Rabu, 06 Oktober 2010

Suatu Siang Bersama Prof. Wakitri : Belajar Tentang Spirit Mengabdi & Mendidik Generasi

 Siang itu aku bersiap meninggalkan rumah untuk bersilaturahim ke rumah seorang murid senior kakekku di MTA, bu Ummi Salamah namanya. Dengan sangat berniat, aku berangkat bersama aunty Maya (hehehe bulikku) kami memang klik banget karena telah merencanakannya beberapa waktu lalu. Perjalanan ke daerah Nusukan pun kami jalani dengan bersepeda motor. Sampailah kami di sebuah rumah di sekitar pasar meuble Nusukan . Rumah joglo yang kini jarang ada. Halaman yang luas dan masih ada tanah yang tak berbatu kerikil. Khas rumah-rumah kampung dimasa kecil saya. Pohon srikaya, mangga dan suasana adem membuat saya menikmati sembari menunggu ’eyang putri’. Suasana ’jadul’ tambah lengkap dengan alunan musik tetangga yang menyetel radio ’ABC’ Solo dengan lagu-lagu dangdut dan pop yang populer tahun 87 an.

            Sebenarnya, tulisan ini akan saya jadikan dua. Sebab hari itu saya bertemau dua ’eyang putri’ yang luar biasa hari itu. Asyik mengobrol dengan bu Ummi Salamah, tanpa saya duga saya bertemu dengan ’eyang putri’ satu lagi. Dengan usia yang sepuh, baju gamis dan jilbab lebar  bersahaja, perempuan tersebut ikut menemani kami mengobrol. Ternyata, hari itu saya benar-benar beruntung . Perempuan lanjut usia yang masih bernas itu bernama Profesor Wakitri, nama yang sering disebut-sebut Almarhumah ibu saya untuk contoh seorang perempuan berpendirian kukuh dan idealis, namun baru hari itu saya bertemu. Subhanallah, ternyata beliau adalah kakak bu Ummi Salamah. Saya baru tahu hari itu.

Beliau seorang guru besar UNS, seorang yang sepanjang kami mengobrol menunjukkan stamina pemikiran yang luar biasa. Jadilah siang itu saya seumpama peserta tutorial gratis dari seorang guru besar. Dari mulai mengobrol konsep pendidikan, PAUD, menyarankan saya kuliah S2 Psikologi atau PAUD sampai menawarkan saya berdiskusi lebih lanjut di lain hari. Beberapa penggal ‘kuliah’ dan obrolan penuh keakraban itu saya tuliskan ulang. Tentunya dengan bahasa yang lebih dinamis.Semoga menginspirasi. Terutama untuk semua orang yang peduli dengan dunia pendidikan, untuk para Guru. Bagi saya pribadi, bertemu dengan beliau adalah kesempatan memompa spirit mengabdi dan semangat belajar

Profesor (PW)  : “ Saya dari TK Bakti, Jeng.... ada halal bihalal. Ini Mbak Mayah ya, ”
Tante Mayah    : Iya Prof lama tidak berjumpa, dan ini cucu Ustadz yang mbarep, Robi’ah. Mau ngangsu Kawruh dan silaturahim biar belajar dari generasi sepuh.
Sayapun menjabat tangan beliau yang telah sepuh namun saya masih merasakan energinya
Saya                 : ”Wah, masih ada waktu prof untuk mengurusi TK. Masih semangat ya Prof, Subhanallah”
Profesor           : “ Wah kalau waktu, saya bisa saja  bilang tidak punya waktu.Tapi mereka butuh saya, dan saya masih punya ilmu. Jadi untuk apa saya tolak? Saya masih memberikan pengarahan untuk TK Surya Mentari, TK Bakti, saya masih memberi kuliah di Muhammadiyah Magelang. Kalau di TK saya bilang ke mereka, saya tidak usah dibayar tapi terserah saya mau datang kapan. Cukup fair kan Jeng? Toh saya ini tinggal mengisi KMS (Kartu Menuju Surga) dan tinggal mencari SMS (Sarana Menuju Surga) “ dan kamipun tertawa.

1. Pelajaran Tentang Semangat, Tekad dan Kemandirian

Saya     : "Ke Magelang (Univ Muhammadiyah Magelang) di jemput  Prof? " tanya saya
PW      : " Tadinya dijemput sampai kesini. Tapi suatu hari saya tanya sopirnya, dia ternyata harus bangun pukul 3 dini hari  kalau pas tugas jemput saya, ambil mobil di kampusnya, dan berangkat ke solo.Saya tanya subuhan dimana? Jawabnya di Meguwo. Wah kejam sekali saya kalau membiarkan orang kecil harus demikian susah. Akhirnya saya minta dia untuk menjemput saya di Ringroad saja, dekat agen travel melati."
Saya     : "Lalu profesor ke Jogja dengan travel?"
Prof      : "Saya naik bis Sumber Kencono, atau Bis Surabaya –Jogja kan banyak, jeng"
 HA?????!!!!! Saya membayangkan tubuh renta itu menaiki bus. Saya termangu. Pelajaran rendah hati yang manis.
Saya     : ”Subhanallah....Salut prof. Maaf ...usia profesor berapa, terlihat masih semangat lho prof, wah saya mesti dibagi resepnya” Dasar saya, biar kata didepan guru besar, asal dia udah sepuh dan suasana akrab sudah tercipta, saya mulai suka ’usil’ hihihi.Dan ternyata selera humor Profesor boleh juga

Prof      : ” Usia saya rokok Djarum, Jeng ( 76, pembaca.hehe) . Tapi saya selalu berkata pada diri saya bahwa saya bisa, bisa dan bisa. Allah pasti akan menolong saya. Sampai usia ini saya sehat. Baru- baru saja saya dibilang dokter ada sedikit masalah di kesehatan dan itupun hanya kalau saya banyak pikiran. Saya tidak mau ngoyo.”
            Obrolan itu membuat saya tersirap. Bagaimana masa tua saya kelak ya? Mampukah saya menjadi lansia yang terus bersemangat dan mandiri

2. Pelajaran Tentang Idealisme, Cita-cita dan Pengabdian

Bercerita tentang pengabdiannya sebagai guru, Profesor wakitri sangat terlihat menikmati, menghayati.
“ Orang tidak akan menyangka jika orangtua saya hanya guru biasa. Kami bertujuh toh bisa mengenyam pendidikan. Saya sendiri nyambi mengajar saat masih SMA. Hasil dari mengajar saya belikan batik halus, saya simpan , lama-kelamaan jadi satu almari.Dan Jeng tau? Untuk melanjutkan kuliah doktor saya, batik halus satu lemari dan satu kalung sebagai biayanya. Jeng, saya selalu optimis saya bisa sekolah sampai tinggi. Saya pernah berdoa disuatu malam, memohon kapankah orangtua saya tidak usah lagi membiayai sekolah saya. “
 Saya hanya terus merekam semua detil ucapan beliau dengab semampu memori saya. Seandainya saya tau bahwa rencana wawancara saya dengan bu Ummi tentang awal berdiri MTA akan seberuntung ini dengan bonus bertemu Profesor Wakitri, tentulah saya membawa handrecord dan kawan-kwannya untuk membantu saya merekam semuanya.

 Saya                : “ Apa kesan profesor tentang seorang Guru? Mengapa Profesor masih terus semangat memajukan diri dan orang lain?”

Profesor           : ”Mbak, guru itu model. Seorang guru harus dapat menjadi model kebikan. Mengapa? Karena mereka akan bertemu dengan anak-anak didiknya. Jeng tau, di TK kami guru haruslah menyenangkan, tidak boleh terlalu gemuk, atau merengut.Hehehe. Biarpun gemuk tapi dia harus menarik. Mengapa? Karena anak-anak yang senang melihat gurunya dia akan meneladani. ...Guru harus dapat mengasah dan mengasuh.

Saya                 : ”Profesor tampak mencintai pekerjaan sebagai pendidik, guru , dosen ya Prof..” beliau menatap saya dan tersenyum

Profesor           : ”Jeng, saya dulu saat pembentukan UNS, saya satu-satunya dosen yang dulu menentang digabungkannya universitas2 swasta menjadi UNS. Mungkin saya sombong, tapi saya merasa tidak level saat itu, merasa lulusan Gajahmada.(beliau tertawa) Saya pun enggan mengajar di Universitas swasta karena gaji saya tidak dianatar.Memangnya siapa saya? Disuruh ambil gaji ke kantor. Saya tidak mau.  Ini guyonan Jeng. Tapi itulah. Mengajar bukan semata-mata mencari Gaji. Jeng harus ingat. Kalau Anda bekerja pertama kali, carilah JENENG dulu, jangan cari JENANG.Artinya, anda harus bersungguh-sungguh agar orang melihat hasil kerja anda secara memuaskan. Uang, gaji (jenang istilahnya) akan mengikuti jika kita profesional dan tekun.
Sungguh, saya hanya bisa mengangguk, mencatat dalam memori saya, mengingat semua nasehat dan ’tutorial’ siang itu. Menghayati setiap petuah yang dituturkan oleh sang Eyang Profesor”

 3. Pelajaran Tentang Pendidikan Usia Dini
            Meskipun usia beliau telah kepala tujuh, namun yang membuat saya salut adalah dedikasi beliau untuk tetap membina beberapa TK Islam di Solo. Mengisi seminar untuk guru-gurunya dan membersamai mereka. TK –TK dibawah bimbingan beliau pun terus mengalami kemajuan.

Saya                 : “Apa pendapat Profesor tentang.... mendidik. Prof, kebetulan saya punya tiga balita dan saya ingin sekali membuat buku tentang kecerdasan bahasa. Saya senang hari ini dapat bertemu dengan Anda, jadi tambah referensi” Beliau tersenyum. Sungguh, kata tanteku ini kesempatan langka dimana beliau dengan sukarela menjawab semua pertanyaan saya, menceritakan pengalaman-pengalaman beliau dari jaman dulu2 hehehe

Profesor           : “Jeng, itu tema bagus. Jeng bisa mulai dari belajar psikologi perkembangan. Anak-anak di masa emas akan meniru. Untuk apa kita mendidik ? Bukankah kita ingin mereka segera bisa melakukan hal-hal yg dilakukan orang dewasa dengan baik dan benar? Mendidik adalah menjadikan anak didik kita mengerti apa-apa yang benar, jeng. Anda tau, tetangga saya yang anak kecil, Unet namanya jadi objek penelitian saya tentang bahas. Baru 1,5 tahun tapi dia sudah dapat mengapresiasi. Mengapa? karena saya melibatkan dia dalam keseharian. Saya sering mengajaknya jalan-jalan, mengenalkan padanya tentang semua hal di jalan.” (Lalu profesor memanggil Unet, gadis kecil itu memang bermata cerdas, apresiasi dan ekspresinya bagus)
Jeng bisa melanjutkan kuliah di S2 PAUD atau lansgung Psikologi saja. Karena Anda seorang praktisi ”
Saya terinspirasi. Eyang-eyang saja semangat ngajarin anak kecil berbahasa dan berkarakter baik apalagi kita???

Saya                 : ” Kurikulum apa yang menurut Profesor harus dikembangkan dalam pendidikan usia dini?”

Profesor           : ” Basic moral. Agama. Jeng tau multiple intelegence? Di Eropa danm Barat hanya da 8 kecerdasan, tapi Indonesia satu-satunya yang menambahkan spiritual dalam kecerdasan majemuk. Tapi masyarakat kita ini malas menggali nilai-nilai spiritualitas itu. Jeng tadi di komite TK  X ya? (maaf saya tidak sebutkan namanya) saya jadi ingat TK  BM ( maaf inisial. karena menyangkut nama) TK tersebut jadi seerti TK nya si Tokoh, bukan TK oraganisasi pegayomnya. Mengapa? Karena banyak sekolah yg menuruti tokoh bukan basic spiritual dimana mereka dilahirkan. TK yang baik adalah masuk dan menanamkan nilai pada anak didik dari otak kanan dulu, dari nilai-nilai basic, akhlak. Bukan mengejar kemampuan kognisi saja”

            Percakapan dua jam itu begitu membuat saya berasa ‘cerah’. Bahasa beliau yang 'tinggi' , pengalaman beliau bergaul dengan para ningrat dan guru besar serta orang-orang berilmu membuat beliau berbahasa dengan budaya tinggi. "Kita harus berbahasa dengan orang lain sesuai dengan budaya dan lingkungan mereka. Itulah mengapa saya memanggil para Guru besar yang keturunan kraton dengan 'panjenengan ndalem', misalnya. Hmm... itulah mengapa beliau juga memanggil saya dengan  "jeng'. Ngajeni aja kedengarannya saya senang deh hehe.  Jika bukan karena anak-anak telah saya tinggal lama, mungkin saya masih betah mendengarkan ilmu dari beliau. Saya masih punya banyak poin ‘ibrah’ untuk ditulis sebenarnya.Tapi ini pun sudah sangat panjang ya?!

Saya                 : “Profesor, terimakasih banyak atas ilmunya. Saya jadi kuliah privat nih prof”
Profesor           : “ Boleh, boleh... Jeng datang saja, kita janjian dulu nanti kita mulai dari Psikologi perkembangan ya? Saya senang bisa berbagi ilmu. Jeng telpon saja kerumah. Saya tidak mau bawa HP jeng, HP bikin kemrungsung, saya tidak boleh kemrungsung biar tetap sehat dan bisa memberi manfaat” Lalu beliau pamit sholat dhuhur. Saya pun merencanakan  membuat ‘jadwal’ untuk mendengar lagi kuliah beliau dirumahnya hehe. Sebentar kemudian beliau pun keluar lagi dengan membawa modul Diklat Pendidikan Profesi Guru .Beliau meminjamkannya pada saya.

            Sungguh, tak pernah lekang semangat bagi orang-orang yang memiliki spirit pengabdian. Sebagai apapun, kita harus berangkat dari sebuah kesadaran akan peran kita. Dari kesadaran dan semangat belajar yng terus kita pelihara, kita akan menjadi orang-orang yang terus menerus menularkan semangat untuk belajar, untuk memberi dan memberi apa yang kita punya. Salam inspiratif!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar