Jumat, 13 Mei 2011

Kita Kader Dakwah, BUKAN ‘Alien’ yang Berdakwah

Tulisan ini sudah lama ingin saya posting. Terinspirasi dengan pertemuan kami dengan istri menkominfo Tifatul Sembiring, ibu Sri Rahayu disela-sela kunjungan kerja beliau untuk studi banding tentang Kota Layak Anak. 
Menarik,karena beliau yang kini mendapatkan amanah sebagai sekretaris komisi D DPRD Kota Depok dan istri seorang mentri yang berasal dari Luar Jawa itu tidak kehilangan akar budayanya: Jawa. Beberapa kali dialeg bahasa Jawa halus beliau sampaikan bahkan kami yang 'masih' jaga gawang di kota berjuluk 'spirit of Java' ini pun kalah. Bahkan seorang teman di Jakarta mengatakan, citra Solo itu masih terus beliau bawa dalam menjamu tamu dengan menghidangkan nasi liwet, misalnya.Bagi saya ini menjadi salah satu kelebihan tentang bagaimana beliau mampu berasimilasi budaya di tengah hirukpikuk ibukota dan dengan suami yang berkarakter berbeda.

Kembali pada substansi. Pertemuan tak lebih dari dua jam itu lumayan membuat saya belajar tentang banyak hal. Tentu saja, tema dakwah dan segala perniknya masih selalu menjadi wawasan yang harus kami gali dari banyak pelaku dakwah, apalagi diranah birokrasi yang begitu banyak menawarkan tantangan. Sebuah kata kunci yang digunakan oleh beliau, ibu Rahayu adalah bahwa inti dari dakwah adalah delivering message.Tentu saja message disini adalah kebaikan dan kebenaran Islam dari Allah  yang dibawa Rasulullah. Nah, dari diskusi kami di sore itu, saya mengambil inspirasi-inspirasi bahwa dakwah ini harus tersampaikan dengan cara-cara yang tepat, profesional dan luwes. Ibu Rahayu sempat menyampaikan jangan sampai kita menjadi 'mutan' .Mutan sendiri kurang lebih sesuatu yang terjadi karena proses yang tidak sempurna, akhirnya tumbuh sebagai sesuatu yang cenderung keluar dari sifat asli dan biasanya aneh serta justru kebanyakan merugikan.

Terinspirasi dengan istilah bu Yayuk tersebut, Saya sendiri akhirnya lebih memilih istilah 'alien' dalam tulisan ini agar lebih gampang dipahami. Dakwah Ilallah dan segala programnya mengharapkan kita menjadi para 'aktivisnya'. Memperjuangkan, menyampaikan pesannya, dan menjadikannya ruh serta orientasi aktivitas kita. Pun begitu, tak jarang kita yang 'mengaku-aku' sebagi aktivis dakwah ini justru bertindang seperti alien yang asing dan tidak dapat nyambung dengan masyarakat. Nah, beberapa poin dibawah ini mungkin dapat menginspirasi agar kita dapat menilik kedalam diri, sudahkah kita berlaku selayaknya aktivis dakwah yang seharusnya menjadikan masyarakat sebagai tempat ia menyemai kebaikan dan bertumbuh bersama mereka.

1. Kader dakwah Mampu Membersamai masyarakatnya
     Jika kita mengaku sebagai kader dakwah, mari kita hitung berapa banyak kita berinteraksi dengan masyarakat kita dalam sehari, sepekan,s ebulan, setahun? Berapa banyak event-event kemasyarakatan yang kita sediakan waktu untuk mendatanginya? PKK, Posyandu, Kerjabakti Kampung, Sholat berjama’ah dimasjid, Mendatangi upacara pemakaman, pernikahan atau sekedar menyapu halaman dan menyapa orang yang lewat?

Kader dakwah yang hanya puas dengan kebaikan-kebaikan dan kesibukan dirinya,dunianya dan hanya sibuk beraktivitas dalam  'komunitas' jama'ahnya hanya akan menjadikan dirinya bak makhluk asing ditengah masyarakatnya. Gampangnya orang akan sedikit sinis saat ia tiba-tiba menyeru –meskipun- itu kebaikan. Siape lu? Kemana aja lu? Mungkin begitu tanggapan masyarakat. Percayalah bahwa masyarakat kita sebenarnya baik dan tulus, hanya kadang kita terlalu ‘tinggi’ melihat pada diri sendiri dan enggan sekedar srawung (ketemu)  dan mengenal mereka
2. Kader Dakwah mampu Bersikap Profesional, Sabar dan Telaten
            Setelah poin pertama, maka karakter sabar dan telaten adalah kuncinya. Berdakwah seperti juga marketing. Lihat Rasulullah, kesabaran beliau dan ketelatenan beliau menjadikan dakwah Islam ini bersifat mssiv, kokoh dan bertahan dalam jangka ratusan abad. Kader dakwah mampu menjadikan proses tarbiyah (pembinaan) dalam masyarakat sebagai sunnatullah yang harus dijalani dengan sabar, professional, ngemong dan telaten agar kemanfaatan dan loyalitas masyarakat dan objek dakwah pada Islam dan dakwah itu muncul dan bertumbuh sebagai kesadaran, bukan reaksi sesaat yang tiba-tiba akan lenyap.
            Kader dakwah harus siap menempa dirinya seperti benih yang tersemai, kadang terinjak, dikritik, dicaci dan kadang harus menghadapi banyak akibat yang tidak sesuai dengan usahanya. Tak mengapa. Masyarakat akan melihat siapa yang mapu bekerja dengan sabar. Maka jika kita ingat, kader dakwah harus memiliki sikap seperti ‘orangtua’ yang ngemong dan telaten pada anak-anaknya.
3. Kader Dakwah Mampu Bersikap Luwes dan Tawadhuk
            Mancolo putro mancolo putri Hehehe itu istilah yang diperkenalkan bu Sri Rahayu yang sempat menjadikan suasana segar . karena,ternyata banyak diantara kami yang tidak tau istilah njawani itu. Artinya kurang lebih sikap yang luwes. Kalau arti ‘sakleknya’ sih kadang jadi laki kadang jadi perempuan hehe
            Begitulah, kader dakwah harus dapat bersikap luwes dalam hal ‘cara’ menyampaikan pesan. Soal substansi pesan itu sendiri kita sudah sepakati bahwa pesan terbaik adalah seruan-seruan kebaikan. Bersikap luwes menjadikan kita mampu melihat lebih luas dan taktis. Kader dakwah di era kini tidak lagi dapat bersikap arogan, sinis, kaku, terlalu banyak menyalahkan pihak lain dan apalagi bersikap kasar dan merusak. Dakwah yang luwes ini dicontohkan Rasulullah misalnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat yang berbeda-beda tingkat pemahaman keislamannya. Rasulullah juga bersikap luwes saat perjanjian Hudaibiyah dengan –bahkan- menanggalkan identitas kerasulan beliau .Tapi lihat…akibat keluwesan beliau, dalam jangka waktu tak lama  maka Mekkah kembali dalam genggaman Islam. Sikap simpatik dan tawadhuk beliau mampu menerbitkan rasa kagum dan cinta. Bagaimana dengan kita?
4. Kader Dakwah harus Mau Belajar Mendengar
            Saya sangat tersentuh dengan cerita bu Yayuk bagaimana beliau dengn identitas PKS nya, diakalangan ‘ibu-ibu istri elit politik senior’ masih sering dianggap ‘Partai Kemarin Sore’ (yang ini istilah saya, maaaaf hehe) artinya dianggap anak kecil. “Maka kita yang harus belajar dari mereka yang lebih dahulu ada di ranah politik ini” begitu kata beliau
            Kader dakwah harus mampu menyampaikan pesan kebaikan itu baik saat berbicara maupun diam. Mari kita terkadang hanya hadir untuk mendengar oranglain mengisi kajian. Mari kita budayakan ngangsu kawruh (menimba ilmu). Beri kesempatan orang lain –apalagi yang lebih sepuh- untuk berbicara, mari mendengar. Termasuk, biarkan orang kadang mengkritik, kesal, dan menumpahkan kekesalan itu pada kita. Saya pun benar-benar masih belajar untuk mendengar dan ‘tahan’ terhadap kritikan. Sebab tak semua harus kita jawab dengan…berbicara.
5. Kader Dakwah Mampu Menguatkan Cita diri Positifnya dan…BEKERJA!
            Kita hidup dalam khusnudhon orang lain. Jika kita ngaku-ngaku kader dakwah, mari kita belajar mengenali citra diri positif kita. Namun, kita pun harus tulus, dan membina diri kita sehingga karakter kita tidak dibuat-buat.
            “Tak masalah ketika seorang kader dakwah harus ‘berganti-ganti kostum. Tapi seorang Vida tetap Vida, dengan baju apapun yang ia gunakan.” Hmm..begitu jawab bu Sri Rahayu saat saya menanyakan tentang bagiamana kita bersikap luwes tanpa mengaburkan karakter kita.
Benar juga. Ibarat seseorang yang mampu beradaptasi , ia tidak akan salah kostum. Ia adalah dirinya sendiri baik ketika memakai pakaian tidur, baju pesta, baju kerja dan bahkan memakai daster.hehe.Kader dakwah mampu meneguhkan karakter positif dirinya dengan membina dirinya terus menerus dalam kebaikan. Sehingga orang/ masyarakat  tak lagi memusingkan ia sedang memakai ‘baju’ apa. Sebab, apapun baju yang sedang dikenakannya ia tetap BEKERJA!
Demikian sekelumit tulisan untuk menasehati diri saya sendiri. Semoga tulisan ini menginspirasi. Wallahu a’lam bisahawwab. Salam Inspiratif!




















1 komentar: