Mengamati perkembangan anak-anak kami, menghayati mereka bertumbuh, menjadikan rasa syukur kami selalu mengalir. Tiga orang anak menjadi sebuah amanah bagi kami untuk mendidik mereka. Ya, karena menjadi seorang ibu, tidak berhenti pada melahirkan semata namun meniatkan mendidik mereka seoptimal mungkin. Perkenankan saya memperkenalkan mereka ya! Si sulung Kuni Maura Ahna, Desember tahun ini usianya 5 taun, si tengah Salma Haniyya Oktober kemarin genap 3 tahun dan putra ketiga kami Farwah Awwab Hafidz yang baru berusia 9 bulan. Puji syukur mereka lahir dan tumbuh dalam keadaan sehat.
Bagi saya sendiri, mengasuh anak berarti mempersiapkan mereka agar dapat menghadapi kehidupan dengan penuh semangat, ketegaran dan ketrampilan. Karenanya selain memupuk kecerdasan spiritual dan moral, ketrampilan berbahasa menjadi salah satu perhatian kami. Sejak dalam kandungan saya sesering mungkin mengajak mereka bercerita, membaca Al Quran atau mengelusnya. Saat lahir sampai dengan 5 bulan pertama menjadi masa-masa pendekatan yang berarti. Pelukan, segera merespon tangisan dan melatih indra dengar dan penglihatan mereka adalah penting. Sejak usia 4bulan dan memasuki usia 7bulan (pengenalan makanan pertama, karena semuanya ASI sampai 6 bulan) putra putri kami sudah kami kenalkan dengan bahasa-bahasa yang jelas. Kata ‘makan’ , ‘minum’, ‘umi/mama’, ‘abah/abi’ kami kenalkan dengan jelas tanpa cedal. Kami tidak mau mengajarkan kata-kata cedal, termasuk kami katakan pada pengasuh dan keluarga dekat, tetangga agar mengatakan kata-kata yang benar dan jelas saat berkomunikasi dengan anak-anak kami. Hasilnya? Dua putri tertua kami sudah dapat mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan jelas.
Memupuk kecerdasan berbahasa diusia diatas satu tahun saya upayakan agar mereka akrab dengan banyak kata-kata, mengenalkan mengenalkan buku, membacakan cerita, bercakap-cakap –meskipun mereka baru merespon dengan tatapan mata dan suara bayi- harus dilakukan. Bayi kami Farwah, bahkan kini sudah familiar saat abinya membaca Qur’an di pagi hari dan merespon dengan antusias. Manfaat memupuk kecerdasan bahasa sejak dini benar-benar menakjubkan. Dua putri kami –Maura dan Salma- kini sudah dapat saling membacakan cerita, bercakap-cakap, mengenali dan mengungkapkan perasaan (sedih, gembira, kecewa, marah, terharu), bahkan ‘memprotes’ dan mengkritik saat saya melakukan sesuatu yang salah atau lupa. Maura –menurut bunda di sekolahnya- mampu menceritakan dengan runtut kejadian dari pulang sekolah hingga berangkat sekolah keesokan harinya. Kadang cerita gurunya disekolah membuat saya terharu.Termasuk saat Maura menegur teman-temannya untuk mendengarkan bunda/guru yang sedang bercerita. Ternyata sikap kami untuk menghargainya saat bercerita dan memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan ‘apa pendapatmu, mengapa, apa yang kamu rasakan’ sangat berguna melatih keruntutan berpikirnya. Kemampuan bahasa verbal ini akan terus saya asah dan akan saya lanjutkan kelak dengan mengajarkannya menulis (agar mengikuti jejak orangtuanya yang penulis hehe)
Pun demikian, anak-anak kami bukanlah anak ‘steril’. Anak-anak kamipun seperti anak-anak lain yang berinteraksi dengan teman, pembantu, tetangga, bahkan keluarga besar yang tidak semua memberikan pengaruh baik dari aspek bahasa. Dimasa-masa meniru seperti saat ini, pengaruh bahas burauk, sedikit nylene dan bahkan bahsa yang kasar pun pernah mereka ucapkan. Namun reaksi wajar, bijaksana dan pelurusan yang penuh kasihsayang serta terus menerus akan membuat anak lambat laun mengikuti nasehat kita. Ya...jalan masih begitu panjang untuk mengasuh anak-anak kita. Yang perlu kita lakukan sebagai ibu adalah terus belajar dan mensyukuri setiap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Semoga catatan kecil ini menginspirasi ayah dan bunda.
sepakat banget mba... rata2 anak2 balita bilang mau minum jadi mimi.. makan jadi maamm..
BalasHapussip.sip mba..
very nice blog..
syukron