Minggu, 20 Desember 2009

Berdamai dengan si Sulung

Hari ini melelahkan. Dan aku yakin kemarin, besok, dan akan seterusnya begini. Anak-anak kita akan selalu mempunyai potensi konflik dengan kita. Hm…tentu saja sesuai dengan fase bertumbuh dan berkembang mereka. Aku baru saja memutuskan berdamai dengan anakku setelah bebrapa jam yang lalu ia benar-benar keras kepala.

Bagaimana tidak? Sepulang sekolah ia terus menerus melakukan hal-hal yang memantik emosi. Dari satu permintaan –pemaksaan- satu ke yang lain. Dan sungguh seperti yang kutulis kemarin : aku belum cukup sabar atau belum cukup bisa menahan diri .

Akhirnya aku memilih diam sejenak. Kupandangi sulungku yang merajuk karena permintaannya yang kesekian kali siang itu tidak kuturuti. Kali ini ia memintaku membelikan pensil warna yang baru karena sepulang sekolah tadi ia mendapatkan hadiah buku mewarnai yang ternyata sama dengan yang pernah ia punya. Alhasil ia merasa tidak ada sesuatu yang ‘baru’. Ditambah lagi seperti biasa, crayonnya yang lama hilang dan entah kemana. Segala argumen kuhiburkan, kuminta ia memakai sisa crayonnya yang lama. Dan tidak berhasil. Mulailah ia mengamuk,berteriak, berguling dilantai (khas anak-anak yang marah), mengatakan “Umi jahat” dan seterusnya.
Dan menurut teori yang kubaca, semakin tinggi volume suara kita saat anak marah ternyata semakin membuatnya bertahan dengan kemarahannya. Maka, akupun DIAM, Tanpa ekspresi.

“Nak....sini nak, umi tau kamu kecewa. .” akhirnya itu kalimat pertama yang kuucapkan setalah menghela nafas. Sulungku masih merajuk. Kurengkuh tubuhnya meski dia masih enggan
“Aku dapat hadiah buku yang sama, Mi. Aku sudah pernah punya. Lagipula Aku juga gak punya pensil warna…” anakku panjang lebar meluapkan kekesalannya. Masih dengan seragam sekolahnya. Aku mendengarkan dengan menatap matanya. Berusaha setulus mungkin!
“ Ya sudah… sekarang Maura ganti baju dulu, pipis,minum air putih, dan nanti kita coba cari lagi crayonmu ya? Kalau memang sudah saatnya beli pensil warna baru, Insya Allah Umi belikan. Tapi kita cari dulu crayonmu yang lama.”… beringsut sulungku mengangkat tangannya keatas, bersiap melepas seragamnya dan sterusnya. Pertanda bagus.

Aku benar-benar membantunya mencari crayonnya. Memang tidak mungkin ditemukan semua karena memang crayon itu sudah ‘habis’ ia pakai atau sebagiannya lagi tercecer kesana kemari. Aku pun sadar aku akan membelikan pensi warna baru di toko sebelah rumah sebab memang sebenarnya ia telah lama tidak lagi memilikinya. Tapi belum sekarang waktunya.

Kubantu putri sulungku mencari crayon yang masih tersisa. Sembari mencari, kunetralkan perasaannya.
“Sudah Nak? Sudah nggak marah kan? Bersyukur ya Nak, hadiah Bunda Dina kan sudah bagus. Malahan Maura bisa mewarnai lebih baik karena sudah pernah.” Putriku mengangguk pelan. Bagus. Marahnya reda
“ Aku sudah mau terima hadiah itu, Mi. Tapi aku ndak punya pensil warna lagi. Cuma ini, kan ndak banyak warnanya” Baiklah. Aku sudah berdamai dengannya.
Kemarahan yang luar biasa bisa kuredam dengan sedikit berempati dengan perasaannya. Perasaan kecewa, capek, frustasi. Aku tidak menjamin bisa setiap hari begitu. Kadang lelahku beradu dengan lelahnya, batas kesabaranku, beradu dengan ketidakpuasannya. Dan sebenarnya itulah yang kadang memicu kita ‘berperang’ dengan anak-anak kita.

Siang ini setidaknya aku ingin mengajarkan ia berdamai dengan perasaannya dahulu. Memang kadang kita terburu menghentikan rasa marahnya dengan salah : segera memberi apa yang ia minta. Ya, memang ia berhenti, namun dia sedang belajar ‘menjajah’ orang lain untuk menuruti segala permintaan dengan MARAH.

Siang itu setelah ia ‘berdamai dengan kemarahannya’, setelah ia mau mewarnai buku barunya dengan crayon seadanya, barulah kuberikan reward (penghargaan) padanya sekotak pensil warna yang memang tidak mahal...he..he... dan kurendahkan tubuhku lalu kubisikkan padanya : “ Ini untuk anak Umi yang bersyukur dengan pemberian, mau bersabar, dan mau mencari crayonnya...he..he..” Siang itu, aku berdamai dengan Si sulung. Meskipun akan selalu ada lagi ‘peperangan’ dan potensi konflik yang harus kita hadapi sebagai seorang ibu, tho?? Kita hanya harus bersiap untuk berdamai dengan benar dan mendidik.
Ishbir ya, Ummi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar