Kamis, 26 Mei 2011

Lha Emang Ini kerjaan Kita, Kok!

Kamu nyetrika, Da?lha khadimatmu ngapain?” sms dari tanteku di ibukota, kami biasa berdiskusi tentang banyak hal.
“Mbak  Vida kok nyapu halaman, rewangnya gak masuk ya?” selidik tetanggaku saat aku nyapu halaman total sambil nyabutin rumput2
“Lha rewangmu penak nho mbak, pekerjaannya apa kok belonjo , masak panjenengan juga” kata temannya ibuku, ketemu ditukang sayur.

            Hmmm.Sebenarnya pertanyaan wajar, tapi apa salahnya? Bukankah ini rumah kita? Ini masakan untuk keluarga kita? Baju-baju itu juga begitu puas jika kita melihatnya rapi terpakai sang buah hati dan suami dari hasil setrikaan kita? Bukankah semua-muanya di setiap sudut ruang rumah ini awalnya adalah P E K E R J A A N  kita? Amanah kita? Lalu, Rewang, pembantu, khadamat, asisten rumahtangga, atau apalah namanya datang menawarkan jasanya? Membantu sebagian dari pekerjaan kita dan kita mengupahi tenaga dan waktunya? Lalu, apakah orang yang hanya membantu itu tiba-tiba harus mengambil alih semua pekerjaan kita? Lalu kita? Mungkin  keenakan ini yang membuat kita kembali lunglai saat si ART tidak masuk/keluar tiba-tiba.

            Saya sering melihat gambaran kurang menyenangkan tentang pembantu rumahtangga. Dalam sebuah rumah seorang pembantu seperti mesin pekerja yang begitu kelebihan beban. Dari Pagi hingga malam mereka harus bekerja cepat dan beres. Tidak dan tidak untuk kami. Sedari kecil, ibu saya memiliki banyak ’asisten’ atau  pembantu. Dari yang pocokan sampai yang sangat cerdas,loyal dan sanggup melaksanakan apa yang ibu saya mau hanya dengan membaca catatan ibu saya (bahkan hanya saya, mbak Waqi’ah itu dan dua orang lagi yang bisa membaca tulisan latin mamah saya yang kadang masih ejaan lama, wkkk). Tapi almh.mamah selalu berkata pada saya ”mereka hanya membantu, nok. kitalah lakonnya”. Saya masih ingat bagaimana mamah saya menempel banyak tulisan peringatan, peraturan di tempat-tempat tertentu agar tiak banyak omong, katanya.Bahkan sampai kini ada 'asisten' almarhumah mamah saya yang masih sering main kerumah dan tiba-tiba memasakkan saya dengan masakan setara katering, hmmm (yang ini namanya Mbak Parmi) heheh jadi seneng.

            Saat ini banyak keluhan ibu-ibu bahwa khadimat / prt/art/rewang semkain susah dicari. Kalau ada,kadang kerjaan gak beres, kalu masih muda gak terampil, kalau udah berumur susah dikasih masukan. Kalau udah lama ikut, eee...ngelunjak. Astaghfirullah, alamaak. Tapi...apa iya semua semata-mata karena si ART?Jangan-jangan karena kita emang belum lihai berinteraksi sehat dengannya lahir batin hihihi

         Tujuh tahun pernikahan saya sudah berganti sekitar 8 orang prt, termasuk yang terakhir ini-semoga betah-. Dari berbagai tipe saya alami. Dari mulai yang suka klepto, galak dan bahkan kasar sama anak (syukurlaah akhirnya saya memiliki  rasa 'tega' untuk memberhentikannya karena benar-benar sudah tidak dapat saya tolerir), ada yang sakit-sakitan, baik hati tapi gak bisa kerja berat, dll.

Detil is Our Duty, moms!
Syukurlah justru dari mereka  saya mengambil pelajaran bahwa kitalah yang harus benar-benar menghandle hal-hal detil atau tak terpikirkan olehnya, hehe Membersihkan bak kamarmandi sampai bersih dan menggosok lantainya yg kadang licin karena tumpukan sabun, mengurasnya dengan benar, menyetrika baju-baju suami , baju pergi saya dan anak-anak, mengoperasi bersih dapur, kamar anak-anak, mensortir barang-barang, memasak, membersihkan kamar saya, bahkan sesekali mengelap semua perabot dan membersihkan kipas angin disetiap kamar adalah  TUGAS SAYA. asisten saya kadang hanya saya suruh melihat ! ”lihat ibu melakukannya, ros.Lalu jika suatu saat ibu meminta tolong melakukan ini, lakukan dengan begini ya?!” hasilnya saya tidak pernah makan hati dengan asisten, atau lebih tepatnya jarang :).

            Ya,ya, ya. Hal-hal detil tidak mungkin dilakukan pembantu kita. Begitu kata ayah saya pada suatu hari. Betul juga. Kecuali kita mendaptkan yang cerdas, terlatih dan loyal. Dan itu sulit. Dan jika kita tidak mau memendam perasaan sebal, tidak ingin ribut dan sudah berulangkali prt melakukan pekerjaan detil itu dengan ’salah’, maka... kerjakan saja sendiri, bu!

            Ini saya pelajari dan akhirnya saya coba  menikmati. Tidak ada ketergantungan, saat mereka datang kita syukuri sebagai bentuk pertolongan Allah atas pekerjaan rumah yang tak berjeda.Saat mereka tidak datang atau bahkan tiba-tiba keluar tanpa pamit kita juga tidak panik, tinggal sadari saja ’pekerjaan kita kembali kesemula :banyak’ dan pahala kita utuh (hihi gak dibagi ama pembantu soalnya). Yang bisa dikerjakan ya dikerjakan, yang belum bisa yaah tunda dulu gak masalah. Capek istirahat, anak-anak dikondisikan.Dibikin santai. Nyatanya dengan menasehati diri sendiri dan benar-benar meyakini bahwa hal-hal detil memang harus kita yang melakukan, saya merasa lebih baik. Kini saya mempunyai asisten yang masih remaja, yaah memang masih harus selalu mengingatkan tapi saat saya sudah malas menegur dan contoh-contoh saya ’lupa’ dikerjakannya. Lakukan sendiri! Contoh lebih mengena, dan biasanya si dia (ART) cengar cengir dan merasa salting. Jadi mulailah menyadari bahwa detil is our duty.
Apakah hal-hal detil yang tak terpikirkan oleh ART kita itu?Tunggu saja catatan berikutnya.Okay emak-emak semangat!!

Jumat, 20 Mei 2011

Okonomiyaki : satu lagi cara 'menyembunyikan' sayuran

Melihat acara TV champion2 di MNC TV jadi aktivitas saya tiap sore bersama anak-anak.Awalnya tidak sengaja tapi saya suka. Tiap hari ada kreasi-kreasi kreatif dari orang-orang Jepang dalam menghasilkan karya unik. Ini pelajaran bagi anak-anak, juga saya. Tak jarang saya mempraktekkan acara 'mbuat-mbuat' (kata anak-anak menyebutnya) itu.

Seperti bebrapa edisi yang lalu adalah lomba membuat okonomiyaki ,  makanan Jepang yang terdiri dari campuran tepung, air, dashi (kaldu) dan rupa-rupa isi (terutama kol/kubis) serta topping. Yaah ada yang nyebut pancake jepang. Lha saya, pertama embuatnya jadi kayak bakwan hehehe. Saya langsung googling aja biar tau artinya. Karena, Maura itu sering nanya-nanaya kenapa makanan dinamakan ini itu. Hff...Ternyata, Sejarahnya, okonomiyaki dibuat oleh pelaut Jepang yang pengen makan pizza kayak di Italia. Trus lagi, ternyata kata okonomi artinya suka-suka. heheh mungkin karena isinya suka-suka ya mau kita kasih apa , sedang kata yaki  artinya dipanggang dengan sedikit minyak. Dan ada dua cara.Kalau daerah Kansai, kubisnya dicampur jadi satu, kalau daerah Hiroshima, kubis ditarus diatas adonan sebelum dipanggang. Hmm...

Nah, bagi saya sendiri, makanan ini bisa jadi cara baru menyembunyikan segala macam sayuran dan membersihkan 'sisa' bahan makanan yang ada dikulkas. Karena pancake dan kue dadar sudah jadi alternatif sarapan pagi, maka bahan-bahan lumayan ada.Makanan begini nih yang biasanya jadi pilihan saat saya kemrungsung atau ada acara pagi hari sementara saya tidak punya banyak waktu untuk menyediakan sarapan yang pating clekenik. Bisa untuk selingan, snack untuk mengganjal. Atau jika memang diniatkan untuksarapan, tambahkan bahan berkalori dan berserat.Ubi jalar bisa dikukus, dilumatkan dan dicampur. Selain jadi lebih 'berat' teksturnya jadi lembut.
Bahan
Kol/kubis iris tipis, atau cincang kasar
kentang, parut atau iris tipis (kalau mau dicampur diparut kasar pake parutan keju, kalau mau dipakai toping, iris tipis aja)
wortel
kapri
umbi jalar kukus,parut.
bakso/sosis/daging cincang/ebi/dll
tepung terigu 10 sdm
air 1/2 gelas atau air kaldu
keju parut (bisa dicampur atau untuk toping)
Telur (kalau mau seperti sponge, pisah putih dan kuningnya, setelah semua bahan tercampur,kocok putih telur sampai kaku, campurkan sebelum dipanggang)
baking powder 1/2 sdt
garam 1/2 sdt
saus tiram secukupnya dicampur dengan saos tomat (dan sambal jika ingin pedas)
Cara Buatnya
1. Campur rata semua bahan, jika kubis ingin dibuat toping, taburkan saat bahan sudah dituang diwajan datar atau teflon
2.panggang dengan apisedang dan sedikit minyak/margarin bolak bali sampai matang rata
3.oleskan dengan campuran saos tiram dan saos tomat, semprotkan mayonaise, taburi keju jika suka
4.Hidangkan saat fresh from oven :)

OPOR AYAM SUNGGINGAN : Opor Unik Kota Kretek

Selasa pagi yang lalu, kami menghirup udara pagi dikota mertua :Kudus, setelah Senin siangnya agak nekat juga berangkat dengan ‘paket kecil’ untuk kedua kalinya. Ya, hanya saya, suami dan si bungsu.Nekat karena kami hanya dua hari, menuruti rasa kangen pada ibu dan bapak, nostalgia ke Kudus dengan bis. Meminjam motor Bapak,  menyusuri kota kecil ini membuat kami selalu ingat masa lalu manten anyar. Saya yang hanya tau bahwa kami mau mampir di Panjunan, tempat jajan pagi di Kudus tak menyangka suami membelokkan arah ke warung yang sudah lama  membuat kami ‘penasaran’ . Bahkan suami saya yang asli Kudus belum pernah mampir , Warung Opor Ayam  Sunggingan. Tapi sesampainya disana belum buka penuh. Pelayan belum siap katanya. Kata supir becak yang mangkal didekat situ “jam 6.35 mas bukanya “ haha hapal benar dia. Baiklah…. Kami mengisi waktu menunggu dengan berkunjung sebentar ke rumah budhe dan tantenya suami

Pas saat perut lapar kami kembali ke Warung Opor Sunggingan dan …sudah penuh antrian. Sebenarnya kunjungan  ini niat banget saya pakai bahan nge-blog hihihi. Selain itu, kabar enak  sudah santer terdengar sejak beberapa kali selama saya jadi istri orang Kudus (kebangetan baru kesampaian mampir). Apalagi saat tetangga ibu yang kebetulan mampir dan tengah dikunjungi si Bango selera nusantra wkkk ibu mertua saya tambah santer promosinya. Recomended gitu maksudnya. Karena saya dan suami  punya kesimpulan : Jangan mampir makan ditempat-tempat yang belum teruji dan direkomendasikan, kecuali emang niat jadi penglaris dan siap kecewa dengan harga dan rasa.hahaha Baiklah akhirnya kamipun masuk ke warung makan yang hommi itu .

Saat duduk, hal pertama yang unik kami lihat dari si pelayan yang tadi bikin kami menunggu. Dua bapak berpawakan tinggi kurus dan berpawakan sedang, berpakaian rapi, baju dimasukkan, sisiran rapi  standby di meja layan makanan. Hahaha.Salah satunya berbekal gunting ditangan, memotong cekatan daging ayam. Cethak cethek cethak cethek lincah sekali . Lalu sambil melihat kearah kami salah satunya berkata “doble ya Om?” suami saya mengangguk. Saat jatah suami saya datang, naluri kuliner saya segera meneliti konten si Nasi Opor. Suami yang tanggap dengan rasa lapar sayapun mengalah “Umi duluan deh” hihihi lalu si pelayan Tanya lagi “ibunya juga dobel?” saya main angguk aja. Hmmm… maksudnya dobel tuh porsinya. Kalo ‘single’ emang agak sedikit.

Langsung saya menemukan hal unik soal tampilannya. Opor sunggingan ini terdiri dari nasi gurih pulen (tapi gak terlalu gurih), tahu potong kecil-kecil yang lebih mirip dibumbu kecap agak pedas, daging ayam, dan kuah opor diatasnya. Nah, mungkin ini yang bikin khas dan unik : dagingnya yang dipanggang. Lho??

Iyya, jadi pembaca  –izinkan saya sok tau dan sok bergaya pak Bondan atau presenter kuliner di tipi-tipi yang sok-sok ‘menikmati’ suapannya- menurut saya ini ayam kampungnya di bumbu opor dulu sampai empuk dan meresap ( seumur-umur saya ke Kudus, TIDAK PERNAH saya bertemu dengan masakan ayam yang pake ayam boiler, kata ibu mertua saya disini hamper gak ada ayam potong, jarang. Pantees suami saya agak ilfil karena di Solo kebalikannya : ayam kampung harus pesan). 

Naaaah si daging ayam yang udah dimasak empuk  itu kemudian dibakar sodar-sodara, lalu saat dihidangkan diatas nasi, dipotong kecil-kecil pake gunting  (biar cepet kali ya), lalu diguyur kuah opornya yang warnanya putih bukan kuning, rasanya murni gurih. Masakan ini gak manis, jadi emang sip bagi yang gak begitu suka manis. Rasa manis diambil dari tahu masak kecap tadi. Lalu, seperti makan lentog (ini kapan-kapan ya liputannya) dimakan sambil nyeplus lombok rawit ijo yang udah dikukus/rebus. Jadi gak pake sambel. Oiyaaa satu lagi : dimakannya pake suru (sendok dari daun pisang yang dilipat) tapi saya pake sendok ajalah sambil nyuapin si kecil. Perpaduan ayam panggang dan kuah opor itu yang bikin unik kali ya. Sedikit ngelantur, kok saya jadi inget pernah bikin ayam taliwang yang dioles bumbu santan, kemiri, terasi tapi udah dicampur sambal pedas lalu dibakar. Hmmmm. Kok cepat sekali ya habisnya hiihi maklum sudah nahan lapar.

Alhamdulillah, sarapan yang lumayan lezat, plus dapat bahan postingan untuk blog. Oh yaa untuk harga, nasi opor ini dihargai sekitar Rp.8000 – Rp.15.000 tergantung porsinya tadi, doble atau single J.Diperjalanan pulang, saya bertemu dengan warung pinggir jalan yang membuat ‘spanduk’ Nasi Opor Ayam Panggang. Hehehe saya nyeletuk pada suami “Tuh bi, bener kan udah ada kompetitor-nya sunggingan mungkin dengan harga kaki lima. Opor Ayam panggang “.  Sayapun begitu , sudah niat nyoba juga dirumah. Begitulah traveling note saya di Kudus pekan ini. Jika berkesempatan ke kota Kretek, silakan mampir di Jalan Nitisemito no 9-12. Mungkin bisa jadi alternatif sarapan selain lentog dan soto Kudus. Salam Inspiratif!

Kamis, 19 Mei 2011

Ekspresi Anak-anak : Cerminan Kita (Sebuah Muhasabah)

Beberapa hari ini aku merasa begitu ‘jenuh’. Satu kata yang paling tidak disukai suamiku, lelaki optimis yang kukenal setelah ayahku. Baiklah mungkin sedikit uring-uringan atau bete, begitu saja ya! Jujur, ini tulisan yang sangat penuh pengakuan. Bukan tulisan idealis dan memang, kita harus pula mengakui bahwa terkadang kita bukanlah super mom yang selalu berhasil dengan segala teori-teori parenting. Bahkan, menurutku, setiap ibu memiliki ‘teknik’ parentingnya sendiri. Meskipun kadang tepat kadang tidak. Hehe

Seperti akupun. Memiliki tiga anak membuatku banyak belajar dan harus begitu. Ada rapot merah yang kadang kusesali kenapa aku ‘terlambat’ belajar soal ini dahulu. Ada pula kata ‘lega’ saat aku kadang bisa menanamkan sebuah nilai atau pembiasaan. Kuamati bahwa beberapa hari ini si sulungku yang cantik dan dominant itu begitu gampang memukul, berkata kasar, bahkan sedikit ‘ndrawasi’ cara bercandanya. Si tengah juga begitu, lebih sering merengek, berteriak, dan selalu merasa ingin sama. Anak-anak tertuaku sering bertengkar. Huuuh..ada apa ini? Mengapa mereka seolah terus menerus membuat ulah yang tak biasanya? Mengapa aku juga gagal menghadapi mereka, lebih sulit dari biasanya?

Akupun egois dan mulai sedikit mencari kambinghitam (meskipun nada bicara agak sopan) “Maura kenapa ya kok begitu? Kok marahnya aneh ya? Disekolah ada yang ditiru ya? “ atau “Haniyya, sudahlah ….masak begitu aja dibikin rewel tho naaak…” Aku tetap dengan aktivitasku. Sampai sepertinya kemarin sebuah celetukan mereka membuatku terhenyak. “Ah, umi pasti komputeran lagi. Ayo main lagi mi…” Celetukan yang kusambut dengan tercenung (padahal aku justru sedang tidak didepan computer, aku sedang masak). Betapa lalainya aku. Aku yang selama ini berkomitmen untuk tidak beraktivitas didepan computer jika anak-anak belum tidur atau sekolah ternyata sedikit kulanggar. Aku segera bersyukur. Aku yang salah. Anak-anak mungkin merasa waktunya bersamaku kurang. Atau…KURANG BERKUALITAS meskipun aku ada disekitar mereka. Aha! Mungkin memang ini masalahnya.

 Aku menemukan obatnya. Maka aku menyebutnya TERAPI KEBERSAMAAN.Mungkin mulai esok aku akan kembali lagi pada ‘jadwal lamaku’. Membersamai mereka seasyik mungkin, melucu, bernyanyi, menciptakan lagu-lagu baru (mereka hafal lagu terbaruku ‘Jari-jariku’ 2minggu lalu). Menyalakan computer -yang diam-diam membuat mereka cemburu - saat mereka sudah lelap atau sekolah. Membacakan cerita-cerita hikmah sebelum mereka tidur atau saat kami bersama (aktivitas ini agak berkurang terutama saat malam.aku sudah mulai sibuk menidurkan si bungsu)

Ada lagi. Mungkin aku lelah dan bermalas-malasan. Aku perlu kembali mendisiplinkan olahragaku, mengatur pola makan dan minumku. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk memberikan energi sisa untuk mereka :suami, anak ,asisten dan bahkan untuk semua aktivitasku. Ya,ya..mereka harus kuberikan haknya.

Lalu, siang sampai sore tadi aku mendapatkan ‘tambahan’ obatku, bahkan yang terpenting. Forum Jalasah Ruhiyah , sebuah program  dalam komunitas mengajiku cukup memberiku amunisi ruhiyah lagi. Aku pulang dengan semangat baru. Kutemukan aku yang dua pekan ini adalah seorang ibu yang sedang bolong-bolong aktivitas ruhiyahnya. Tilawahku kurang dari target, dzikir ku, sholat malamku, sholat dhuhaku, semua masih begitu minim. Tidaaak!!!! Pantas saja anak-anakku begitu menguji kesabaranku dan parahnya aku bebrapa kali mungkin termasuk  tidak lulus. Ya, aku tidak malu mengakuinya sebab aku harus terus belajar.
Ya,ya,ya..maghrib tadi kumulai merengkuh  mereka lebih dalam lagi, bukan dengan energi sisa. Kuceritakan tentang keajaiban menahan diri, "Oleh-oleh dari pengajian umi tadi.Kalian mau dengar?".Mereka melingkar didekatku, sebelum abi mereka datang sebentar kemudian.  Itu sebenarnya untukku, nasehat untukku sendiri. Begitulah , aku tau tak semua dapat diteorikan. Dan saat tulisan ini selesai, hari sudah berganti. Jum’at 3.30 aku akan memulai mengobati diriku dengan memohon pada Penggenggam ku. Dan ku akan berdoa  : Rabbi….mudahkan aku mendidik diriku untuk lebih sabar, dan mudahkan kami membimbing mereka.jalan masih sangat panjang. Terimakasih teman untuk mendengarkan celoteh penaku. doakan aku ya! Wallahu a’lam bisahwwab

Ibu : Pilar Utama Penyeranta Potensi Anak (dr.Marijati )

Judul itu sengaja saya pilih untuk merangkum materi pengajian yang keduakalinya dirintis oleh KPPA Benih sebagai salah satu program Benih Parenting Center. Disepakati setiap Jum’at pekan kedua dan keempat pengajian akan rutin diadakan dari rumah ke rumah. Kali ini dan insya Allah rutin akan diisi oleh Ustadzah dr. Marijati, pengasuh pengajian di MH FM dan pengisi rubrik keluarga, kesehatan dibeberapa media. Dengan gaya beliau yang bersemangat dank khas, kami menjadi begitu tertulari semangat. Dan atas permintaan banyak teman untuk menshare rangkumannya, izinkan saya mewakili BPC-KPPA Benih untuk menuliskannya kembali

Pada pendahuluannya, beliau menyampaikan bahwa dari pengalaman beliau terjun ke lapangan persoalan mendasar  pada perempuan dan nantinya istri atau ibu adalah berkutat pada tiga poin
  1. Peningkatan Kapasitas Diri
Pada umumnya perempuan mudah merasa ‘puas’ dengan apa yang telah dicapai. Sudah menikah, punya ana, nafkah cukup, tidak banyak masalah maka mereka gampanga mengatakan “Ah begini ini saja saya sudah lumayan”.

 Saya sendiri mengamini pendapat bu Marijati tersebut. Lihat saja majelsi-majelis ilmu tidak terlalu banyak dipenuhi perempuan-perempuan usia produktif (termasuk merintis pengajian ini, hee) Para perempuan sangat minim semangatnya dalam mencari ilmu dan meningkatkan kapasitas dirinya. Pantas saja batin saya, para perempuan banyak sekali yang merasa ‘wegah’ saat sudah memiliki putra, sudah merasa cukup dan nyaman dan enggan berproses pada kemajuan-kemajuan.

Tentang semangat meningkatkan kapasitas diri ini, dr.Marijati mencontohkan sosok Asma’ binti Abu Bakar yang hingga usianya 100 tahun semangatnya masih menggebu (tentang shahabiyah ini insya Allah akan saya share dalam catatan berbeda)

  1. Masalah Ekonomi
Masalah ekonomi memicu ketergantungan yang sangat. Kasus kekerasan dalam rumahtangga tidak banyak terungkap karena persoalan ketergantungan ekonomi, ibu atau ayah tega menjual anaknya atau mungkin tidak sengaja menyerahkan anak gadisnya untuk bekerja yang disangkanya bersama ‘orang  baik’ juga karena iming-iming ekonomi. Masalah inilah yang akan menjadikan problem rumahtangga berkait berkelindan

  1. Problem Pengasuhan Anak/ Tarbiyatul Awlad
Mengasuh dan mendidik anak-anak ternayat tidak bias seenaknya. Sebisanya apalagi ikut-ikutan trend. Inilah yang kemudian mengisnpirasi KPPA Benih untuk tahun ini focus menggarap masalah parenting dengan program-programnya.

Dalam pengisiannya, bu Marijati mengetakan bahwa mendidik anak-anak harus memiliki visi yang benar. Yang harus kita tanyakan pada diri kita saat mendidik anak-anak kita adalah
“Apakah anak saya SAMA dengan saya, LEBIH BAIK atau LEBIH BURUK dari saya?”  Jika kualitas anak kita hanya ‘sama’ dengan kita maka kita rugi.Jika lebih baik maka kita beruntung dan jika justru lebih buruk maka kita merugi.

Beliau mencontohkan bahwa kita memiliki ibu-ibu yang hebat. Ibu kita adalah contoh terdekat dalam mendidik kita. Para ibu dahulu mungkin tidak kenal apa itu multiple intelegent, misalnya tapi beliau mencontohkan “Ibu saya menyuruh saya les nari, deklamasi, baca tulis Qur’an…walaupun ibu hanya lulus SR “

Lalu, bagaimana menjadi ibu yang dapat meningkatkan kualitas anak-anaknya?
1.      Mampu Mengamati potensi anak, bukan Memaksa
Seorang ibu/ayah yang ingin anak-anaknya berkualitas harus mampu mengenali, meraba, menyeranta potensi mereka. Orangtua dan terutama ibu yang biasanya memiliki kedekatan harus bias menamati dan mengarahkan anak-anaknya.Tapi, bukan memaksakan kehendak dan keinginannya. Orangtua hanya berkewajiban mengawal dan memberikan bekal. Biarkan anak memilih dan tumbuh bersama potensi baiknya

2.      Mempunyai konsep bahagia yang benar untuk Kita & Anak Kita
Orangtua/Ibu yang baik akan memiliki konsep bahagia yang benar. Jika kebahagiaan dinilai dari anak yang sukses, jadi pejabat, misalnya, lalu bagaimana jika ibu/ayah belum sempat melihat anaknya jadi ‘orang’?Apakah kemudian ia tidak bahagia?

Konsep bahagia yang hakiki dan penuh optimis akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Mempersempit pandangan kebahagiaan dengan mengukurnya hanya sebatas materi akan membekas pada karakter anak kita.
           
            Sejak Kapan Kita Dapat melihat Potensi Anak?
            Jawabnya: Sejak kita memberi nama!
            Nama anak-anak kita adalah harapan yang tulus dari dalam hati kita dan pasangan kita. Nama anak kita menjadi ruh yang memiliki pengaruh terhadap kepribadian mereka. Maka memberi nama anak kita harus dibarengi dengan kepahaman terhadap makna dan ‘sejarahnya’.

Nama anak-anak kita akan menjadi motivasi untuk mendidiknya sesuai dengan namanya yang kita doakan.Inilah amanah kita agar potensi anak-anak kita segera kita kenal sejak kecil .Hmm… maka, Maha Benar Allah yang melarang kita memanggil dengan gelar-gelar yang buruk, ya!

Demikianlah kurang lebih  rangkuman kajian Parenting & Keluarga Islami yang diadakan oleh KPPA BENIh. Semoga istiqomah dan nantikan share selanjutnya. Salam Inspiratif

Jumat, 13 Mei 2011

Kita Kader Dakwah, BUKAN ‘Alien’ yang Berdakwah

Tulisan ini sudah lama ingin saya posting. Terinspirasi dengan pertemuan kami dengan istri menkominfo Tifatul Sembiring, ibu Sri Rahayu disela-sela kunjungan kerja beliau untuk studi banding tentang Kota Layak Anak. 
Menarik,karena beliau yang kini mendapatkan amanah sebagai sekretaris komisi D DPRD Kota Depok dan istri seorang mentri yang berasal dari Luar Jawa itu tidak kehilangan akar budayanya: Jawa. Beberapa kali dialeg bahasa Jawa halus beliau sampaikan bahkan kami yang 'masih' jaga gawang di kota berjuluk 'spirit of Java' ini pun kalah. Bahkan seorang teman di Jakarta mengatakan, citra Solo itu masih terus beliau bawa dalam menjamu tamu dengan menghidangkan nasi liwet, misalnya.Bagi saya ini menjadi salah satu kelebihan tentang bagaimana beliau mampu berasimilasi budaya di tengah hirukpikuk ibukota dan dengan suami yang berkarakter berbeda.

Kembali pada substansi. Pertemuan tak lebih dari dua jam itu lumayan membuat saya belajar tentang banyak hal. Tentu saja, tema dakwah dan segala perniknya masih selalu menjadi wawasan yang harus kami gali dari banyak pelaku dakwah, apalagi diranah birokrasi yang begitu banyak menawarkan tantangan. Sebuah kata kunci yang digunakan oleh beliau, ibu Rahayu adalah bahwa inti dari dakwah adalah delivering message.Tentu saja message disini adalah kebaikan dan kebenaran Islam dari Allah  yang dibawa Rasulullah. Nah, dari diskusi kami di sore itu, saya mengambil inspirasi-inspirasi bahwa dakwah ini harus tersampaikan dengan cara-cara yang tepat, profesional dan luwes. Ibu Rahayu sempat menyampaikan jangan sampai kita menjadi 'mutan' .Mutan sendiri kurang lebih sesuatu yang terjadi karena proses yang tidak sempurna, akhirnya tumbuh sebagai sesuatu yang cenderung keluar dari sifat asli dan biasanya aneh serta justru kebanyakan merugikan.

Terinspirasi dengan istilah bu Yayuk tersebut, Saya sendiri akhirnya lebih memilih istilah 'alien' dalam tulisan ini agar lebih gampang dipahami. Dakwah Ilallah dan segala programnya mengharapkan kita menjadi para 'aktivisnya'. Memperjuangkan, menyampaikan pesannya, dan menjadikannya ruh serta orientasi aktivitas kita. Pun begitu, tak jarang kita yang 'mengaku-aku' sebagi aktivis dakwah ini justru bertindang seperti alien yang asing dan tidak dapat nyambung dengan masyarakat. Nah, beberapa poin dibawah ini mungkin dapat menginspirasi agar kita dapat menilik kedalam diri, sudahkah kita berlaku selayaknya aktivis dakwah yang seharusnya menjadikan masyarakat sebagai tempat ia menyemai kebaikan dan bertumbuh bersama mereka.

1. Kader dakwah Mampu Membersamai masyarakatnya
     Jika kita mengaku sebagai kader dakwah, mari kita hitung berapa banyak kita berinteraksi dengan masyarakat kita dalam sehari, sepekan,s ebulan, setahun? Berapa banyak event-event kemasyarakatan yang kita sediakan waktu untuk mendatanginya? PKK, Posyandu, Kerjabakti Kampung, Sholat berjama’ah dimasjid, Mendatangi upacara pemakaman, pernikahan atau sekedar menyapu halaman dan menyapa orang yang lewat?

Kader dakwah yang hanya puas dengan kebaikan-kebaikan dan kesibukan dirinya,dunianya dan hanya sibuk beraktivitas dalam  'komunitas' jama'ahnya hanya akan menjadikan dirinya bak makhluk asing ditengah masyarakatnya. Gampangnya orang akan sedikit sinis saat ia tiba-tiba menyeru –meskipun- itu kebaikan. Siape lu? Kemana aja lu? Mungkin begitu tanggapan masyarakat. Percayalah bahwa masyarakat kita sebenarnya baik dan tulus, hanya kadang kita terlalu ‘tinggi’ melihat pada diri sendiri dan enggan sekedar srawung (ketemu)  dan mengenal mereka
2. Kader Dakwah mampu Bersikap Profesional, Sabar dan Telaten
            Setelah poin pertama, maka karakter sabar dan telaten adalah kuncinya. Berdakwah seperti juga marketing. Lihat Rasulullah, kesabaran beliau dan ketelatenan beliau menjadikan dakwah Islam ini bersifat mssiv, kokoh dan bertahan dalam jangka ratusan abad. Kader dakwah mampu menjadikan proses tarbiyah (pembinaan) dalam masyarakat sebagai sunnatullah yang harus dijalani dengan sabar, professional, ngemong dan telaten agar kemanfaatan dan loyalitas masyarakat dan objek dakwah pada Islam dan dakwah itu muncul dan bertumbuh sebagai kesadaran, bukan reaksi sesaat yang tiba-tiba akan lenyap.
            Kader dakwah harus siap menempa dirinya seperti benih yang tersemai, kadang terinjak, dikritik, dicaci dan kadang harus menghadapi banyak akibat yang tidak sesuai dengan usahanya. Tak mengapa. Masyarakat akan melihat siapa yang mapu bekerja dengan sabar. Maka jika kita ingat, kader dakwah harus memiliki sikap seperti ‘orangtua’ yang ngemong dan telaten pada anak-anaknya.
3. Kader Dakwah Mampu Bersikap Luwes dan Tawadhuk
            Mancolo putro mancolo putri Hehehe itu istilah yang diperkenalkan bu Sri Rahayu yang sempat menjadikan suasana segar . karena,ternyata banyak diantara kami yang tidak tau istilah njawani itu. Artinya kurang lebih sikap yang luwes. Kalau arti ‘sakleknya’ sih kadang jadi laki kadang jadi perempuan hehe
            Begitulah, kader dakwah harus dapat bersikap luwes dalam hal ‘cara’ menyampaikan pesan. Soal substansi pesan itu sendiri kita sudah sepakati bahwa pesan terbaik adalah seruan-seruan kebaikan. Bersikap luwes menjadikan kita mampu melihat lebih luas dan taktis. Kader dakwah di era kini tidak lagi dapat bersikap arogan, sinis, kaku, terlalu banyak menyalahkan pihak lain dan apalagi bersikap kasar dan merusak. Dakwah yang luwes ini dicontohkan Rasulullah misalnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat yang berbeda-beda tingkat pemahaman keislamannya. Rasulullah juga bersikap luwes saat perjanjian Hudaibiyah dengan –bahkan- menanggalkan identitas kerasulan beliau .Tapi lihat…akibat keluwesan beliau, dalam jangka waktu tak lama  maka Mekkah kembali dalam genggaman Islam. Sikap simpatik dan tawadhuk beliau mampu menerbitkan rasa kagum dan cinta. Bagaimana dengan kita?
4. Kader Dakwah harus Mau Belajar Mendengar
            Saya sangat tersentuh dengan cerita bu Yayuk bagaimana beliau dengn identitas PKS nya, diakalangan ‘ibu-ibu istri elit politik senior’ masih sering dianggap ‘Partai Kemarin Sore’ (yang ini istilah saya, maaaaf hehe) artinya dianggap anak kecil. “Maka kita yang harus belajar dari mereka yang lebih dahulu ada di ranah politik ini” begitu kata beliau
            Kader dakwah harus mampu menyampaikan pesan kebaikan itu baik saat berbicara maupun diam. Mari kita terkadang hanya hadir untuk mendengar oranglain mengisi kajian. Mari kita budayakan ngangsu kawruh (menimba ilmu). Beri kesempatan orang lain –apalagi yang lebih sepuh- untuk berbicara, mari mendengar. Termasuk, biarkan orang kadang mengkritik, kesal, dan menumpahkan kekesalan itu pada kita. Saya pun benar-benar masih belajar untuk mendengar dan ‘tahan’ terhadap kritikan. Sebab tak semua harus kita jawab dengan…berbicara.
5. Kader Dakwah Mampu Menguatkan Cita diri Positifnya dan…BEKERJA!
            Kita hidup dalam khusnudhon orang lain. Jika kita ngaku-ngaku kader dakwah, mari kita belajar mengenali citra diri positif kita. Namun, kita pun harus tulus, dan membina diri kita sehingga karakter kita tidak dibuat-buat.
            “Tak masalah ketika seorang kader dakwah harus ‘berganti-ganti kostum. Tapi seorang Vida tetap Vida, dengan baju apapun yang ia gunakan.” Hmm..begitu jawab bu Sri Rahayu saat saya menanyakan tentang bagiamana kita bersikap luwes tanpa mengaburkan karakter kita.
Benar juga. Ibarat seseorang yang mampu beradaptasi , ia tidak akan salah kostum. Ia adalah dirinya sendiri baik ketika memakai pakaian tidur, baju pesta, baju kerja dan bahkan memakai daster.hehe.Kader dakwah mampu meneguhkan karakter positif dirinya dengan membina dirinya terus menerus dalam kebaikan. Sehingga orang/ masyarakat  tak lagi memusingkan ia sedang memakai ‘baju’ apa. Sebab, apapun baju yang sedang dikenakannya ia tetap BEKERJA!
Demikian sekelumit tulisan untuk menasehati diri saya sendiri. Semoga tulisan ini menginspirasi. Wallahu a’lam bisahawwab. Salam Inspiratif!




















Minggu, 01 Mei 2011

Revitalisasi Pendidikan Madrasah

Seorang teman bercerita bahwa anaknya ‘terancam’ dipindahkan ke Madrasah Ibtidaiyah di sebuah Yayasan perguruan Islam yang sama dengan SD tempat kini putranya sekolah. Begini cerita lengkapnya
“Aduh anakku kalo gak bis ngikutin pelajaran di SD-nya  mungkin ntar kelas dua dipindah ke MI-nya Bu. Ponakanku tadinya mau masuk ke SD Islam itu, trus gak lolos seleksi , mau dilempar ke madrasah ibtidaiyah nya. Yah. Emang kayak ‘pembuangan’ gitu yaaa kesannya”

                Saya yang tadinya optimism au masukin anak saya ke MI tersebut juga jadi mikir. Bukan karena ikut ‘mengunder estimate- ti” kualitasnya tapi sedih aja dengan kenyataan bahwa banyak Madrasah di negri kita ini hanya jadi tempat alternative bahkan tempat ‘pembuangan ‘ anak-anak yang dianggap kurang berprestasi, atau anak-anak kurang mampu daripada tidak sekolah. Sebenarnya pun, ini issue lam, tapi mengapa tidak banyak aksi yang dilakukan oleh para pengurus Yayasan Islam, atau bahkan oleh Diknas dan Depag sebagai penanggungjawab lini pendidikan jalur Madrasah ini.

                Jika kita runut sebab betapa memprihatinkan kualitas dan animo masyarakat terhadap pendidikan madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah) sungguh tidak lepas dari beberapa faktor

Pertama , : Sejarah Sekularisasi & Pemisahan Pendidikan di Negri kita
                Dahulu, di zaman pendidikan, dikotomi pendidikan government dan madarasah sudah terjadi. Lihat saja perjuangan Ahmad Dahlan merintis sekola-sekolah Muhammadiyah , misalnya ,juga dilatarbelakangi bahwa sinergi sekolah negri (government) dan swasta ( madrasah) harus dilakukan.
                Di zaman penjajahan, Belanda seringkali membuka peluang ‘kerja’ hanya untuk para lulusan sekolah government (negri), para lulusan madrasah hampir tidak memiliki akses pekerjaan yang  bergengsi pada masa itu. Bisa jadi itulah yang turun temurun menjadikan para orangtua ‘terkkoptasi’ dengan pilihan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ‘negri’ agar cepat mendapatkan pekerjaan. Dan tercapailah brand image yang diciptakan Belanda untuk mensekulerisasi dan memisahkan pendidikan agama dan umum.

Kedua : Persaingan Kualitas dan Image antara Sekolah Negri , Swasta Islam dan Madrasah
                Pada perkembangan selanjutnya, sebenarnya pendidikan Islam (MI, MTs, MA) telah mendapatkan persamaan  dengan pendidikan negri melalui UU Sisdiknas 2003. Namun entah mengapa image tentang pendidikan di madrasah yang cenderung kurang berkualitas baik secara input dan fasilitas . Anak-anak berkemampuan baik dan istimewa cenderung disekolahkan para orangtua di sekolah negri atau swasta Islam Unggulan, bahkan seperti kasus diatas, sebuah Yayasan Islam pun ‘membedakan’ anatara SD Islam  dan MAdrasah Ibtidaiyah padahal dengan nama yang sama.Jadilah madrasah seolah menjadi tempat anak-anak berinput tidak terallau ‘pintar’ dan atau berkemampuan ekonomi menengah kebawah.
                Padahal, semestinya pendidikan Islam yang sarat dengan kelebihan di sisi-sisi spiritual dan moral ini harus diperjuangkan kualitasnya. Terkait dengan ‘persaingan’ itulah maka saya menyimpulkan beberapa tipikal orangtua muslim dalam memilihkan sekolah anak mereka
  • Orangtua dengan kemampuan ekonomi menengah keatas dan anak yang ‘pintar’ maka memilih sekolah negri atau swasta Islam yang terkenal unggulan
  •   Orangtua dengan kemampuan pas-pasan dan anak dengan kemampuan ‘pintar’/sedang  memilih menyekolahkan anak di sekolah negri, karena umumnya gratis dan image-nya berkualitas
  •   Orangtua berkemampuan cukup dan anak yang sedang , memilih menyekolahkan nak mereka di sekolah negri atau sekolah Islam non madarasah
  •   Orangtua berkemampuan pas-pasan dan anak yang kemampuan ‘kurang’ pintar memilih sekolah swasta Islam yang tidak unggulan atau madrasah. Yang penting anak tetap sekolah
Pada akhirnya, masyarakat memang berhak memilih kemana pendidikan anak-anak mereka dititipkan. Maka, para pengelola sekolah Islam dan madrasah harus memiliki kepercayaan diri dan spirit mendidik yang prima. Merencanakan pendidikan mdarasah yang memiliki visi keislaman dan mutu pendidikan yang baik dengan pengelolaan professional harus ditempuh untuk membuktikan kualitas (klik link ini)  untuk refernsi.

Kepercayaan diri itu dapat pula dibuktikan dengan tidak gentar menerima input murid yang kurang ‘pintar’ dengan sebuah semangat menghasilkan output yang baik dan berakhlak. Memang harus sedikit bekerja keras, sebab sangat jamak bahwa sekolah-sekolah unggulan baik negri, swasti Islam terpadu dan sejeneisnya dapat mempertahankan kualitas karena input yang ‘sudah jadi’ dan terseleksi. Jadi wajar jika para gurunya tidak terlalu bekerja keras. Jadi, mari bersemangat para guru dan pengelola Madrasah!