Keputusan kami mengontrak rumah dikawasan pinggir kota Solo membuat orang tuaku dan sebagian kerabat ‘mengeryit’. Daerah itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuaku dan kerabatku. Hanya berbeda kelurahan saja. Menurut sejarah kota ini adalah tempat yang dikenal dengan black area-nya Solo. Meskipun banyak hal telah berubah, namun pengaruh image terhadap sesuatu ternyata begitu hebat.
Tapi entah kenapa aku menyukainya. Hehe meskipun untuk kemana mana aku –sst... yang sampai tulisan ini dibuat tidak bisa naek motor- harus mencapai mulut gang dan bertemu dengan pasar diatas tanggul tempat banyak becak mangkal.
Aku tak ingin bercerita tentang istanaku itu.Aku akan menceritakannya dibagian lain buku ini. Hal yang paling dikhawatirkan oleh orangtuaku sebagai seorang nenek dan kakek tentu saja pengaruh lingkuangan kami terhadap perilaku para cucu mereka. Dua putri balitaku dikhawatirkan terpengaruh dengan anak-anak kampung .
Hmm… kubiarkan anak-anakku bebas bermain bersama anak tetangga. Biar saja. Memang kadang aku terkaget-kaget dengan nada bicara dan kosakata yang hmm…asing dan kadang ada juga kata-kata kasar yang tersangkut dalam memori mereka. Kebetulan anak-anak tetanggaku tidak ada yang benar-benar sebaya dengan sulungku, Maura. Mereka lebih tua usianya.
Bahkan untuk mengkampanyekan memakai sandal saat bermain pun aku harus sedikit bekerja keras dengan terus menerus menegur anak-anak tetanggaku, menggiring mereka mencuci kaki-kaki kecil mereka di kamar mandi rumahku. Dengan perlahan tapi pasti mereka tau : sandal itu berguna untuk kaki mereka. Agar mereka tak terkena kuman dan tentu saja tidak membawa najis dan kotoran jalanan kerumah.
Aku benar-benar merasakan betapa yang benar-benar penting adalah memberikan mereka imunitas untuk bergaul ditengah masyarakat. Bukan mensterilkan mereka dari proses mengenal banyak anak, sifat dan perilaku. Kuakui, kadang cemas menyelinap saat anakku kadang tidak mematuhi aturan kami.
Imunitas pada anak-anak dapat berupa penanaman nilai, proses dan bukan hasil. Sulit memang, sangat sulit. Bahkan akupun masih belum bisa sepenuhnya bersabar menghadapi anak-anak yang bertumbuh.
Imunitas berupa kejujuran akan menjadikan anak-anak kita sportif. Berani mengakui ksalahan kecil maupun besar nantinya. Kehangatan menerima mereka juga akan menjadikan mereka tetap kembali pada kita.
Mungkin, kesalahan kecil yang sering kita –para orangtua- lakukan adalah mencari kambing hitam dengan menyalahkan teman-teman bermain anak-anak kita. Dalam bukunya Bersikap Terhadap Anak (2000), Fauzil dengan sangat adil mengatakan bahwa mencari kambing hitam dengan menyalahkan teman anak-anak kita pada saat mereka ‘nakal’ atau melanggar aturan bukanlah sesuatu yang efektif.
Sebab akar masalah dan kenakalan tak akan selesai. Sebaliknya, anak-anak kita terbiasa ‘menyelahkan’ dan mensterilkan dirinya dari kesalahan atau kenakalan yang sebenarnya iapun turut serta melakukannya bersama teman-temannya.
Akibatnya? Anak-anak yang disterilkan orangtuanya dari proses bergaul (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) justru akan menjadi anak yang manja, pengadu, dijauhi teman-temannya karena akhirnya kurang bisa berdaptasi dan egois.
Biar saja proses bergaul dan bermain menjadi hak anak-anak kita. Biar saja mereka memahami bahwa disekitar mereka ada anak-anak yang berbeda-beda, ada orangtua yang berbeda-beda, ada permusuhan, ada perdamaian, ada persahabatan, ada memaafkan setelah pertengkaran, ada berbagi. Yang terpenting, saat mereka pulang kembali dalam rengkuhan kita, suntikkan lagi vaksinasi moral, kehangatan, kesiapan mendengarkan cerita-cerita mereka. Insya Allah…kemanapun mereka bermain, semoga kita para ibunya tetap menjadi tempat kembali yang memberinya bekal lagi bahwa hidup tidak pernah datar dan merekapun siap bertemu, bergaul dengan siapapun tanpa menggadaikan prinsip. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar