Senin, 16 Februari 2009

Surat Terbuka Kepada Perempuan Indonesia

Erotisme, jangan anggap remeh…..
Sebenarnya ini bukan saja masalah Inul dan goyangannya. Banyak hal di
masyarakat kita yang luput dari perhatian kita. Masyarakat semakin
tidak peka terhadap apa-apa yang mungkin sebenarnya mereka akui
kebenarannya.
Inul dan siapapun yang saat ini semakin getol mengusung goyangan-
goyangan erotis hanyalah korban sekaligus ladang yang menguntungkan
banyak pihak. "Kasihan" Inul.Sebab ia hanyalah fenomena pemicu dari
semua hal menjijikkan-maaf- dan erotis yang selama ini ditolerir atas
nama seni.
Saya hanya ingin mengajak semua pihak berpikir ke belakang. Masih
ingat saat Inul pertama kali "ngebor" ? Banyak pihak yang
merasa "risih" baik terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Saat itu
banyak komentar, Inul nggak punya modal suaralah, Inul secara etika
panggung membelakangi penontonlah, goyangan Inul tidak harmonislah,
Bla!Bla! bla! Bahkan si Annisa Bahar yang `pemberani" itu juga ikut-
ikutan berceloteh sinis tentang Inul. Sekarang ketika "lahan"nya
terusik oleh ancaman kebenaran moral ? Begitulah….
Tapi.. dasar mentalitas masyarakat kita dan banyak pihak
yang `kreatif' memanfaatkan peluang, justru lambat laun hal-hal
seperti itu difasilitasi, di blow-up. Dan sekarang? Ketika Inul
telah "menebar" berkah goyang ngebornya, semua pihak, media massa,
hiburan, menjadikannya ratu. Maaf saya tidak sedang berbicara tentang
persainganlah, terserah para pihak yang "berseteru" kalau soal itu.
Muncullah goyangan-goyangan tandingan dan semua hal yang dahulu masih
malu-malu sekarang menjadi tontonan publik yang menggiurkan.
Masyarakat kita digiring untuk menjadikan seks dan erotisme bertajuk
seni sebagai kebutuhan.
Ini bukan masalah baru. Dahulu, saat Sophia Latjuba berpose syuur
juga begitu. Sampai-sampai Rendra mengatakan. Pose-pose syur bukanlah
seni tapi "air seni"! maaf. Sebab, kadang kita sudah terlalu bebal
dengan berbagai himbauan moral kecuali harus dengan bahasa yang
tajam. Bukankah ini juga "kebebasan ekspresi"????
Semua media hiburan ,infotainment berbondong-bondong berusaha
mengulik simpati dari perjalan karier Inul yang diluar panggung
sangat rendah diri, polos, dsb. Sekali lagi, kasian Inul. Ia hanyalah
bagian dari lingkaran kepentingan perut yang menunya (baca:
kebutuhannya) berbeda-beda..Semua orang yang kehilangan rasa malu
dapat melakukan apapun , dan semua itu kembali pada orientasi
perilaku. Dan sebelum Inul, banyak…. Apalagi sesudahnya nanti
Namun, ingat! Ada yang lebih harus kita perhatikan. Saya prihatin
dengan perilaku-perilaku `menjijikkan" yang semakin "berkibar"
ditelevis-televisi. Bukan saja masalah goyangan-goyangan tapi juga
film-film impor, iklan-iklan yang tidak mendidik (bahkan iklan
pembesar payudara pun dapat dilihat jelas oleh ank-anak) , film-film
remaja picisan yang bukannya mendidik tapi malah banyak mengajarkan
perilaku-perilaku amoral yang "dimaklumi" sebagai gaya anak muda
gaul.
Makanya, sebenarnya pihak-pihak yang mendukung dan malu-malu
mendukung hal-hal erotis (ingat dari standar moral, kesopanan,
bukan "seni") yang sebenarnya sudah jelas ukurannya itu sebaiknya
mulai mengaca diri. Lagi-lagi dalam kasus Inul, misalnya, bukankah
sebenarnya semua ini tak lepas dari lingkaran kepentingan yang telah
diraup banyak pihak dari seseorang yang kebetulan menjadi ikon dan
simbol dari ekspresi bebas masyarakat kita, yang sekaligus menuai
kritik? Bukankah dukungan-dukungan itu juga dapat berarti agar hal-
hal yang melebihi Inul, atau perilaku-perilaku erotis lain baik yang
tersembunyi, telah ada, dan akan ada tidak terberangus ? Sebab bila
begitu, berapa banyak kerugiannya?mari kita berpikir.



Media massa
Mari jeli melihat, menimbang, bukankah media kita akhir-akhir ini
sering men-delegitimate-kan moral ? Mari kita analisis secara
objektif
Contoh, kenapa Arswendo, Gus Dur, Guruh, Para "insan" seni yang
terang-terang mengatakan , pencekalan Inul melanggar HAM-lah, itu
ekspresi senilah, saat ini begitu "legitimate"? sementara yang kontra
terhadap goyangan Inul yang boleh jadi merupakan "silent majority"
tidak kemudain menjadi legitimate juga ? Ukuran moral tidak menjadi
sesuatu yang menjadi ruh dalam pembahasan media dan semua
infotainment.
Kebanyakan media mengusung Isu Inul secara kurang pas. Padahal, apa
yang diramu media telah kadung dianggap kebenaran oleh massa. Jadi
bagaimana? Mana nilai-nilai moral yang seharusnya diusung media
sebagai salah satu sarana perbaikan masyarakat ?

Kepada Insan "Seni","Dunia Hiburan", Selebritis…….
Dari awal, surat terbuka ini tidak hendak bicara tentang satu masalah
saja. Sebab, bila kita memakai ukuran kebenaran yang nyata, standar
ketimuran, dan moraliatas yang diusung semua agama dan keyakinan,
kita akan melihat betapa hal-hal yang dikonsumsi masyarakat lewat
kotak ajaib (televisi) , majalah-majalah porno, VCD dan sebagainya
telah masuk dalam suatu kondisi yang memprihatinkan.
Wahai para pekerja `seni, selebritis, dan semua yang terlibat dalam
dunia hiburan. Apakah kalian hanya terdinding antara tampilan kalian
di televisi dengan dimasyarakat ? Saya sangat paham bahwa itu adalah
pencaharian kalian. Dari sana kalian hidup, tapi, tidak dapatkah
kalian mengusung sesuatu yang lebih bermutu ? Apa yang kalian
tontonkan di televisi telah terlanjur menjadi tuntunan bagi
masyarakat. Mungkin kalian akan berkomentar, itu kan penilaian
masyarakat. Itu kan hak mereka. dsb
Ingatlah bahwa masyarakat memang tidak bisa lepas dari kekaguman
mereka akan kalian para publik figur, artis dan semacamnya. Maka,
tampillah yang mendidik, jangan seronok. Lihatlah seorang Siti
Nurhaliza, dia tetap menjadi seorang yang dihargai karena kualitas
pribadinya. Apakah dia jatuh hanya karena tidak mau
berpenampilan "terbuka"? Apakah dia tidak populer hanya karena dia
bertahan untuk tidak "berciuman" pipi dengan laki-laki,misalnya ?
Tidak bukan ? Mengapa ? karena dia bangga dengan budayanya, dia
bangga dengan apa yang dia yakini sebagai kebenaran. Tentu saja,
kebenaran yang bukan bernilai "relatif". Dan tentu saja saya hanyalah
sura kecil yang mungkin singgah di indra dengar kalian, berkelebat
dan hilang.
Bukankah kita dapat membuat hiburan yang lebih menentramkan? Bukan
film-film yangmengajarkan para muda bergaul tanpa batas dengan
alasan "funky". Bukan hal-hal yang memicu masyarakat kita untuk
mudah "bermimpi" dan melenakan mereka dari realita. Ini bukan basa-
basi ini riil.
Kami, masyarakat awam adalah objek dari perilaku kalian, objek dari
mata pencaharian kalian. Tabloid-tabloid yang anda hasilkan, VCD-VCD
porno yang kalian produksi, film-film dan tayangan-tayangan komersil
yang kalian suguhkan adalah sesuatu yang langsung dipraktekkan oleh
masyarakat dan itu riil! Entahlah mungkin akan banyak jawaban dan
pembelaan yang dapat Anda sampaikan. Tapi ingat, anda bukan hidup
dalam dunia "sinetron" anda tidak hidup di sekotak televisi dan
lokasi syuting atau pemotretan. Mungkin kalian dapat masa bodoh
setelah melakukan pekerjaan kalian, tapi masyarakat sejak itu telah
mencoba meniru-niru dan "bermimpi". Ya, mungkin saya terkesan sangat
menganggap bodoh masyarakat. Tapi itulah kenyataannya. .Masyarakat
kita adalah masyarakat yang mudah sekali meniru segala macam hal baru
dan trend. Tidakkah kalian pernah berpikir dan merenung tentang itu ?

Kepada para Perempuan dan "TOKOH Pejuang, Pemerhati Perempuan"
Saya sedang berpikir apa masih ada perempuan di negeri ini. Saya tak
habis pikir mengapa para tokoh perempuan di negeri ini "bisu"
terhadap persoalan moralitas.
Yang lebih menyedihkan ,banyak ibu-ibu rumah tangga dan tokoh
perempuan semacam Ratna Sarumpaet, dan banyak tokoh (atau yang
dinobatkan media sebagai tokoh perempuan) justru selalu berputar-
putar masalah seni,kebebasan perempuan, dan semua yang mereka koarkan
diseminar-seminar and talk show-talk show.
Wahai para perempuan, dan para "pejuang hak perempuan".Yang selalu
memperjuangkan hak anak, hak perempuan yang diperkosa, perempuan yang
dilecehkan,di seminar-seminar, di TV-TV, apa benar kalian menghayati
apa yang kalian perjuangkan? Sementara untuk hal-hal yang menjadi
pemicu dari semua itu kalian abaikan! Jangan hanya bergabung dengan
organisasi-organisasi perempuan mentereng .Jangan bangga menjadi
pembicara-pembicara dan talk show-talk show jika kalian tidak pernah
berempati terhadap merosotnya moralitas perempuan.
Jangan-jangan kalian para tokoh perempuan dan para publik figur
perempuan hanyalah perempuan-perempuan yang berorientasi pada
kebebasan yang tak jelas, dengan dalih perjuangan perempuan.Perempuan
yang mana ? Sementara untuk hal-hal yang jelas-jelas melecehkan
perempuan kalian bisu. Kalian selalu membahas akibat bukan mencari
sebab!

Wahai Para perempuan! Dan Tokoh perempuan!
Lihat ! Apakah kalian tidak pernah merasa risih melihat di TV-TV dan
mungkin anak-anak gadis kalian berpakaian hampir telanjang ? Kita,
anda dan saya adalah perempuan, tidakkah kita risih melihat tubuh
saudara-saudara kita yang sama dengan kita dieksploitasi dalam bahasa-
bahasa iklan, acara-acara yang dengan nyata diiklankan dengan kata-
kata "untuk pria dewasa" yang berisi tampilan-tampilan para model?
Pekalah, sensitiflah! Bayangkan tubuh kita yang sama dengan mereka
berlenggak-lenggok seronok dan dinikmati oleh suami orang lain,
tetangga, anak-anak lelaki dan semua orang.Tidakkah kalian merasa
risih ?
Kita yang selalu berkoar tentang pelecehan seksual dsb, bagaiman jika
tiba-tiba kita ,atau saudara perempuan kita, anak gadis kita menjadi
korbannya? Korban dari laki-laki yang terpancing nafsu hinanya ? Atau
bagaimana bila anak-anak lelaki kita, saudara lelaki kita, suami
kita, merusak masa depan perempuan,anak-anak gadis lain karena kita
tidak peka terhadap tontonan-tontonan amoral dirumah kita ? Tidakkah
kita lebih banyak bicara tentang hak perempuan supaya kita
ternobatkan menjadi tokohnya? Sementara kita tidak pernah peduli
dengan upaya-upaya untuk menjaga harga diri kaum kita sendiri.
Bukankah itu egois ? omong kosong ?
Tontonan-tontonan dan semua yang merusak di dunia hiburan kita yang
bersifat seks-oriented, materialis, konsumtif itu yang akan
mempengaruhi anak-anak kita kelak. Bagaimana mungkin bangsa ini
bermoral jika para perempuan dan para ibu telah lebih senang
menikmati sajian-sajian TV, VCD, dan media-media yang memancing
mereka berpolah tingkah seperti ABG ? Bagaimana mungkin ibu-ibu yang
seperti itu dapat memberi teladan moral bagi anak-anaknya ? Sementara
setelah anak-anak mereka "rusak" mereka uring-uringan ? Tolong,
jangan jawab saya dengan : "ah.. itu sih tergantung orangnya" .
Tidak. Itu tergantung kita semua!
Sudah saatnya ada perempuan-perempuan dan laki-laki yang menyerukan
tentang perbaikan moral bangsa ini. Mengingatkan setiap jiwa bahwa
bangsa ini tengah menjadi "sasaran empuk" pembodohan modern,
imperialisme modern, perang pemikiran yang menelusup halus dalam
bentuk hiburan dan propaganda-propaganda tontonan yang melenakan.
Terlalu berlebihan ? Mungkin akan dirasa berlebihan sebab kita dan
masyarakat kita telah terbiasa mengabaikan hal-hal fundamental
seperti moral, ideologi dan semacamnya.
Demikianlah surat terbuka ini saya tulis dan saya kirimkan ke
berbagai media sebagai sebuah usaha minimal yang dapat saya
lakukan.Saya telah siap untuk menerima segala konsekwensi yang timbul
dari surat terbuka ini. Sebab, saya hanyalah seorang perempuan muda
yang mencoba mengkomunikasikan kegelisahan saya.
Mungkin saya tidak bisa sehebat kalian para publik figur dan para
selebritis yang selalu bisa dan terbiasa mengatakan apapun
dan "mengekspresikan diri" kalian di telvisi-televisi. Namun, saya
hanyalah satu diantara –mungkin- sekian banyak perempuan muda yang
gelisah terhadap masa depan moral anak-anak kami kelak. Saya hanyalah
seorang perempuan yang sedang mencoba merenungi akar dari semua hal
yang menjadikan kaum saya (perempuan) semakin menyedihkan.
Saya hanyalah seorang perempuan yang meyakini bahwa kebenaran yang
bersumber pada moralitas dan kesopanan adalah kebenaran mutlak yang
bersumber pada Sang Pemilik kebenaran sejati. Ukuran moralitas,
kesopanan adalah absolut dan diyakini oleh agama serta keyakinan
manapun. Keyakinan itulah yang akan melahirkan keberanian, keteguhan
dan juga totalitas peran kita sebagai perempuan.
Sedangkan seni, kesetaraan, kebebasan yang tidak jelas, HAM, dan hal-
hal materi dan fisik yang digunakan banyak pihak akhir-akhir ini
sebagai standarisasi perilaku dan permakluman terhadap hal-hal yang
kurang pas adalah hasil analisis, buatan dan pembelaan manusia atas
kepentingannya. Dan, tentu saja hal-hal tersebut bersifat sangat
relatif bukan? Maka, dapatkah yang reltif "mengalahkan" yang absolut?
Akhirnya,
Jika diantara pembaca surat terbuka ini tersentuh, tergugah untuk
menjadi lebih baik. Sungguh, itu hanya karena kekuasaan Sang Pemilik
dan Penguasa hati. Bukan karena materi dari surat ini sendiri. Dialah
pemberi hidayah dan cinta. Namun jika surat ini membuat banyak pihak
tersakiti, menimbulkan kebencian dan prasangka… Sungguh, mungkin itu
adalah bagian dari kelemahan saya dalam menyampaikan sesuatu. Atau
mungkin karena ada ketidaktulusan dari hati saya yang meskipun tidak
saya lahirkan tapi Dzat Yang Jiwa saya ada di Genggaman-Nya
mengetahuinya.. Dan bila memang demikian saya mohon maaf pada Anda
semua dan mohon ampun pada-Nya. Wallahu a'lam bishawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar