Kamis, 28 April 2011

Responsif Terhadap Aib, Nylekenthem Terhadap Prestasi : Hati-Hati Bibit Dengki!

Mungkin saya tidak memenuhi kaidah penulisan judul yang benar dalam postingan /note kali ini. Heheh terkadang saya senang dengan bahasa ‘lesan’ yang ditulis, kesannya akrab gitu. 

Karakter yang kita akan ulik kali ini sepertinya menjadi jamak pada sebagian besar masyarakat kita, bahkan mungkin sempat kita idap (dan semoga sudah tidak lagi) . Banyak sekali peluang-peluang keburukan disekitar kita. Apakah itu kita lakukan atau orang lain lakukan. Aib menjadi sebuah makanan yang bebas konsumis seolah peringatan Allah tentang ‘memakan bangkai saudaramu yang telah mati’ tak lagi mempan.
dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati? Tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS 49 :12).

                Hidup dalam masyarakat yang menikmati aib orang lain sebagai kesenangan sungguh menyedihkan. Betapa tidak? Selain merugikan orang lain, jika kita memiliki dua karakter ini, bisa jadi kita akan mengidap penyakit hasad yang perumpamaannya Allah sebutkan seperti api memakan kayu bakar.Mari kita waspada, jangan-jangan kita masih mengidapnya!

Karakter menyedihkan yang pertama adalah saat kita sangat antusias dan high respon terhadap aib dan keburukan orang lain, kelompok lain, keluarga lain dan bersemangat menyebarkannya. Jamak sekali sikap ini. Orang-orang yang memiliki kegemaran mengulik, mengamati dan menghebohkan aib orang lain biasanya lebih bersemangat membahasnya meskipun telah berlalu sebuah kesalahan dan ingin terus menghidupkan tema yang sama. Menyedihkan karena karakter demikian ini akan menyusutkan kewibawaan, membosankan dan menjatuhkan citra dirinya dan orang lain (pemilik aib). Padahal, dosa ghibah hanya akan terhapus jika si pengumbar aib meminta maaf langsung atau mengakui pada orang yang dighibah.Nah loo.. lha kalau kesempatan itu belum didapat dan fitnah, aib dan keburukan atas orang lain terus menyebar karena kita?Betapa menyedihkan

                Karakter kedua yang biasanya berhubungan dengan orang yang gemar mencari-cari aib adalah nylekenthem terhadap prestasi orang lain. Hehehe mungkin Anda bertanya-tanya apa itu nylekenthem? Ini istilah popular di keluarga saya yang Solo banget ini. Sebuah sikap yang bisa diartikan ‘diam’, pura-pura tidak tau, malu mengakui, tidak mau bicara terus terang. Intinya memilih diam. Dalam hal ini, orang-orang berkarakter ‘hasad’ (semoga Allah melindungi kita) biasanya memilih sikap ini terhadap orang yang ia dengki terhadapnya. Sikap tidak seimbang  antara bersemangat mengumbar aib namun terkesan cuek, dingin, sinis saat orang yang sama memiliki prestasi bahkan sengaja menutupi dan melupakannya adalah indikasi dari kotornya hati.
                Lalu, bagaimana terapinya? Mungkin sama dengan menterapi sifat hasad dihati, jika ada bibit-bibit dua sikap diatas, cobalah ‘terapi’ ini
  1.     Jika kita melihat peluang aib, maka segera menghindar darinya. Jika berita itu tentang sesama muslim, maka bersihkan hati dengan khusnudhon lebih dahulu. Jangan terima mentah-mentah dan bertabayunlah (cek ricek)
  2.   Ubah dengan tangan jika mampu. Jika ada provokator penghembus aib, hendaknya kita tegur dengan bahasa yang baik dan bernada mengingatkan “emang Anda udah tabayyun sama si fulan?” Netralisir, jangan malah mengompori
  3. Bersikap gentleman terhadap prestasi orang lain meskipun pesaing berat sekalipun. Jangan sinis terhadap prestasi orang lain. Jadilah orang yang senang dengan kesuksesan orang lain 
  4. Milikilah visi menambah teman dan sahabat. Ini penting misalnya kita harus menerima ‘kekalahan’ atau kritik, positiflah menanggapinya. Peliharalah visi bersahabat dan belajar dari siapapun, mudah memberi apresiasi positif terhadap prestasi orang-orang yang sudah atau akan kita kenal sekecil apapun.
Begitulah. Semoga kita tidak menjadi pribadi yang meminimalkan gossip dan aib yang mampir ke indra dengar dan hati kita, serta mampu bersikap bijak menyikapinya. Pun terhadap prestasi dan kebaikan-kebaikan orang lain semoga kita senantiasa bersikap sportif, adil dan tidak melupakannya. Menghakimi aib dan membesarkannya  akan menutup kebaikan kita dan orang lain. Wallahu a’lam. Salam inspiratif!

jelang tengah malam, 29 April 2011

Selasa, 26 April 2011

Profesional Hingga Akhir!

Beberapa hari lalu saya mendapatkan cerita dari guru ngaji saya, disarikan dari sebuah buku. Cerita yang membuat saya berpikir sampai hari ini tentang …etos kerja, visi, keikhlasan dan sejenisnya. Mari kita simak dahulu cerita itu, kurang lebih  seperti ini…
                Adalah seorang tukang kayu termasyhur disebuah perusahaan property ternama. Ia telah menghabiskan waktunya untuk membuat bangunan dan rumah yang bagus, berkualitas dan setiap oramh terpesona dengan karya-karyanya. Begitupun diperusahaannya, ia menjadi pegawai senior dan berpengalaman. Sampai suatu hari sang tukang ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya karena ingin beristirahat dan menikmati masa ‘tua’nya. Sang pemilik perusahaan merasa sangat kehilangan  namun tetap mengizinkan si tukang kayu andalannya berhenti bekerja.Namun, si bos meminta si tukang kayu mengerjakan satu proyek terakhir, sebuah rumah . si bos memberikan kebebasan si tukang kayu untuk menentukan modelnya, karena ini proyek terakhir. Dengan agak berat hati, si tukang kayu mengerjakan proyek tersebut. Tak seperti biasa, ia memilih bahan yang tidak terlalu bagus kualitasnya, mengerjakan dengan tidak antusias. Singkat kata, rumah proyek terakhir itupun jadilah. Dan si tukang kayu mengatakan pada si bos. Dengan penuh suka cita si bos melihat rumah hasil kerja pegawai terbaiknya itu dan dengan tulus dia berkata “Mulai hari ini, rumah ini milikmu sebagai tanda terimakasih kami atas pekerjaan danloyalitasmu selama ini , terimalah, ini kuncinya” Betapa menyesal si tukang kayu karena ia tidak menyangka bahwa rumah yang dikerjakannya asal-asalan itu justru akan ditempatinya menghabiskan sisa hidupnya. Seandainya ia tau mungkin ia akan lebih baik mengerjakannya, ….
                Kisah itu membuat saya terinspirasi. Bahwa detik-detik akhir adalah penentuan. Bahwa mungkin kita tidak pernah tau kapan kita mendaptkan peluang untuk berbuat baik. Kitalah yang akan membangun rumah kita di dunia, diakherat, kitalah yang akan meretas karier kita sebagai hamba, sebagai ibu, istri, anak, pegawai, majikan, bos dan semua peran-peran kita
                Dalam konteks hamba Allah, Maha Benar Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita berlaku ihsan, sebagai ukuran profesionalitas seorang mukmin.
…..Beritahukan kepadaku tentang Ihsan” Rasulullah menjawab,”Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”

                Bersikap professional dan mencoba sempurna dalam segala kewajiban kita ternyata tidak mudah. Sebagai hamba kita lebih sering menuntut hak kita dan melalaikan kewajiba-kewajiban kita pada Allah. Sebagai istri kita lebih sering menuntut pasangan, sebagai orangtua kita sellau meminta anak-anak taat tanpa kita contohkan bagaimana membina kedekatan. Sebagaiapegawai kita sering menerima gaji tanpa bekerja optimal, dan bahkan mangkir di jam-jam mengabdi pada masyarakat. Ah…kisah diatas membuat saya bergidik, seperti apa bangunan rumah masa depan saya dihadapan Allah? Seperti apa bentukan karakter anak-anak saya? Seperti apa saya mengakhiri tugas saya di bumi ini? Bukankah ada sebuah hadits bahwa kita mati sesuai dengan kesibukan dan apa yang kita jalani?
                Bersikap professional hingga akhir menjadikan kita pribadi yang sanggup berdiri tegak disaat yang lain sudah mulai ragu dan enggan. Kita akan menjadi orang-orang yang teguh dalam barisan yang rapih. Sebagaimana Umar Bin Khattab  ra yang membuktikan loyalitas dan sikap profesionalnya dengan kalimat afirmatif yang gagah “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Dan jika hanya ada satu mujahid yang berjuang di medan juang, ITULAH AKU!”
                Sikap professional pula yang akan bisa menjadi salah satu indikasi seberapa kah kita telah ikhlas. Sebab terkadang apa yang kita dapat tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Namun orang-orang professional bekerja dan berbuat terkadang tak lagi peduli dengan nilai-nilai nominal. Sikap professional ini melahirkan kepuasan batin. Menyelesaikan sebuah rangkaian pekerjaan dengan sikap terbaik hingga kita menutup hari dan berjumpa dengan hari yang dijajikan. Semoga catatan diakhir hari ini menjadi nasehat untuk diri sendiri. Salam inspiratif!

Senin, 25 April 2011

Visi Memasak!

Judul yang aneh ya? Mungkin. Ini salah satu kalimat suami pada saya suatu hari. Saat saya seharian sepertinya tidak ada ‘tanda-tanda’ untuk memasak. Alias, Cuma beli lauk. Maka beliau bilang “Kayaknya umi nggak punya visi memasak hari ini” Saya bukannya marah, malah senyum senang (dapat judul bagus tuh)Mmm… lalu jadilah itu sebuah judul yang mengingatkan saya awal mula saya justru memiliki ‘visi’ untuk tidak terlalu ‘kesenengen’ saat suami bilang udah kita beli lauk aja.

Bingung? Iya, saya juga. Hihi. Biasa kalu menulis pas gak dapet intro yang manis beginilah akibatnya. Padahal entah kenapa hari ini saya sangat ingin menulis tentang ini, terutama saat  pagi tadi suami saya yang baik hati itu, memudahkan saya untuk ‘tidak usah masak’ hari ini mengingat saya yang agak kurang fit dan asisten tidak  masuk.Oke begini saja kita memulainya…

Saya ini orang yang sangat ‘tahan lapar’. Saya bisa berjam-jam melakukan aktivitas hanya dengan modal wedangan pagi dan snack pagi hari. Sarapan saya tidak teratur, dan mungkin juga ini akibat sugesti dari almarhumah mamah saya bahwa kebutuhan ‘sarapan’ saat kami masih kecil-kecil dahulu, cukup dengan minum susu, roti tawar atau gabin, lalu berangkat sekolah,atau kalau mau ulangan kami juga makan telur setengah matang hihii.dan dengan sugesti seorang ibu saya selalu percaya diri dengan sarapan yang tidak harus nasi itu.

Nah, maslah muncul saat saya menikah. Suami saya seorang yang sangat tertib (mungkin begini pengaruh dibesarkan di keluarga PNS, hihii piss ^_^V ) beliau sangat tertib sarapan pagi jam 7 ! Padahal saudara-saudara… mamah saya sangat hobbi masak dan telaten. Lha, mungkin karena saya yang tahan lapar itulah maka sinyal untuk   memasak saya tidak terlalu kuat saat mahasiswa.

Sampai pada suatu hari, saat suami saya yang merantau di negri orang  dan pulang , mengontrak dan mendapati ternyata istrinya belum terlalu peduli untuk urusan perut (hihi) dengan sangat jujur dan sedikit menyindir (terimaksiiih ya Rab..) suami saya bilang “Umi, kayaknya umi pengen kita semua tahan lapar kayak umi ya?Hm.atau cukup kita beli lauk terus ?” Wha???? Malu saya. Bukannya saya tidak pernah masak, tapi sungguh mungkin memang saat saya awal-awal ngontrak sendiri, saya seperti malas melangkahkan kakii belanja apalagi kalo udah siang, trus masaknya Cuma asal ada sayur, lauk gitu aja (bahkan sambal kesukaan suami saya serig lupa)

Sejak saat itu saya berlatih untuk masak dengan senang hati, apalagi saat anak mulai nambah, kesadaran akan kebutuhan nutrisi mereka membuat saya tidak lagi bisa coba-coba dan asal masak asal ada lauk. Termasuk kehadiran teknologi dikeluarga kami, membuat saya ‘tertantang’ untuk bisa mencoba banyak resep. Visi memasak.Ya, visi menjadikan kita mampu melampaui keterbatasan dan kemalasan. Termasuk malas belanja, malas masak atau mungkin ada yang malas bau amis dan malas menyiangi sayur? (kalau ini nggak banget deh).

Kini saya memasak bukan lagi karena takut dan malu disindir suami, atau kalau dulu saya memasak dengan alakadarnya, kini saya memasak dengan penuh spirit kesadaran (ceiyeee ).Saya memasak bukan karena kewajiban, karena kita memang tidak  wajib masak, tapi wajib memberi makan anak-anak hehee .Nah…apakah kita memberi makan dengan memasak atau njajan, itu pilihan. Dan silakan pilih yang lebih mencerdaskan dan sehat.

Kini saya memasak karena saya peduli. Mungkin saya bisa tahan lapar, toh habis masak juga biasanya malah kenyang.Tapi anak, suami, pembantu? Makanya saya tidak menyerahkan urusan masak pada pembantu agar saya tidak malas.Kini  Saya memasak karena saya tidak mau kelak anak-anak saya terutama yang calon ibu tumbuh menjadi gadis aneh dan sok modern  yang berkata “ah, ngapain masak, ibuku aja tinggal beli, praktis. Ah, aku nggak pernah tuh suruh ke dapur”. Saya kini memasak karena saya ingin anak-anak saya tidak akrab dengan restoran siap saji.Apakah saya dan suami pelit dan gak pernah mengajak mereka makan diluar ?Hehe jangan salah, saya dan suami adalah penikmat traveling kuliner.Tapi visi memasak membuat saya ‘menikmati’ makan diluar dengan merasakan bumbu-bumbunya, dan mencoba memasak makanan yang sama dirumah. Hasilnya? Cukuplah si sulung dan ayahnya bilang ‘enak’ berarti lulus!

Kini saya memasak karena saya ingin anak-anak saya percaya bahwa apa yang disajikan uminya adalah yang terbaik dan sehat. Pernah suatu hari saya coba-coba membuat pizza dengan bahan topping seadanya. Dan tanpa sengaja dua putri saya mengobrol “Umi kita hebat ya kak ya?Umi bisa bikin apa-apa yang kita pengin.Daripada beli”  jawab kakanya “Iya, umi kita pengen kita sehat, hania..Kata Umi  kan semua bisa kita buat sendiri” saya sempat terharu mendengarnya, dan menjadi lebih bersemangat. Ya, saya memasak karena ingin mengasah kreatifitas dan mengajarkan anak-anak hal yang sama. Terakhir, saya memasak karena saya ingin anak-anak saya terbiasa makan apa yang telah dihidangkan, tidak memilih-milih makanan  yang akhirnya menjadikan mereka anak-anak yang sulit makan. Ok, selamat menumbuhkan visi memasak, ya!

Kamis, 21 April 2011

Analogi Sebuah Kapal dan Pulau Harapan : Sebuah Pelajaran Tentang Amal Jama’I ( bagian 2)


                Sambungan note saya sebelumnya dengan judul yang sama.
                Mungkin orang sedikit menganggap saya berlebihan mengapresiasi tentang training di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang saya sudahi tahapannya sampai dengan Pelatihan Instruktur di sekitar tahun 2000 kalau tidak salah. Termasuk suami saya  yang sering menselorohi saya ini  suka bernostalgia (hehe padahal beliau juga pernah mencicipi training PII di SMU 1 Kudus). It’s oke. Tapi menurut saya, ini awal saya menghargai kerja-kerja tim.Karena persiapan training di PII bisa memakan waktu tiga bulan dan selama itu kami harus siap bolak balik Solo/Kota lain-Semarang

                Saya menyadari, teman-teman kami di PII kini telah memilih ‘kapal’ masing-masing. Itulah uniknya, kami di PII tidak pernah merasa harus menghakimi pilihan.  Ada yang ngaku ikut aliran kiri,kanan, tengah (asal gak aliran sesat aja heheh)milih bisnis, LSM, lembaga penelitian, jalur partai, ngurusin pondok, semua pilihan kapal itu tetap menjadikan kami berasa ‘weton’ PII. Keislaman, kepelajaran, keindonesiaan menjadi tiga manifestasi visi dakwah yang manis.Oke, selesai sampai disini cerita ‘pengantar ‘ saya tetang asbabul wurud saya mendapatkan analogi kapal dan pulau harapan itu.
                Episode Selanjutnya, 13 tahun setelah Basic training itu, saya pun bertumbuh dengan segala idealisme. Setelah mahasiswa,dikampus saya berkenalan dan terbina dengan sebuah gerakan dakwah tarbiyah,hingga akhirnya dengan percaya diri saya pun tak malu-malu mengakui menempuh jalur kepartaian. Inilah kapal saya, kapal kami. Analogi kapal dan pulau harapan pun semakin utuh saya pahami sebagai salah satu jalan  menganalogikan  amal jama’I .
                Dakwah  seperti kapal yang didalamnya berisi banyak awak dan penumpang. Layarnya kadang terkembang kokoh dan kadang tertiup angin kencang serta sedikit tercabik. Kerja-kerja dakwah yang besar ini adalah upaya melajukan kapal ini menuju harapan terbesar manusia : Ridho Allah. Didalamnya ada perencanaan, kerja-kerja kebersamaan, dan evaluasi. Apakah selalu sempurna? Tidak! Sebab sunatullah sebuah pekerjaan besar yang dikerjakan banyak orang adalah kekhilafan, kecemasan akan kegagalan dan tuaian kritik.
                Kapal ini akan berjalan, dan ditengah-tengah samudra banyak pulau-pulau persinggahan atau kapal-kapal yang lebih menarik. Atau… didalam kapal kita pun ada sekoci-sekoci yang bisa kita pakai jika kita ingin menyelamatkan diri sendiri.
                Amal jama’I ini sebuah perjalanan yang sungguh menguji kesabaran. Seperti awak kapal dan penumpang yang harus menjaga ketsiqohan untuk tetap dalam kebersamaan sampai ke pulau harapan. Apakah tak mungkin kapal itu bocor? Mungkin saja. Apakah tak mungkin ada penumpang yang ingin coba-coba ‘melubangi’ kapal walaupun tak sengaja? Juga mungkin. Atau…apakah tidak mungkin sampah-sampah laut, pasir dan antukan karang menjadikan kapal kita sedikit kotor, kumuh dan oleng?Ya, sangat bisa!
                Namun pilihan sikap ada pada awak kapal dan penumpangnya. Jika kita tak puas, tidak sabar dengan nakhkoda dan cemas, reaktif dengan lubang-lubang kapal yang tiba-tiba kita temukan, maka kita bisa saja mengambil sekoci dan dengan penuh kemarahan kita memisahkan diri, naik sekoci dan bahkan mengajak penumpang lain ‘ikut’ dengan kita.  Ya,ya,ya mungkin kita selamat dan puas. Namun kita tak akan pernah merasakan kenikmatan orang-orang yang bekerja keras dan sabar dalam kepanikan dan ujian itu. Kemenangan dan keberkahan ada dalam sebuah jama’ah, dalam kerja-kerja yang tak pernah terusik oleh hasutan dan hawa nafsu kedirian.Amal jama’I adalah ujian ketaatan, ketelitian, kemampuan mengevaluasi dan memperbaiki diri dengan tetap optimis dan solid.
                Saya teringat kisah pasca perang Uhud yang diceritakan suami saya beberapa waktu lalu. Saat itu Rasulullah mengumpulkan kembali sisa pasukan setelah kekalahan di bukit Uhud yang memilukan. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk kembali mengejar musuh. Banyak kaum muslimin yang sebelumnya  tidak ikut berperang sebelumnya menawarkan diri untuk menambah kekuatan.Tapi apa jawab Rasulullah ? “Hanya prajurit yang turut berperang sebelumnya dan mengalami kekalahan di bukit Uhud yang boleh ikut serta..”
                Luarbiasa. Hikmah dari ucapan Rasulullah itu adalah bahwa hanya orang-orang yang pernah rekoso, jatuh, kalah, tercaci, terfitnah, bekerja keras dan sabar dalam barisan yang berhak dan layak untuk menikmati kemenangan-kemenangan. Dan tentu kita belum menerima sedikitpun ujian seberat Rasul dan sha habat bukan? Maka, jika kapal dakwah dengan segala pernak pernik tribulansinya, tantangan dan ujiannya ini menjadikan awak dan penumpang yang mampu menutup lobang-lobang kapal dengan sabar, membersihkan kapal dengan bersemangat, tetap merengkuh para ‘peragu’ dalam kapal dan meneguhkannya kembali untuk tetap dalam kebersamaan menuju ‘pulau harapan’, mungkin janji Allah akan layak kita dapatkan : sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Wallahu a’lam bishawwab.*)
*) sebuah nasehat untuk diri sendiri.

Analogi Kapal dan Pulau Harapan : Pelajaran Tentang Amal Jama'i (1)


Kalau tidak salah ingat, diusia 17 tahun saya merasa beruntung ada di forum itu. Saat itu-kalau ini insya Allah benar- saya duduk di kelas 2 SMU. Tepatnya di gedung DDII Islamic Center Pabelan Kartasura, saat Ramadhan. Perjalanan dari rumah saya tempuh dengan bis kota bersama sahabat karib saya, Ayun Nurul Maqbullah. Sempat kesasar, hingga akhirnya menjelang buka kami baru sampai. Saya bertemu dengan teman-teman pelajar yang lebih dahulu bergabung dengan komunitas pelajar yang lumayan bergengsi kala itu, PII. Kakak beradik Almira dan Iin Hasanah, Ridho Amiruddin, Rifqoh, teman-teman sesama peserta baru dan banyak lagi yunda dan kanda di PII. Aku mengikuti Basic Training PII.
                Oke, lanjut. Tulisan ini tentang sebuah awalan training yang membuatku merasa dari sinilah kelebihan training-training PII dibanding-maaf- training pengkaderan organisasi pelajar atau mahasiswa yang biasanya hanya 3hari. Di PII , basic training harus kami lalui 1 pekan stelah sebelumnya  biasanya  minimal sebulan sebelum BATRA kami –para peserta- mengikuti pra Batra selama 3 hari dengan kegiatan yang lebih ringan dan fun. Ya, harus satu pekan, tidak boleh izin meninggalkan arena kecuali dengan alasan yang sangat-sangat darurat. Bagaimana mungkin? Di PII mungkin.
Dihari pertama training ada sesi EXPECTATION (penggalian harapan) dan kontrak forum. Disini kuncinya. Saat saya masih menjadi peserta training paling dasar hingga Pelatihan Instruktur, ini session paling menegangkan. Mitosnya- dan ini benar- kalau sesi ini sukses, maka kemungkinan sukses sebuah training akan besar.Maka tak heran jika para instruktur disetiap lokal (satu lockl/kelas maksimal 12 orang) sangat telaten dan benar-benar diuji kesabarannya.Juga peserta, mereka mulai diuji kesolidan, argumentasi, dan kemampuan ‘membujuk’ teman yang ada tanda-tanda mau pulang di tengah training.hihi.Dan analogi sebuah kapal dan pulau harapanpun menjadi sebuah perumpamaan yang pas.
                Setelah perkenalan peserta , instruktur lokal memberi selembar kertas dan selotip untuk peserta, biasanya dia menyuruh peserta menuliskan harapan mereka satu persatu terhadap training ini.Lalu kami para peserta menempelkan harapan-harapan kami di dinding. Lalu instruktur lokal dibantu observer mulai menggali kami pada harapan, motivasi dan mengajak kami berkomitmen ‘mempertahankan’ komposisi local dari hari pertama hingga hari ketujuh nanti. Dan inilah kurang lebih bahasa umum para instruktur hehe
“ Bagaimana kalau kita ibaratkan local kita ini…sebuah kapal yang akan menuju sebuah Pulau Harapan yang berisi harapan-harapan kita  seperti di dinding itu.Kita akan berlayar bersama kesana. Setuju?”
“Setuju..”
“Mah kira-kira apa ayang akan membuat kitaterhambat sampai kepulau Harapan”
“ Angin kencang, kang, layarnya lepas” satu peserta menjawab
“ Kapalnya bocor, ada yang melubangi kapal”
“Ada yang pengen kembali, kang. Gak kuat berlayar lagi”
                Dan banyak lagi alasan yang mungkin  menghambat training tergali satu demi satu . Dan begitulah, terkadang sampai dengan sore satu lokal baru bisa ‘selesai’ sesi ini karena ternyata ada peserta yang berencana cuma ikut empat harilah, ada yang tiba-tiba hilang mood, ada yang gak suka dengan suasana. Para instruktur sudah terlatih untuk benar-benar telaten menggarap sesi awal yang menentukan ini. Tapi… dengan suksesnya sesi ini proses dialog, menggali motivasi, mengenali karakter awal masing-masing peserta benar-benar membuat saya terkesan. Saat saya menjadi peserta training PII hingga dua kali mengolah forum batra, sebagai inlok dan observer saat masih mahasiswa awal2 dulu, saya merasakan hikmah dari proses ini.
                Setidaknya sampai saya menjadi mahasiswa, saya mulai mengerti bahwa ide dan sebuah amal kebersamaan itu harus didukung tim yang solid dan kemampuan mempertahankannya. Saya pun belajar untuk menerima bahwa ada banyak hal berbeda diluar diri kita.Selanjutnya? Ternyata analogi kapal dan pulau harapan itu kedepan menguak hikmah lebih banyak tentang sebuah…AMAL JAMA’I (kerja tim) dikehidupan saya..13 tahun kemudian (weiitz).see you next J.Salam inspiratif!

Kamis, 14 April 2011

Mengakrabi Semangat Sang Raden Ajeng : 3 Inspirasi Untuk Kartini Era Digital!


                Panggil Aku Kartini Saja,  buku karya Pramoedya Ananta Toer itu saya baca di usia yang masih ranum, 19 tahun.Saat itu saya adalah :seorang anak perempuan, gadis muda dengan banyak cita-cita. Buku  yang entah  bagaimana membuat saya ‘jatuh cinta’ pada Sang Raden Ajeng. Selanjutnya, saya semakin intens menelusuri banyak buku, tulisan dan beberapa artikel tentang Kartini.Ya, tentang semangat dan pemikirannya.
                Waktu berjalan dan saat ini  usia saya menjelang 30 tahun. Kini saya telah menjadi seorang istri dan ibu dari tiga anak balita. Namun toh  saya tetap seorang perempuan. Dan saya tidak mau ‘turun mesin’ dalam cita-cita dan idealisme seperti keluhan banyak perempuan saat telah menjadi istri dan ibu. Bagi saya, Sang Raden Ajeng menjadi salah satu perempuan inspiratif yang mampu menyikapi segala perubahan budaya, peran, status, dengan tetap menghidupkan idealismenya sebagai perempuan bercita-cita luhur ditengah bangsa dan budaya terjajah.
                Perjalanan saya ‘mengakrabi’ sosok Kartini, justru tidak membentuk saya selalu menuntut persamaan hak. Itu sudah selesai. Wacana tentang tuntutan kebebasan, peluang, kesempatan meraih kemajuan sudah sejak lama kita genggam. Justru, telaah saya terhadap sosok Sang Raden Ajeng mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa RA. Kartini adalah perempuan sederhana yang sadar terhadap fitrahnya sebagai istri dan ibu namun menyimpan semangat  kemajuan yang melampaui adatnya. Sang Raden Ajeng  bagi saya justru menyemaikan beberapa inspirasi dan kesadaran yang tak lekang kapanpun. Inspirasi yang akan menjadikan peringatan kelahiran beliau –semoga- bukan lagi peringatan simbolik, bukan lagi diperingati dengan peragaan trend-trend busana kebaya terbaru,misalnya J
                Maka,dalam konteks kekinian,dimana teknologi dan informasi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia, izinkan saya memaparkan setidaknya tiga inspirasi dari Sang Raden Ajeng Kartini bagi kita, perempuan Indonesia di era digital untuk memberdayakan diri, keluarga dan masyarakatnya.
Inspirasi Pertama : Kesadaran Menjadi  Perempuan Pembelajar
                Kartini seorang pembelajar. Semangat pembelajar itu yang membawa Kartini pada kesadaran untuk mengakses  informasi dan terus mengikutinya dari semua kalangan. Semangat belajar itulah yang mengeluarkan Kartini dari sekat-sekat budaya dan keterbatasan. Kesadaran belajar itu pulalah yang menggiring Kartini mengakrabi kembali ajaran Al-Qur’an dan menjadikannya seorang perempuan kritis yang akhirnya menemukan bahwa agamanya mengajarkan persamaan hak belajar dan hak-hak kemanusiaan yang sama untuk laki-laki dan perempuan. Kesadaran itulah yang membentuk kesadaran moral bagi Kartini untuk mencerahkan kaumnya.Luarbiasa !
Kita, perempuan Indonesia masa kini semestinya lebih mampu memompa semangat belajar. Era digital  didepan mata, mengajak kita menjadi pemilih teknologi dan informasi yang cerdas. Segala hal dapat kita akses, segala ketrampilan dapat kita pelajari dan segala ilmu dapat kita perdalam hanya dengan menggerakkan jari. Apapun profesi dan kegiatan perempuan saat ini, ia harus dapat belajar menemukan hal baru yang dapat meningkatkan kualitas aktifitasnya.
Hal itu benar-benar saya coba patrikan dalam diri. Bahwa saya bangga berprofesi dan berkegiatan utama sebagai istri dan ibu rumahtangga. Namun saya harus mampu meningkatkan kualitas saya dalam mengasuh anak-anak, memenej rumahtangga, berinteraksi sehat serta berpartner dengan suami dan orang-orang disekitar saya. Lewat teknologi internet saya dapat meluaskan wawasan saya, melejitkan potensi , bahkan ‘bersekolah’ online dari rumah. Perempuan pembelajar mampu mengatasi keterbatasan menjadi sebuah energi positif untuk lebih maju.Ya,seperti sang Raden Ajeng.
Inspirasi Kedua: Kemampuan Bersinergi dan Berkepedulian Sosial
                Hal lain yang saya temukan dalam sosok Raden Ajeng Kartini adalah kemampuan beliau untuk membuat sinergi dengan orang lain, dengan orang terdekat dan dengan masyarakatnya. Beliau –dengan spirit moral dan karakter pembelajarnya- mampu meyakinkan suaminya untuk mendukung cita-citanya, pun beliau mampu menjalin komunikasi efektif dan sinergis dengan sahabat Belanda beliau pasangan suami istri J.H Abendanon dan sahabat penanya yang lain,  Estelle "Stella" Zeehandelaar, untuk bertukar pikiran, saling mendukung dan mensinergikan cita-cita luhurnya. Tak heran jika dimasa itu, justru suami beliau mendukung keinginannya untuk membuka sebuah sekolah bagi kaum perempuan, sebuah dukungan berharga dan diluar kebiasaan kala itu.
                Itulah yang harus kita ejawantahkan saat ini. Kasus-kasus kekerasan, perkosaan, kasus sosial ,keluarga, anak dan semua yang terkait dengan dunia keperempuanan hanya bisa diselesaikan dengan sinergi para perempuan sendiri. Kita para perempuan Indonesia dapat menyuarakan segala persoalan dan mencari solusi dengan memanfaatkan jejaring sosial,media dan semua akses teknologi. Maka, tidak ada lagi alasan untuk bersikap acuh dan hidup dalam kepentingan diri. Sebab Kartini dan para pejuang bukan sosok yang hidup untuk dirinya sendiri.
Inspirasi Ketiga : Kemampuan Mendokumentasikan dan Menebar  Pemikiran/Ide
                Boleh jadi, Cut nya’ Dien adalah pahlawan perempuan yang lebih dahulu terjun dengan heroik di Tanah Rencong. Pun seorang Dewi Sartika lebih dahulu membuka Sekolah Istri sebagai kepeduliannya terhadap kemajuan kaum perempuan bumiputera.Namun, mengapa Kartini memiliki ide yang terus hidup, diperingati dan menyejarah??
                Jawabnya karena kartini MENULIS! Inspirasi terakhir dan menjadi terpenting dalam tulisan ini adalah bahwa Sang Raden Ajeng Kartini mampu mendokumentasikan pemikiran dan cita-citanya. Kegemaran korespondensi beliau dengan sahabat pena di Belanda, tulisan-tulisan beliau kepada Nyonya Abendanon menjadi kumpulan pemikiran yang tak lekang.
                Belajar dari semangat Kartini untuk menggunakan pena dalam memperjuangkan cita-citanya, maka saya mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk belajar ‘bersuara’ melalui tulisan. Sebab menulis akan menyalurkan ketulusan , kepedulian serta  energy positif kita. Menulis akan mengasah kemampuan kita untuk memandang persoalan dengan banyak sudut pandang, menulis mampu mempengaruhi pemikiran dan menyentuh perasaan.
Kemampuan mendokumentasikan pemikiran dan ide inilah yang kelak akan menjadikan kita perempuan yang memiliki rekam jejak dan sejarah cita-cita. Apalagi di era digital, tulisan kita di facebook, blog ataupun website menjadi sebuah sebaran pemikiran yang luarbiasa. Kesuksesan-kesuksesan kecil dan pemikiran-pemikiran –yang mungkin kita anggap sederhana- namun kita dokumentasikan melalui tulisan, kelak akan menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan jika itu membawa kebaikan maka kita akan mampu menawarkan perubahan sikap dan perilaku yang luarbiasa. Ya,ya,ya!Maka inilah salah satu cara saya mendokumentasikan ‘perkenalan’ saya dengan Sang Raden Ajeng, dengan menuliskannya untuk Anda!
Demikian tulisan ini, semoga menjadi renungan dan inspirasi dari sosok yang tentunya tak ingin dirinya hanya menjadi sebuah simbol tanpa makna. Maka, mari kita coba menanyakan pada diri, apakah benar kita pantas menjadi ‘Kartini’ Digital masa kini? Mari memulainya hari ini!
*tulisan ini saya sertakan dalam kompetisi menulis blog ‘Kartini Digital’ oleh XL dan forum Indonesia Berprestasi. Mohon koment dari teman dan sahabat.Silakan berkunjung ke rumah pemikiran kami,  di  http://penaperempuan.blogspot.com untuk tulisan-tulisan seputar dunia perempuan dan keluarga .Salam Inspiratif!
Info Kompetisi Menulis Blog dan Kompetisi lain silakan klik http://xlcsr.com/kartinidigital/lomba-menulis-blog/


Sabtu, 09 April 2011

Keluar Rumah Tanpa Resah

Pernah melakukan aktifitas diluar rumah dengan ‘resah?’ Jujur saya akui, Saya pernah. Saya keluar rumah sementara saya merasa bersalah karena meninggalkan anak-anak saya tanpa persiapan yang prima. Masak seadanya, perasan ASI saya tidak optimal, sementara saya sudah dijemput untuk mengisi acara. Apalagi saat pertamakali saya mengontrak rumah dan saya masih gagap mengatur waktu. Saya memang tidak bekerja diluar rumah yang menghabiskan waktu lebih dari enam jam diluar rumah. Sayapun bukan pegawai sebuah perusahaan manapun yang pulang disore hari. Saya hanya keluar rumah untuk urusan aktifitas social dan dakwah. Tapi, tetap saja, keluar rumah tanpa persiapan akan menjadikan sebagian hati kita terasa terburu dan ketenangan kita terganggu.
                Oya, mari kita sepakati terlebih dahulu bahwa dalam tulisan ini, persoalan tujuan kita keluar rumah dan keridhoan suami  atas keperluan kita diluar rumah sudah selesai. Artinya, kita memang keluar rumah insya Allah tidak untuk bermaksiyat dan suamipun ridho. Persoalannya , kita adalah panglima untuk ‘pasukan’ kita (anak-anak dan pembantu) serta  manajer untuk rumahtangga kita. Maka, mari kita pastikan bahwa rumah kita dan pasukan kita dalam keadaan aman terkendali selama kita diluar rumah. Saya pun masih selalu belajar, namun setelah tujuh tahun menikah dan sedikit demi sedikit belajar bersama suami, pembantu dan anak-anak kami, saya menemukan beberapa pola dalam mengasuh anak-anak dan memenej rumah, termasuk agar aktifitas diluar rumah kita tidak mengabaikan hak-hak anak-anak dan tidak menerbitkan kemrungsung. Bismillah, mari kita mulai!
1.Menyampaikan Tujuan Kita dengan Tepat
                Anak-anak harus mengerti aktifitas kita dan manfaatnya. Saya biasa mengajak anak-anak berdiskusi dan melibatkan mereka dengan perbincangan-perbincangan yang memancing mereka berpendapat. Saya ibu rumahtangga yang tidak bekerja diluar rumah, maka saya benar-benar tekankan pada anak-anak bahwa jika uminya keluar rumah maka pasti ada keperluan yang penting. Saya sering katakan pada mereka  “umi punya banyak waktu bersama kalian dirumah.jadi kalau umi pas pergi, insya Allah itu benar-benar ada perlu.Umi mungkin belanja, berbagi ilmu dengan oranglain, pengajian dan keperluan lain.Jadi kalian bisa ya bersabar dirumah?” Saya pun mulai mengenalkan fadhilah atau keutamaan membagi ilmu pada oranglain, mendatangi majelis ilmu dan apapun aktifitas saya.Mungkin terkesan serius tapi tak apa, bagi saya anak-anak akan memahami kita hanya jika mereka dimengertikan
                Hidari pemahaman yang salah pada anak. Misalnya, untuk orangtua yang bekerja, saya sering mendengar kalimat yang akan menjadi boomerang begini : “Ayah/Ibu bekerja untuk cari uang, nanti kan kalu udah dapat uang bisa untuk beli mainan buat adek/kakak, Ya? “ atau “Ibu pergi dulu ya, gak usah nangis nanti kalau ibu pulang kan ibu bawakan oleh-oleh?”   Apa akibat dari dua pernyataan itu? Anak akan salah memahami bahwa bekerja hanya untuk cari uang dan beli mainan.Anak juga akan merasa ‘harus’ dibawakan oleh-oleh saat ayah/ibunya keluar rumah. Bagaimana?Mari mulai belajar menyampaikan pemahaman yang benar pada anak-anak ya bund, ayah!
2. Mempersiapkan Kebutuhan Anak dan Suami
                Kita-perempuan- diberi anugrah alam/fitrah  (Ratna mengawangi menyebutnya female modesty) untuk melayani, mengayomi dan mampu melakukan banyak aktifitas sebagai istri dan ibu. Naluri bertanggungjawab inilah yang harus kita penuhi. Persiapkan kebutuhan anak-anak dan suami sebelum kita keluar rumah. Mungkin ini akan sangat terasa bagi kaum perempuan yang berkarier diluar rumah.
                Saat saya mempunyai agenda keluar rumah diatas satu jam, maka saya harus menyiapkannya seprima mungkin. Dan itu saya awalai dengan bangun lebih pagi! Jika saya keluar rumah pukul 8, misalnya maka saya akan berusaha bangun pukul 3.30 dini hari.Dan sejak jam itu sampai dengan asisten rumahtangga saya datang,  Saya mencuci, memeras ASI (terutama saat masih member ASI ekslusif)menyicil menyapu rumah, menyiapkan seragam atau baju kerja anak-anak dan suami, menyiapkan bahan sarapan atau memasak satu sayur untuk seharian hehe, mencatat apa yang harus dilakukan asisten, memandikan anak-anak yang akan sekolah. Nanti saat asisten saya datang, dia tinggal memandikan anak bungsu saya dan saya bersiap.Atau jika hari libur,maka saya melonggarkan waktu mandi pagi. Persiapan tersebut melegakan saya.Setidaknya saya tidak membiarkan anak-anak kelaparan saat pulang sekolah.
3. Mendelegasikan Pekerjaan dengan Tepat Selama di Luar Rumah
                Saya memang sangat membutuhkan asisten rumahtangga terutama untuk menjaga anak-anak saya selama saya melakukan aktifitas luar rumah. Maka sejak awal saya tidak membebankan semua pekerjaan rumah pada pembantu (khadimat). Saat haru s pergi, Saya memberikan tugas yang focus pada khadimat saya, yaitu menjaga anak-anak. Apalagi jika semua anak terpaksa saya tinggal dan kita hanya punya satu asisten. Itulah sebabnya saya mengerjakan beberapa pekerjaan rumahtangga, sebelum keluar rumah, agar selama saya pergi khadimat saya focus menjaga anak-anak
                Jika kita bekerja seharian, lebih baik kita memberikan catatan pada khadimat, apa yang harus dikerjakannya dan yang harus dilakukannya dengan anak-anak. Jika asisten sudah terbiasa, maka kita hanya tinggal mengeceknya. Jangan membebani khadimat dengan hal-hal yang belum mampu ia kerjakan atau membebani terlalu banyak pekerjaan.
4. Tetap Menjalin komunikasi
                Komunikasi hangat dengan anak-anak  menjadi hal yang paling melegakan. Jalinlah komunikasi dengan anak-anak dan khadimat selama bepergian. Tidak usah terlalu sering tapi cukup mengingatkan jam-jam makan, mandi, sholat atau sekedar say hello. Komunikasi juga akan memberikan kesan dekat dan akan membuat anak-anak merasa diperhatikan.
                Bagus juga saat kita pergi, sesekali kita memberi aktifitas yang prestatif dan kita tanyakan saat menelepon.Apakah itu berbentuk pekerjaan ringan (membantu mbak, membereskan mainan, menjaga adek), ataukah sikap positif (tidak bertengkar, makan dengan tertib,sholat,) atau sekedar mewarnai, membuat kreatifitas dari play dough yang akan mereka tunjukkan pada kita. Berikan reward kejutan.Tak harus mahal.Bahkan saya kadang hanya member reward pelukan atau memasang karya mereka dikamar kami, itu membanggakan.
5.Tetap Bersemangat dan Ceria saat Kembali Pulang
                Bekerja atau beraktifitas beberapa lama diluar rumah pasti melelahkan.Tapi, mari kita tetap antusias dan bersemangat saat masuk rumah. Segera peluk anak-anak,  segeralah bergabung dengan mereka, tanggapi dulu cerita mereka yang pasti sangat bertubi-tubi hehe. Jangan memasang wajah lelah, apalagi mengatakan “ah, nanti saja ya, ibu capek nih” . Kitalah yang harus membayar kerinduan itu. Jika anak-anak telah kita sambut dan kita perhatikan, minta waktu pada mereka untuk sholat, mandi,atau beristiraat sejenak. “ Oke, gimana kalau Umi mandi, ganti baju, sholat, nah nanti kita lanjutkan ya main-mainnya?” Lalu, kembalilah merengkuh mereka. Ya,ya,ya…mereka sudah sangat bersabar menanti kita bukan?
Begitulah. Semoga apapun aktifitas sarat manfaat diluar sana yang kita jalani, memberikeberkahan.Semoga kita masih tetap dapat memberikan hak anak-anak kita.Agar kita menjadi orangtua yang senantiasa dirindukan. Salam inspiratif!