Wacana Poligami kembali menyeruak, mungkin tidak begitu menghebohkan jika suami saya atau suami anda yang melakukannya. Begitu pula tidak menghebohkan juga jika tetangga kita ketahuan berselingkuh atau beradegan mesum dan beredar videonya sebagai blue film yang dijual dipinggiran jalan.
Yang menjadi masalah, seorang ustadz –yang sebenarnya biasa saja- melakukan poligami dan seorang pejabat anggota dewan yang terbuka kedok perselingkuhannya. Sungguh, dua berita yang menyita perhatian publik diawal bulan ini. Kemudian jika sebuah pertanyaan saya ajukan pada anda kaum perempuan; mana yang Anda pilih : suami Anda menikah lagi dengan pengakuan yang jujur dan terbuka, atau Anda diselingkuhi? Atau.. jika Anda kaum lelaki, Anda menikah lagi atau berselingkuh?Jawabannya pasti amit-amit jangan sampai.
Susah memang, tapi sepertinya realita adanya kecenderungan untuk mendua istri, berbagi suami atau apalah istilahnya, patut mulai dipikirkan dan ditanggapi dengan lebih arif, terbuka dan dibuka ruang-ruang diskusi yang objektif. Tentu saja dengan tidak hanya mengedepankan perasaan, emosi dan cacian-cacian yang kadang mengaburkan persoalan.
Poligami atau ٍSelingkuh?
Saat saya duduk dibangku kuliah, salah seorang dosen Hukum Gender pernah mebuka ruang diskusi tentang poligami, saat itu sedang marak poligami award.Dengan ‘berbekal’ buletin dari sebuah LSM Perempuan, beliau mengajukan pertanyaan pada kami tentang setuju dan tidak setuju mendua istri.Hm… seperti kebiasaan LSM Perempuan, sebagian ‘aktivis perempuan’, selalu saja ‘tanggung’ dalam memahami ayat tentang poligami. Alhasil, yang terjadi justru wacana-wacana yang berkutat pada perasaan, merasa diremehkan, dan sejenisnya sehingga mengaburkan substansi.
Sampailah dosen saya bertanya, “bagaimana perasaan anak-anak dari hasil poligami?Atau anak-anak yang orang tuanya berpoligami?” Saya hanya menjawab singkat : Mana yang lebih menimbulkan dampak psikologis anak dengan orang tua berpoligami –dengan pemahaman yang benar tentunya- dengan anak-anak dari keluarga yang orangtuanya berselingkuh? Dan dosen sayapun diam.
Begitulah, poligami terlanjur dipandang sebagai sebuah keputusan yang berarti akhir dari harmonisnya sebuah hubungan suami istri. Tidak dapat disalahkan juga sebab masyarakat terlanjur salah memahami poligami dari sebuah proses yyang tidak atau kurang pas. Poligami terlanjur dianggap sebagai pelarian dari rumah tangga yang tidak bahagialah,tergoda perempuan yang lebih aduhai, dan –yang lebih parah-poligami diam-diam menjadi sebuah momok yang lebih menakutkan daripada perceraian, bahkan perselingkuhan.
Lihat saja, berita-berita perceraian, gonta-ganti pasangan, bahkan perselingkuhan di infotaintment, misalnya ,menjadi hal yang tidak terlalu menghebohkan dibanding jika seseorang memutuskan berpoligami.Mungkin karena poligami menimbulkan konsekuensi ‘berbagi’ hak dan berbagi cinta yang katanya sangat sulit dijalani oleh kaum perempuan. Jargon “wanita mana yang rela dimadu” seolah-olah menjadi kata kunci yang demikian melankolis untuk mencecar pelaku poligami dan wanita kedua.Padahal,banyak sekali keluraga monogami yang justru menyimpan bara dalam sekam sebab terlilit perselingkuhan yang berujung perceraian, bahkan menjadi skandal.Artinya, tidak fair agaknya ketika poligami digebyah uyah (disamaratakan) tanpa melihat prosesnya.
Masdar F.Mashudi mengatakan bahwa naluri seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu adalah alamiah, yang menjadi masalah adalah, tidak semua laki-laki ‘siap’ menjadi suami dari banyak istri. Sedangkan kaum perempuan sebenarnya lebih siap menjadi istri siapapun dan keberapapun. Hanya saja, perlu kita renungkan, jika semua perempuan hanya ‘mau dan siap’menjadi istri pertama, bukankah peluang berselingkuh, kawin cerai, nikah dibawah tangan justru marak? Semua beralasan tidak mau ‘dimadu’ atau tidak mau menjadi istri kedua, ketiga dan keempat?Dan jika alasannya anak, apakah anak-anak dari semua hubungan-hubungan tersebut tidak lebih menderita? Jadi semestinya kitapun membuat paradigma baru bahwa tidak semua wanita yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat adalah “perusak rumah tangga orang lain” bukan? Jika memang para pelaku poligami merasa ‘nyaman’ dengan pilihannya, bukankah itu cukup?
Berprestasilah Dulu di Keluarga Pertama:Catatan kecil untuk para Suami
Saat banyak tokoh-tokoh berpoligami,sebenarnya bukan ketakutan yang berlebihan yang harus muncul.Poligami sebagai sebuah pilihan berkeluarga, tak selamanya buruk. Saatnya merubah paradiigma masyarakat.Jika saelama ini orang beranggapan “ooo pantes si A poligami lhawong istrinya begini, begitu”, atau jika orang berkomentar “kurang apa tho mbak Itu, kok ya suaminya nikah lagi?” maka saatnya mungkin kita berbaik sangka dengan mengatakan “Ooo… ya pantes tho..poligami wong dia itu sudah sukses, istrinya solihah, anak-anaknya kopen (terawat),pinter-pinter, keluarganya harmonis,…wajar jika dia ingin menambah keluarga sukses lebh banyak lagi he..he..” Indah bukan? Sungguh sangat berbeda dengan berselingkuh tho? Atau dengan poligami yang dilakukan sebagai pelarian karena rumahtangga pertama begitu mencekam.
Inilah yang sepertinya paling pantas direnungi para suami dan mungkin bisa dijadikan ‘syarat’ bagi para istri. Tanggung jawab poligami sangat berat bagi para suami. Jika Anda –para suami- belum dapat berprestasi dikeluarga pertama Anda, belum dapat menjadi pemimpin keluarga yang memahami nilai-nilai moral dan agama,belum dapat menjadi panutan, belum dapat memenuhi hak dan kewajiban Anda sebagai suami dan ayah, belum dapat mensejahterakan (dalam arti yang pantas), meskipun Anda tidak -perlu menjadi milyader, rasanya Anda-para suami- harus berpikir ulang untuk berbagi cinta dan mendua keluarga. Sebab itu hanya akan menambah beban diri dan orang-orang tercinta disekitar Anda. Apalagi jika 'berbagi' cinta tersebut ditempuh dengan cara Selingkuh.Ibarat sebuah perusahaan, tentulah akan membuka cabang baru jika telah terbukti sukses di perusahaan pertama bukan?
Maka membesar-besarkan maslah poligami sebagai sesuatu yang seolah-olah tabu dilakukan namun membuka peluang perselingkuhan dan menganggap selingkuh sebagai sesuatu yang 'biasa' tentu bukanlah sesuatu yang bijak dan adil. Bukan begitu?
Wallahua'lam.
Yang menjadi masalah, seorang ustadz –yang sebenarnya biasa saja- melakukan poligami dan seorang pejabat anggota dewan yang terbuka kedok perselingkuhannya. Sungguh, dua berita yang menyita perhatian publik diawal bulan ini. Kemudian jika sebuah pertanyaan saya ajukan pada anda kaum perempuan; mana yang Anda pilih : suami Anda menikah lagi dengan pengakuan yang jujur dan terbuka, atau Anda diselingkuhi? Atau.. jika Anda kaum lelaki, Anda menikah lagi atau berselingkuh?Jawabannya pasti amit-amit jangan sampai.
Susah memang, tapi sepertinya realita adanya kecenderungan untuk mendua istri, berbagi suami atau apalah istilahnya, patut mulai dipikirkan dan ditanggapi dengan lebih arif, terbuka dan dibuka ruang-ruang diskusi yang objektif. Tentu saja dengan tidak hanya mengedepankan perasaan, emosi dan cacian-cacian yang kadang mengaburkan persoalan.
Poligami atau ٍSelingkuh?
Saat saya duduk dibangku kuliah, salah seorang dosen Hukum Gender pernah mebuka ruang diskusi tentang poligami, saat itu sedang marak poligami award.Dengan ‘berbekal’ buletin dari sebuah LSM Perempuan, beliau mengajukan pertanyaan pada kami tentang setuju dan tidak setuju mendua istri.Hm… seperti kebiasaan LSM Perempuan, sebagian ‘aktivis perempuan’, selalu saja ‘tanggung’ dalam memahami ayat tentang poligami. Alhasil, yang terjadi justru wacana-wacana yang berkutat pada perasaan, merasa diremehkan, dan sejenisnya sehingga mengaburkan substansi.
Sampailah dosen saya bertanya, “bagaimana perasaan anak-anak dari hasil poligami?Atau anak-anak yang orang tuanya berpoligami?” Saya hanya menjawab singkat : Mana yang lebih menimbulkan dampak psikologis anak dengan orang tua berpoligami –dengan pemahaman yang benar tentunya- dengan anak-anak dari keluarga yang orangtuanya berselingkuh? Dan dosen sayapun diam.
Begitulah, poligami terlanjur dipandang sebagai sebuah keputusan yang berarti akhir dari harmonisnya sebuah hubungan suami istri. Tidak dapat disalahkan juga sebab masyarakat terlanjur salah memahami poligami dari sebuah proses yyang tidak atau kurang pas. Poligami terlanjur dianggap sebagai pelarian dari rumah tangga yang tidak bahagialah,tergoda perempuan yang lebih aduhai, dan –yang lebih parah-poligami diam-diam menjadi sebuah momok yang lebih menakutkan daripada perceraian, bahkan perselingkuhan.
Lihat saja, berita-berita perceraian, gonta-ganti pasangan, bahkan perselingkuhan di infotaintment, misalnya ,menjadi hal yang tidak terlalu menghebohkan dibanding jika seseorang memutuskan berpoligami.Mungkin karena poligami menimbulkan konsekuensi ‘berbagi’ hak dan berbagi cinta yang katanya sangat sulit dijalani oleh kaum perempuan. Jargon “wanita mana yang rela dimadu” seolah-olah menjadi kata kunci yang demikian melankolis untuk mencecar pelaku poligami dan wanita kedua.Padahal,banyak sekali keluraga monogami yang justru menyimpan bara dalam sekam sebab terlilit perselingkuhan yang berujung perceraian, bahkan menjadi skandal.Artinya, tidak fair agaknya ketika poligami digebyah uyah (disamaratakan) tanpa melihat prosesnya.
Masdar F.Mashudi mengatakan bahwa naluri seorang laki-laki untuk beristri lebih dari satu adalah alamiah, yang menjadi masalah adalah, tidak semua laki-laki ‘siap’ menjadi suami dari banyak istri. Sedangkan kaum perempuan sebenarnya lebih siap menjadi istri siapapun dan keberapapun. Hanya saja, perlu kita renungkan, jika semua perempuan hanya ‘mau dan siap’menjadi istri pertama, bukankah peluang berselingkuh, kawin cerai, nikah dibawah tangan justru marak? Semua beralasan tidak mau ‘dimadu’ atau tidak mau menjadi istri kedua, ketiga dan keempat?Dan jika alasannya anak, apakah anak-anak dari semua hubungan-hubungan tersebut tidak lebih menderita? Jadi semestinya kitapun membuat paradigma baru bahwa tidak semua wanita yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat adalah “perusak rumah tangga orang lain” bukan? Jika memang para pelaku poligami merasa ‘nyaman’ dengan pilihannya, bukankah itu cukup?
Berprestasilah Dulu di Keluarga Pertama:Catatan kecil untuk para Suami
Saat banyak tokoh-tokoh berpoligami,sebenarnya bukan ketakutan yang berlebihan yang harus muncul.Poligami sebagai sebuah pilihan berkeluarga, tak selamanya buruk. Saatnya merubah paradiigma masyarakat.Jika saelama ini orang beranggapan “ooo pantes si A poligami lhawong istrinya begini, begitu”, atau jika orang berkomentar “kurang apa tho mbak Itu, kok ya suaminya nikah lagi?” maka saatnya mungkin kita berbaik sangka dengan mengatakan “Ooo… ya pantes tho..poligami wong dia itu sudah sukses, istrinya solihah, anak-anaknya kopen (terawat),pinter-pinter, keluarganya harmonis,…wajar jika dia ingin menambah keluarga sukses lebh banyak lagi he..he..” Indah bukan? Sungguh sangat berbeda dengan berselingkuh tho? Atau dengan poligami yang dilakukan sebagai pelarian karena rumahtangga pertama begitu mencekam.
Inilah yang sepertinya paling pantas direnungi para suami dan mungkin bisa dijadikan ‘syarat’ bagi para istri. Tanggung jawab poligami sangat berat bagi para suami. Jika Anda –para suami- belum dapat berprestasi dikeluarga pertama Anda, belum dapat menjadi pemimpin keluarga yang memahami nilai-nilai moral dan agama,belum dapat menjadi panutan, belum dapat memenuhi hak dan kewajiban Anda sebagai suami dan ayah, belum dapat mensejahterakan (dalam arti yang pantas), meskipun Anda tidak -perlu menjadi milyader, rasanya Anda-para suami- harus berpikir ulang untuk berbagi cinta dan mendua keluarga. Sebab itu hanya akan menambah beban diri dan orang-orang tercinta disekitar Anda. Apalagi jika 'berbagi' cinta tersebut ditempuh dengan cara Selingkuh.Ibarat sebuah perusahaan, tentulah akan membuka cabang baru jika telah terbukti sukses di perusahaan pertama bukan?
Maka membesar-besarkan maslah poligami sebagai sesuatu yang seolah-olah tabu dilakukan namun membuka peluang perselingkuhan dan menganggap selingkuh sebagai sesuatu yang 'biasa' tentu bukanlah sesuatu yang bijak dan adil. Bukan begitu?
Wallahua'lam.
susah dong menentukan kriteria suami berpestasi
BalasHapusartikel yg mencerahkan n menambah deretan alasan n keyakinan bahwa poligami itu bkn hal menakutkan..
BalasHapusmakasih mba ^^