Suatu hari, tepat diusia ke 28 hari kelahiran anak keduaku aku mulai keluar rumah. Hm..sepertinya tak betah juga terlalau lama berdiam diri. Kami mengunjungi sebuah pameran buku dimana suamiku dan seorang penulis senior yang kuanggap sebagai guru, sahabat, kakak, ada disana sebagai pengisi salah satu acaranya siang itu. Sulungku yang belum genap dua tahun, putri keduaku yang baru 20 hari, mengingatkan peran baruku sebagai ibu dua putri.
Sementara menunggu acara dimulai… aku melihat sahabat seniorku yang akrab kusapa mbak IJ itu bak seorang komandan. Putri-putri cantiknya terus mengintilnya dengan celoteh khas anak-anak. Ya..ya… aku seriing melihatnya membawa serta ketiga putrinya di bebrapa acara. Dan siang itu aku berkomentar tentang anak-anaknya yang mulai tumbuh menjadi gadis-gadis kecil yang menyenangkan.
"Kalau lihat kaya' gini,rasanya udah lupa ya mbak .. capek-capek yang dulu?"kataku
"O…iya.Aku menahan 9tahun untuk bisa beraktivitas lagi.Ada masanya Vid…Aku dirumah sampai anak-anakku bisa kutinggal beraktivitas lagi " begitu kira-kira kata mbak IJ waktu itu.
Hhh…yya.ya.. aku jadi teringat saat aku masih lajang.Dahulu aku selalu berapi-api untuk 'mengoreksi' setiap forum dimana saat itu yang kulihatt hanya 'para ustadz' yang hadir menjadi pembicara. Dimana para ummahat? Ustadzah-ustadzah atau para aktivis yang dahulu meratui kampus….?
Ya..ya…ya.. Kini aku merasakan juga.Tentulah seorang istri tidak dapat disamakan dengan seorang lajang, dan seorang ibu disamakan dengan seorang lajang atau yang belum memiliki putra. Disetiap fase hidup kita ada sebuah kewajiban. Ah..tapi itu bukan lantas menjadi apologi.Setiap orang harus berdaya, apalagi jika jalan dakwah itu menjadi pikihan hidupnya. Inilah sebenarnya kunci dari segala gundah yang sering memantik gelisahku,tentang betapa aku merasa 'tidak melakukan apa-apa' setelah memiliki anak.
Seorang ummahat pernah tanpa sengaja 'mencerahkanku' saat kami berdua mengisi sebuah acara, saat itu seorang akhwat bertanya "Kenapa ya bu setelah menikah banyak ummahat yang tidak lagi muncul" Aaah…mirip dengan pertanyaanku beberapa tahun yang lalu. Dan jawaban ummahat itu…."Semua ada masanya…Hanya satu yang tidak boleh berubah:visi dakwah kita.Ya, dakwah itu seperti energi. Dia tidak pernah hilang, dia kekal hanya bentuknya saja yang berubah…"
Hmm… analogi yang sangat tepat. Seseorang yang mengazamkan dirinya bervisi hidup untuk dakwah maka ia akan tetap dapat memanfaatkan peluang dakwah dalam setiap fase hidupnya, tentu dengan proporsi yang berbeda.
Meskipun sebenarnya ada juga para ummahat dan mantan-mantan aktivis muslimah yang benar-benar 'turun mesin' pasca menikah dan berputra. Mereka cenderung merasa 'cukup' hanya mendatangi halaqah pekanan, atau mungkin juga karena para suami mereka tidak begitu memberi ruang pasca menikah. Padahal..dahulu para suami mereka memilih mereka karena mereka seorang aktivis muslimah. Hayoo ngaku dooong!
Akupun akhirnya merasakan perbedaan itu. Sikapku mengasuh si sulung yang kala itu aku masih 'terlalu idealis' untuk membuktikan bahwa meskipun telah menikah aku harus tetap eksis ternyata memiliki dampak berbeda dengan polaku mengasuh anak keduaku dimana aku sudah bisa merasa seleh untuk menanti saat yang tepat untuk beraktivitas lagi. Bahkan entah ada hubungannya atau tidak, kondisi itu turut mempengaruhi karakter kedua putri ku itu.
Begitulah. Mungkin memang ada masanya kita beraktualisasi diri sebagai seorang muslimah, perempuan atau istri dan ibu. Kesabaran meniti semua fase akan menjadikan kita dapat menikmatinya dan optimal. Yang penting, kita tulus dan tidak pernah merasa cukup untuk belajar apalagi jika kita adalah para perempuan muslim yang 'dibesarkan' dalam atmosfer kecintaan terhadap dakwah. Mungkin perlu juga berkomunikasi dengan pasangan tentang pembaruan-pembaruan cita dan citra diri kita.Agar kita tidak termasuk ummahat 'turun mesin' yang bukan tidak dapat memberdayakan diri namun memang tidak mau menyemangati diri untuk itu. Wallahu a'lam
Faidza faraghta fanshob wa ila Rabbika farghob…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar