Laki perempuan, anak-anak lebur dalam semangat menyambutnya. Nah, ini topik yang ringan sebenarnya. Beberapa sahabat  share dan  nanya ke saya dengan nada pengen, cemas, ada juga yang semangat tentang bagaimana tetap berpuasa sementara mereka saat ini sedang hamil atau menyusi. Sebenernya sih, banyak juga kok tulisan dari yang emang ahlinya tentang topik ini. Tapi, dengan segala kerendahan hati dan tanpa bermaksud menggurui, saya tulis catatan ini sekedar berbagi pengalaman. Boleh ya sob....
      Selama hampir lima tahun jadi ibu, Alhamdulillah saya bertemu dengan Ramadhan pas dengan saat-saat saya hamil ataupun menyusui ketiga anakku. Luar biasa, Alhamdulillah lagi, saya berhasil melampuinya dengan full 30 hari   kecuali saat hamil anak pertama, saya terpaksa membatalkannya sehari. Saat itu H-2 menjelang lebaran dan saya nyaris lemas karena kecapekan mempersiapkan mudik ke Kudus di siang hari ( hfff...usia kehamilan 7 bulan boo’. Itu badan udah mulai-mulainya panas en berat) tapi syukurlah, saya manfaatkan rukhshoh (keringanan Allah) dan melanjutkannya puasa kembali.
      Dari pengalaman hamil dan menyusui dengan tetap menjalankan ibadah di bulan istimewa ini, ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi motivasi buat soabt-sobat perempuan semua (yang udah emak-emak, hampir jdi emak-emak atau para lajangers)
Pertama, MOTIVASI dan NIAT yang kuat dan Lurus
      ini penting bangetz. Banyak sekalai daiantara kita yang saat ini hamil atau menusui kalah sebelum bertanding. Merasa gak kuat, khawatir sama janinnya, ntar gimana dooong kalau kenapa-kenapa, ntar kalau ASI jadi encer dan gak berkualitas gimana?. Hm... gak bisa disalahin juga sih. Tap, gimana kalau muali tahun ini kita ubah paradigma bahwa kita BISA menjalankan ibadah ini dengan kondisi hamil dan menyusui.
      Sekali lagi kalau aku dulu sih simple sist. Aku cuma pengen memberikan pelajaran ubudiyah pada calon bayi dikandunganku. Kebetulan, selama ini emang saat puasa usia kehamilanku selalu masuk trisemseter ketiga ( anak pertama pas 7 bulan, anak kedua malah asyik banget. Heheh aku udah hamil 9bulan! bahkan dokter kandunganku sempet ngasi aku penguat rahim karena H-1 aku mudik ke Kudus padahal udah dekeeet banget sama HPL, dan akhirnya dengan udah persiapan sejak dari Solo bakal lahiran di kota suami, hari ketiga lebaran lahirlah si Salma Haniyya di kota kelahiran abinya. Anak ketiga, aku puasa full tahun kemaren saat itu kandunganku masuk 8 bulan dan kini jagoan kecilku usianya 7bulan pas besok pagi, sehari menjelang puasa tahun ini hehehe)
      Balik ke niat ya prend (halah ngitung2 kandungan sih). Aku mikir aja, kalau aku puasa, insya Allah aku bisa mengajarkan nilai spiritual sejak dari kandungan, aku juga pengen memanfaatkan waktu-waktu yang luar biasa karena kita gak mens hehehe jadi kan bisa optimal ibadah. Pokoknya ternyata motivasi  dan niat kuat itu bener-bener manjur !
Kedua, Tetap Mempersiapkan Fisik & Tanya Ahlinya
      Semangat tapi tidak nekat. Kalau saat ini sist  yang lagi hamil or menyusui  mau puasa, tetap jangan abaikan persiapan fisik. kalau hamilnya masih mudaaa banget spertinya dokter kandungan gak bakal ngijinin karena kandungan 1-4bulan emang janin lagi butuh banget nutrisi yang optimal untuk pembentukan. Apalagi kalau riwayat kehamilannya ‘rewel’ hehehe. Kalau aku sih alhamdulillah sehat n bandel aja tuh waktu hamil. Gak pake ngidam n muntah2 begetoo.
      Tapi kalau kehamilan udah lima bulan keatas, ibunya sehat, janin juga sehat, kayaknya oke-oke ajah. Begitu juga waktu menyusui, sebenarnya gak masalah lho! Asal kita lihai aja mensuplai dan cukup stok  ASI berkualitas dan berkuantitas. soal ini ntar ya tipsnya. Bole juga kita baca-baca dari banyak web tentang kehamilan dan puasa. Buat yang udah 8bulan puasa malah bikin sehat menurutku kan bayinya jadi gak gedhe hehe (asal bukanya jangan segelas BUESAR es SIROP selama sebulan ya)
Ketiga, Nutrisi yang cukup dan berkualitas
      Saat saya hamil dan menyusi, saya sangat memperhatikan menu buka dan sahur. Vitamin, mineral, karbohidrat, air dan serat harus terpenuhi. Sebab kita akan membaginya dengan anak. Tapi bukan lalu kita tak terkenadli lho. Banyak yang lebih ahli menjelaskan tentang ini. Prinsipnya aku gak ‘wegah’ atau rewel soal makanan sehat. Pantang bagiku pilih-pilih makanan yang udah jelas-jelas sehat buatku  dan anakku. Susu, sayur, buah dan suplemen dari doketr tertib ku konsumsi
Menjaga Kualitas dan Kuantitas ASI
      Ini untuk sister yang menyusui. Mungkin banyak yang khawatir gimana dong kualitas ASI kalau dipake puasa?Ntar sedikit, ntar gak cukup. Kalau aku sih pake strategi ‘nyetok’ hehe maksudnya punya cadangan ASI Perahan selama bualn puasa hehe dan soal menyimpannya juga gampang, kok!
      Sebenarnya kan puasa itu hanya mengendalikan makan dan mengganti waktunya tho? Nah, kalau pengalamanku, selama kita cukup nutrisi dan sedikit ‘cerdik’ menyiasati, bayi kita oke-oke aja tuh. sekali lagi, ini masalah motivasi lagi. Apakah kita ingin memberikan ASI secara optimal atau tergoda dengan susu formula. Kalau aku, Alhamdulillah ketiga anakku full ASI ekslusif 6 bulan. Pas masuk bulan ketujuh baru kuperkenalkan MP ASI (Makanan Pendamping ASI) dan khusus yang ketiga ini SAMA SEKALI tidak aku perkenalkan susu formula. Kakak-kakaknya udah telanjur  kuperkenalkan sufor tapi sekarang ku stop dan kuganti susu murni dan dari makanan padat yang cukup kalsiumnya.
Tips menjaga kualitas en kuantitas ASI  selama puasa gini jeng, setelah berbuka  dan sholat magrib, susui bayi kita dengan kualitas yang bagus tuh (kan habis buka) nah biarkan dia puas minum ASI nya. Pokoknya kalau masih masa 1-6 bulan (belom dikasih makanan tambahan) biar aja bayi menyusu sampe puas. Nah, sekali lagi kalau saya lho, biasanya menyempatkan ngemil kacang-kacangan atau sayur stelah sholat magrib dan setelah menyusui ( biarin aja, ibu  menyusui. Tapi jangan kolak n yang manis-manis) tujuannya, agar selama isyak sampai tarawih bahkan sampe menjelang sahur  kita ‘produksi’ ASI lagi.
 Nah, setiap kali ASI kita penuh dan bayi tidak ingin minum, kita peras ASI jam-jam itu atau menjelang sahur trus kita simpen di botol-botol , kantung ASI atau wadah kedap udara yang steril dan aman ( soal penyimpanan ASI banyak   tips di web tentang breastfeding) jangan lupa beri nomor setiap perahan. Apa gunanya? ini untuk stok saat esok hari  kita berpuasa, kita berikan pada bayi jika kebetulan ASI kita terasa kurang disiang hari nya. Begitu juga setelah sahur, susui bayi kita dengan kualitas yang terbaik setelah sahur. Makanya, makan dan minum saat sahur dan buka jangan sembarangan. Demi ASI.
      Kalau bayi udah makanan makanan tambahan wah itu lebih mudah lagi saat puasa. Tinggal dijadwal aja makannya dan diberikan MP ASI yang  bergizi. Insya Allah bayi kita kan kooperatif. Kuncinya telaten, istiqomah!
Tambahan: Memanfaatkan Rukshoh FIDYAH dengan Benar
      Memang sist, ada keringanan (rukhshoh) fidyah yang bisa dimanfaatkan untuk orang yang sakit menahun, hamil atau menyusui. Yaitu dengan membayar fidyah (memberi makan orang miskin atau membayarkan sejumlah uang setara dengan jatah makan kita dalam sehari). Tapi, mari kita memanfaatkan rukhshoh ini dengan motivasi/ niat yang benar dan bukan karena kita malas.
      Ada yang menanyakan pada saya, bagaimana kalau bayar fidyah aja, toh ntar kalu ramadhan tahun ini hamil, tahun depan menyususi, mana sempet nyaur utang puasa??? Hehehe kalau saya sih tidak mau berspekulasi. Fidyah bisa dibayarkan atau digunakan jika memang kita benar-benar payah dan kesehatan kita atau janin terancam misalnya pada kehamilan trisemster pertama atau dengan rekomendasi dokter yang terpercaya. Makanya, sekedar pengingatan saja, mempergunakan keringanan dari Allah adalah sunnah, tetapi jika kita tidak memiliki niat yang lurus dan karena agak-agak males bayar puasa dihari setelah Ramadhan, yah…lurusin lagi deh.
Well…. Selamat Datang Ramadhan
Semoga dengan niat yang kuat dan ilmu yang cermat, amalan kita makin semangat! Salam inspiratif!
Solo 10 Agustus 2010

Kamis, 05 Agustus 2010

Cermat Memilih Tayangan Ramadhan

       Ramadhan menjadi moment yang paling dinantikan oleh segenap muslim diseluruh dunia. Bulan penuh berkah ini idealnya menjadi sebuah moment untuk melakukan kebaikan dan perbaikan diri dan masyarakat.Segala persiapan dilakukan untuk menyemarakkannya.
            Tak terkecuali didunia showbiz dan hiburan. Suasana ramadhan dihidupkan dengan berbagai tayangan dari mulai sinetron religius, infotainment yang dialih setting menjadi “bernuansa” Islami sampai dengan tayangan-tayangan komedi diwaktu sahur.
            Sayang, alih-alih menyemarakkan ramadhan, tayangan-tayangan televisi justru  jauh dari nilai-nilai Islam pada umumnya dan khususnya nilai yang dikandung oleh bulan Ramadhan. Tayangan sinetron religi yang secara substansi justru menampilkan wajah Islam dan atau umat islam yang lemah, jauh dari kesantunan, keluarga-keluarga Islam yang ditampilkan sebagai keluarga yang amburadul, suka bertengkar, ndeso atau tokoh-tokoh protagonis yang justru lemah, tidak berdaya. Atau, sinetron-sinetron yang ‘diubah’ nuansa Ramadhan dengan hanya mengganti pakaian menjadi lebih ‘Islami’ namun tak mengubah substansi. Sungguh, tayangan-tayangan sinetron kita tak lebih mengadopsi telenovela-telenovela yang laku manis dimasa lalu.
Belum lagi  tayangan saat sahur berisi komedi-komedi yang hanya menampilkan goyonan-guyonan tidak bermutu, lawakan yang berisi ejekan, celaan, ironi, dan semacamnya. Tayangan sahur hanya dibuat untuk ‘sekedar’ mengusir kantuk. Belum lagi para ustadz yang diundang sebagai narasumber tak jarang justru lebih banyak diam dan terdominasi dengan banyolan-banyolan para selebritis yang menjadi bintang tamu.
            Ironis memang, sebagian umat Islam di negeri ini belum banyak yang mampu menawarkan tayangaan-tayangan berkualitas yang diproduseri, dibintangi, dan digarap skenarionya oleh orang-orang yang berkomitmen terhadap nilai-nilai Islam yang syar’i. Alhasil, tontonan yang semestinya belum layak menjadi tuntunan justru dipoles sedemikian agar terlihat ‘Islami”. Sinetron yang dari awalnya sangat jauh dari misi keislaman tiba-tiba dipaksakan menjadi sarat dengan kalimat-kalimat thoyyibah, atau memasang simbol-simbol keislaman yang justru sebenarnya melecehkan. Lagi-lagi komersialisme dan bisnis menjadi latarbelakang agar dunia selebritas dan showbiz tidak kehilangan satu bulan yang ‘sayang dilewatkan’ untuk mengambil keuntungan dan berkah Ramadhan meskipun tanpa kualitas.
            Lalu, upaya minimal apa yang sebaiknya dilakukan oleh kita yang peduli terhadap perbaikan umat, terutama dalam mengisi moment Ramadhan agar tak hanya menjadi ‘bulan menangguk untung’ bagi orang-orang yang ‘menjual’ label Islam untuk kepentingan komersil? Tayangan apa yang sebaiknya kita ‘rekomendasikan’ pada anak-anak kita, pada keluarga dan teman-teman kita?
Pertama, penting bagi kita untuk menjadi penonton yang aktif , yang mampu menyeleksi tayangan-tayangan ramadhan layak lihat, tentu saja untuk itu kita harus peka terhadap isi dan program yang ditayangkan. Sebenarnya ini berlaku bagi semua tayangan televisi pun diluar bulan Ramadhan. Dengan demikian kita tidak hanya sekedar menonton televisi  untuk mengisi waktu menunggu berbuka atau sekedar mengusir kantuk saat sahur.
Kedua, kita semestinya memilih tayangan-tayangan yang mendidik dan tayangan yang menambah peningkatan nilai ruhiyah (keimanan) dan akal, sebut saja kajian tafsir Al Mishbah yang ditayangkan oleh Metro TV pada saat sahur, atau sinetron Ramadhan yang lumayan bernilai moraldan sarat nilai dakwah seperti Para Pencari Tuhan di SCTV, juga kajian-kajian menjelang berbuka yang banyak ditayangkan di hampir semua stasiun televisi. Sebab di bulan inilah semangat mencari tambahan pemahaman keislaman banyak terfasilitasi.
Ketiga, mendampingi anak-anak kita dan memilihkan tontonan yang bermutu.Misalnya program kartun Islam Aku Tahu di Global TV setiap sore dan atau Program Si Unyil edisi Ramadhan. Selain itu perlu kiranya menyiapkan tontonan alternatif berupa DVD atau menyediakan kegiatan-kegiatan alternatif bagi anak agar tidak melulu menonton televisi.
Keempat, dalam hal memilih dan mensosialisasikan tayanagan layak lihat di bulan Ramadhan, perlu kiranya kita mengadakan kegiatan-kegiatan persuasif yang bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat agar tidak menghabiskan masa-masa Ramadhan hanya dengan menonton televisi. Misalnya dengan terus menghimbau di pengajian-pengajian atau di keluarga agar tidak menonton tayangan sinetron atau tayangan yang bertabrakan dengan waktu-waktu ibadah misalnya sholat magrib atau bertabrakan dengan tarawih.
            Semoga dengan semakin cerdas kita mengatur dan memilih tayangan ramadhan yang berkualitas kita dapat lebih memanfaatkan Ramadhan tahun ini  dengan amal yang lebih baik. Tentunya, semoga semangat menjadi penonton aktif dan cerdas serta kecermatan kita memilih tayangan berkualitas itupun akan menjadi kebiasaan kita di bulan-bulan setelah Ramadhan. Wallahu a’alm bisshawwab
            

Rabu, 04 Agustus 2010

Ramadhan Tanpa Petasan: Semestinya Begitu

 Semarak ramadhan akan kita jelang sebentar lagi. Pun begitu masih selalu ada  satu hal yang saya risaukan setiap kali Ramadhan datang. P E T A S A N. Ya, hampir di setiap menjelang dan selama bulan suci Ramadhan dentuman petasan dari semua jenisnya mewarnai hampir tiap-tiap waktu. Dari sekedar kembang api, mercon lombok, petasan bumbung, sreng dor  cukup membuat jantung deg-degan. Alhasil, bulan yang mestinya khusyuk, tenang menjadi penuh gerutu karena menahan sebal.
           
Petasan Ramadhan: Teror Kecil-kecilan
            Maraknya petasan di bulan Ramadhan bukan tanpa efek. Berapa banyak kita baca berita-berita warga yang terserempet petasan, tahun lalu beberapa  pabrik bahan petasan dikabrakan meledak, anak yang meninggal karena petasan meletus ditangan, atau bisa saja orang yang meninggal karena kaget mendengar petasan yang tanpa mengenal waktu. Bayangkan saja, sepulang tarawih atau saat khusyuk sholat tarawih kita terganggu dan terhadang oleh anak-anak muda atau anak-anak kecil yang bermain petasan. Begitu juga petasan yang sudah ‘beroperasi’ di pagi hari saat orang-orang selesai sholat subuh.
            Sungguh petasan di bulan Ramadhan termasuk teror kecil-kecilan yang mencemaskan. Bukan sekedar permainan. Seperti juga teror bom yang sempat mengguncang negri kita yang mencoreng moreng wajah Islam dan dakwahnya, petasan juga bisa jadi menjadi teror kecil-kecilan yang diimejkan dengan bulan Ramadhan. Sebab, petasan juga mengganggu kenyamanan orang-orang secara umum, dan menjadikan image bulan Ramadhan sebagai bulan yang semestinya khusyuk, tenang menjadi ‘bulan petasan’ yang memancing gerutu umat diluar Islam juga.
Ramadhan Tanpa Petasan: Harapan Kita
            Saya pikir bukan berlebihan jika kita mengharap tradisi petasan semestinya mendapatkan perhatian serius. Jika hal-hal kecil seperti petasan, miras dengan skala kecil saja tidak mendapat tindakan tegas, tak heran jika masyarakat kita menjadi biasa saja dengan melakukan kesenangan-kesenangan yang merugikan orang lain
            Semestinya razia pemasok ,penjual atau pengguna petasan juga dilakukan dengan serius oleh aparat setempat . Jangan hanya dianggap sebagai  hal biasa, rezeki tahunan, sehingga diremehkan pengawasannya, dan  menghilangkan efek sosial yang ditimbulkan. Begitu juga orang tua, orang-orang dewasa juga semestinya tidak membiarkan anak-anak mereka memainkan petasan dengan bergerombol, dipinggir-pinggir jalan yang artinya membiarkan mereka mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Meskipun kadang yang memprihatinkan, justru orang-orang dewasa yang  menganggap ‘biasa’ membelikan, mengajari anak-anak mereka bermain petasan dengan suka suka. Apa mungkin ini menjadi karakter masyarakat kita yang sangat suka melakukan hal-hal yang menyenangkan dan memuaskan diri sendiri dan tidak hirau dengan ketertiban sama halnya dengan membuka knalpot kendaraan yang bersuara bising?
            Semoga Ramadhan yang akan kita jelang  di tahun ini dan ramadhan-ramadhan berikutnya bisa kita jalani  tanpa kemubadziran, hura-hura, merugikan orang lain. Ramadhan tanpa petasan adalah sebuah harapan tentang menahan diri dari hawa nafsu bersenang-senanag tanpa peduli dengan kenyamanan orang lain. Sepertinya perlu mulai kita tradisikan RAMADHAN TANPA PETASAN saat ini juga dan seterusnya.Wallahu a’lam bishawwab