Sebenarnya, saya enggan memakai kata "feminis". Tapi bagaimana lagi, kata itu kadung menjadi sebutan bagi perempuan yang "gelisah" terhadap hak perempuan dan memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masalah-masalah kaum perempuan.
Perbincangan mengenai masalah perempuan yang terus bergulir hingga kini, tidak pernah lepas dari semua aspek kehidupan. Semua hal selalu nampak "bias gender" ketika kita telah menyentuh ranah pembelaan hak terhadap perempuan. Memang, kita tidak memungkiri bahwa masih banyak para perempuan yang terlilit oleh ketidakpekaan lingkungan sosial mereka (termasuk didalamnya perempuan yang lain dan laki-laki) terhadap keharmonisan dan kesadaran akan tanggungjawab bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih humanis.
Moralitas perempuan: Bilakah engkau diperjuangkan?
Terlepas permakluman dan pemahaman, sepakat-tidak sepakatnya penulis terhadap isu-isu kesetaraan yang diangkat kepermukaan oleh para pemerhati perempuan, sepertinya perlu ada banyak hal yang harus terungkap dibalik sisi lain kehidupan perempuan di masyarakat kita (Indonesia) saat ini.
Sebuah paradigma yang mengajak perempuan dan para pejuangnya (baca:feminis) mencari akar dari segala permasalahan perempuan yang sering terabaikan di tengah deru perjuangan kesetaraan dan keadilan gender.
Perjuangan hak-hak perempuan selalu bermula pada akibat dari sebuah perbuatan yang memojokkan perempuan sebagai posisi korban (perempuan dilecehkan, dirampas haknya dan sebagainya).
Namun ada yang mengganjal pemikiran penulis akhir-akhir ini, bahwa perjuangan para pemerhati perempuan justru cenderung menjadikan kelemahan atau anggapan ketidakberdayaan terhadap perempuan semakin menganga dan tereksploitir. Akibatnya, justru paradigma perjuangan perempuan tidak berkembang dan cenderung kasuistis, akibat lain dari hal tersebut adalah kebekuan perjuangan perempuan seperti yang kita lihat hanya bersifat temporal, monumental dan berorientasi pada hal-hal yang nampak secara fisik dan materi. Dengan standar kebebasan dan keberhasilan kebebasan yang materialis pula.
Ada yang dilupakan dari para pejuang hak-hak perempuan. Yaitu, makna kesejatian dari perempuan itu sendiri. Makna kepantasan, ketinggian moral dan budaya. Mengapa hal tersebut terjadi? Jawabannya jelas: karena mereka hanya menuntut hak dan menjadikan pemikiran-pemikiran bebas sebebas-bebasnya sebagai acuan berpikir. Alhasil, ada ketimpangan budaya dari hingar bingarnya perjuangan perempuan.
Ada kegelisahan tersembunyi yang tidak pernah terungkap dalam diskusi-diskusi tentang kesetaraan gender. Ada kelemahan yang tidak terungkap dan mungkin "enggan" diakui dan terabaikan oleh para pejuang perempuan kebanyakan.
Kegelisahan tersembunyi itulah, persoalan moral dan segala hal yang berkenaan dengannya, termasuk perilaku dan gaya hidup. Degradasi perempuan di masyarakat kita hampir menjadi sesuatu yang tidak layak jual di forum-forum perempuan. Suara-suara keprihatinan akan degradasi moralitas perempuan seolah tercibir oleh kaum perempuan sendiri sehingga banyak diantara mereka menganggapnya sebagai isu komunitas dan tidak trend.
Persoalan pelecehan dan pemerkosaan selalu ditanggapi setelah terjadi, bukan bagaimana mengupayakan semua kebiasaan, polah tingkah, dan tatanan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang lebih beradab, tertata dan penuh kesopanan. Protes-protes atau kritik terhadap hal-hal yang kurang sopan justru dicecar dengan alasan-alasan kebebasan.
Persoalan moral yang terjadi di dalam sebagian besar perempuan di Indonesia telah begitu kronis sehingga melahirkan mentalitas easy going dan permissive terhadap semua hal yang hingar bingar, pergaulan bebas diantara remaja misalnya dan semua alasan modernitas yang disodorkan sebagai alasan pemaaf dan pembenar perilaku yang jauh dari norma adat dan budaya serta agama.
Feminis Moral: dicari!
Jika kita mau lebih jujur mengamati, saat ini banyak perempuan dan LSM perempuan yang mencoba untuk menunjukkan minatnya kepada permasalahan perempuan. Mereka begitu getol memperjuangkan bagaimana seorang perempuan dapat menunjukkan eksistensi mereka di ranah publik. Dan semua telah hampir terpenuhi. Kesetaraan yang mereka perjuangkan atas nama emansipasi sudah tercapai (meskipun bagi sebagian perempuan belum).
Namun, sayang, ketika persoalan moralitas dan segala hal yang memerlukan kejujuran dan kepekaan rasa keperempuanan untuk menilainya disodorkan pada mereka, mereka seolah bisu dan tak terdengar gaungan perjuangan dan kepeduliannya.
Contoh kecil, betapa sulitnya bangsa ini memberikan ketegasan tentang pornografi sementara begitu banyak aktivis perempuan di negeri ini. Tak heran, sebab memang kebanyakan dari mereka mungkin tidak sempat memikirkan hal-hal "sepele" ini dibanding isu-isu publik, pro-kontra poligami, melejitkan karier, quota politik, isu-isu bisnis, talk show-talk show kepribadian dan kecantikan, yang tentunya lebih menggiurkan bagi para funding para perempuan "modern" di negeri ini.
Feminis moral mau tidak mau harus lahir dari negeri "berbudaya" dan "bermoral" bernama Indonesia ini. Negeri yang sebagian perempuannya telah lebih bule daripada para bule. Negeri yang para perempuannya menjadi pangsa pasar terbesar serbuan penjajahan gaya baru melalui trend, mode, gaya hidup dan pola pikir. Negeri yang para perempuan (ibu-ibu dan remaja putri) begitu fasih bicara tentang tempat-tempat shopping dan cafe-cafe ternyaman. Negeri yang para prianya semakin hari semakin buas karena tersuguhi tontonan dan gadis-gadis siap saji. Kasar memang tapi inilah wajah perempuan dan masyarakat kita hari ini. Dimana menegur mereka tidak lagi bisa dengan bahasa-bahasa halus sebab mereka telah kehilangan apa itu rasa malu. Jadi untuk apa basa basi?
Feminis moral itu harus muncul dengan kemunculan yang benar-benar lahir dari sebuah pemahaman dan keprihatinan akan kondisi kaummnya. Bukan "tertokohkan" hanya karena dia sekali dua tampil sebagai pembicara di sebuah seminar lalu tiba-tiba "dinobatkan" sebagai aktivis perempuan.
Dia harus lahir dari sebuah pemahaman yang integral tentang permasalahan perempuan dan semua hal yang melingkupinya. Dia tertokohkan karena melakukan perubahan, bukan untuk mendongkrak popularitasnya. Meskipun sebenarnya untuk menjadi seorang feminis moral dia justru harus siap untuk tidak terkenal dan bahkan harus bekerja keras.
Feminis moral itu hendaknya memiliki kecintaan terhadap budaya positif bangsa ini, meskipun ia bukanlah orang yang gagap terhadap pola pikir progresif. Ialah feminis yang tidak hanya menyuarakan hak namun juga sadar bahwa kewajiban adalah sejoli dari hak itu sendiri.
Feminis moral itu hendaknya konsisten terhadap apa yang diyakininya, sebab yang akan dirubahnya adalah pola pikir, kultur, maka ia semestinya mampu menjadikan dirinya lebih bermoral dari orang lain. Standar berpikir Sang feminis moral ini adalah keteguhan prinsip dan kepekaan yang dalam terhadap kepantasan. Ia harus siap berpredikat "kuno" diantara para aktivis perempuan yang mendapik diri mereka "modern".
Ia dapat bersikap toleran terhadap perbedaan pemahaman namun tidak untuk meluruhkan prinsipnya. Ia berpola pikir progresif namun tertuntun oleh pemahaman religius yang matang.
Entahlah, kapan Sang Feminis Moral itu muncul di negeri ini dan membawa semangat perubahan dan perbaikan moral perempuan dan laki-laki. Semestinya ia lahir atau muncul secepatnya, agar kelak anak-anak di negeri ini masih sempat dilahirkan dan diasuh oleh ibu-ibu yang bermoral ,cerdas dan berbudi-pekerti luhur. Agar kedepan negeri ini masih sempat di sebut negeri yang adiluhung, bersahaja.
Jika mungkin diantara anda ada yang memenuhi kriteria itu atau sedang menempa diri seperti itu, atau jika anda seorang pemerhati perempuan yang tengah gelisah dan bingung menentukan aliran perjuangan anda, mungkin tulisan ini bisa menjadi referensi perenungan yang akan menghantarkan anda menjadi para pejuang moral yang tulus dan mampu meretas ruh (semangat) baru perbaikan moral negeri bernama INDONESIA ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar