Seorang teman bercerita bahwa anaknya ‘terancam’ dipindahkan ke Madrasah Ibtidaiyah di sebuah Yayasan perguruan Islam yang sama dengan SD tempat kini putranya sekolah. Begini cerita lengkapnya
“Aduh anakku kalo gak bis ngikutin pelajaran di SD-nya mungkin ntar kelas dua dipindah ke MI-nya Bu. Ponakanku tadinya mau masuk ke SD Islam itu, trus gak lolos seleksi , mau dilempar ke madrasah ibtidaiyah nya. Yah. Emang kayak ‘pembuangan’ gitu yaaa kesannya”
Saya yang tadinya optimism au masukin anak saya ke MI tersebut juga jadi mikir. Bukan karena ikut ‘mengunder estimate- ti” kualitasnya tapi sedih aja dengan kenyataan bahwa banyak Madrasah di negri kita ini hanya jadi tempat alternative bahkan tempat ‘pembuangan ‘ anak-anak yang dianggap kurang berprestasi, atau anak-anak kurang mampu daripada tidak sekolah. Sebenarnya pun, ini issue lam, tapi mengapa tidak banyak aksi yang dilakukan oleh para pengurus Yayasan Islam, atau bahkan oleh Diknas dan Depag sebagai penanggungjawab lini pendidikan jalur Madrasah ini.
Jika kita runut sebab betapa memprihatinkan kualitas dan animo masyarakat terhadap pendidikan madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah) sungguh tidak lepas dari beberapa faktor
Pertama , : Sejarah Sekularisasi & Pemisahan Pendidikan di Negri kita
Dahulu, di zaman pendidikan, dikotomi pendidikan government dan madarasah sudah terjadi. Lihat saja perjuangan Ahmad Dahlan merintis sekola-sekolah Muhammadiyah , misalnya ,juga dilatarbelakangi bahwa sinergi sekolah negri (government) dan swasta ( madrasah) harus dilakukan.
Di zaman penjajahan, Belanda seringkali membuka peluang ‘kerja’ hanya untuk para lulusan sekolah government (negri), para lulusan madrasah hampir tidak memiliki akses pekerjaan yang bergengsi pada masa itu. Bisa jadi itulah yang turun temurun menjadikan para orangtua ‘terkkoptasi’ dengan pilihan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah ‘negri’ agar cepat mendapatkan pekerjaan. Dan tercapailah brand image yang diciptakan Belanda untuk mensekulerisasi dan memisahkan pendidikan agama dan umum.
Kedua : Persaingan Kualitas dan Image antara Sekolah Negri , Swasta Islam dan Madrasah
Pada perkembangan selanjutnya, sebenarnya pendidikan Islam (MI, MTs, MA) telah mendapatkan persamaan dengan pendidikan negri melalui UU Sisdiknas 2003. Namun entah mengapa image tentang pendidikan di madrasah yang cenderung kurang berkualitas baik secara input dan fasilitas . Anak-anak berkemampuan baik dan istimewa cenderung disekolahkan para orangtua di sekolah negri atau swasta Islam Unggulan, bahkan seperti kasus diatas, sebuah Yayasan Islam pun ‘membedakan’ anatara SD Islam dan MAdrasah Ibtidaiyah padahal dengan nama yang sama.Jadilah madrasah seolah menjadi tempat anak-anak berinput tidak terallau ‘pintar’ dan atau berkemampuan ekonomi menengah kebawah.
Padahal, semestinya pendidikan Islam yang sarat dengan kelebihan di sisi-sisi spiritual dan moral ini harus diperjuangkan kualitasnya. Terkait dengan ‘persaingan’ itulah maka saya menyimpulkan beberapa tipikal orangtua muslim dalam memilihkan sekolah anak mereka
- Orangtua dengan kemampuan ekonomi menengah keatas dan anak yang ‘pintar’ maka memilih sekolah negri atau swasta Islam yang terkenal unggulan
- Orangtua dengan kemampuan pas-pasan dan anak dengan kemampuan ‘pintar’/sedang memilih menyekolahkan anak di sekolah negri, karena umumnya gratis dan image-nya berkualitas
- Orangtua berkemampuan cukup dan anak yang sedang , memilih menyekolahkan nak mereka di sekolah negri atau sekolah Islam non madarasah
- Orangtua berkemampuan pas-pasan dan anak yang kemampuan ‘kurang’ pintar memilih sekolah swasta Islam yang tidak unggulan atau madrasah. Yang penting anak tetap sekolah
Pada akhirnya, masyarakat memang berhak memilih kemana pendidikan anak-anak mereka dititipkan. Maka, para pengelola sekolah Islam dan madrasah harus memiliki kepercayaan diri dan spirit mendidik yang prima. Merencanakan pendidikan mdarasah yang memiliki visi keislaman dan mutu pendidikan yang baik dengan pengelolaan professional harus ditempuh untuk membuktikan kualitas (klik link ini) untuk refernsi.
Kepercayaan diri itu dapat pula dibuktikan dengan tidak gentar menerima input murid yang kurang ‘pintar’ dengan sebuah semangat menghasilkan output yang baik dan berakhlak. Memang harus sedikit bekerja keras, sebab sangat jamak bahwa sekolah-sekolah unggulan baik negri, swasti Islam terpadu dan sejeneisnya dapat mempertahankan kualitas karena input yang ‘sudah jadi’ dan terseleksi. Jadi wajar jika para gurunya tidak terlalu bekerja keras. Jadi, mari bersemangat para guru dan pengelola Madrasah!
bagaimana MI/Madrasah Intidaiyah/sekolah dasar islam todak dijadikan pelarian/dinomor duakan tergantung orangnya?
BalasHapus