Kamis, 25 November 2010

Sebulan Tanpa ‘Budhe’: Rupa-rupa Hikmah


            Sudah sebulan  ini kami tidak lagi memakai asisten rumahtangga (prt, khadimat, etc). Kami biasa memanggilnya ‘budhe’. Keputusan yang lumayan perlu adaptasai setelah selama satu setengah tahun ini bersama beliau. Banyak kebaikan dan loyalitas beliau yang masih selalu saya ingat. Tapi memang, ada beberapa hal prinsip yang akhirnya membuat saya sedikit terpaksa memberhentikannya. Selain karena SWOT saya atas manfaat dan mudhorotnya ternyata tidak lagi imbang, saya juga merasa hubungannya dengan anak-anak sudah tidak lagi sehat, plus keluhan sakit yang sering ia lontarkan secara ‘halus’ dan sering pula ia seolah menolak jika harus berhenti secara sukarela padahal saya sering merasa beliau tak lagi nyaman ( mungkin dalam 6 tahun pernikahan saya ganti khadimah 5 kali, jadi udah hafal tanda-tanda mereka udah gak tune in) hehe. Jadi sedikit curhat nih critanya. Well, pun begitu saya benar-benar seolah terlahir kembali.

Ya,ya,aya memang capek karena pekerjaan istri dan ibu itu 24 jam. Tapi sepenggal inspirasi dari seorang sahabat saya yang juga penulis, Jazimah al-Muhyi membuat saya merasa mampu menjalani ini. Apakah saya sesabar Fatimah Az-zahra yang meminta Rasulullah memberinya khadimah? Belum. Saya masih sesekali bersuara tinggi saat anak-anak benar-benar tak lagi bisa ditegur  dengan nada do re mi fa sol ( sebutan saya untuk ‘tahapan’ nada suara menegur anak-anak, agar tidak segera marah). Bahkan saat ayahanda saya tau saya tak lagi punya khadimat, beliau berkata : “Allah ingin kamu jadi ibu yang sebenarnya”. Subhanallah . Begitupun komentar suami saya, “Umi akan lebih mantap menyampaikan kajian-kajian parenting dan kerumahtanggan, kemuslimahan. Umi akan lihat hasil didikan umi yang sebenarnya ya saat kita tidak ada pembantu. Tapi kalau umi mau tetap cari, silakan.Abi Cuma tidak ingin umi kecapekan dan akhirnya mempengaruhi emosi. hehe” Subhanallah, saya pun akhirnya memilih tidak pake dulu kecuali mungkin sesekali memanggil pocokan ( khadimat paru waktu yang tidak tiap hari) untuk membantu membersihan rumah total atau menyetrika. Dan beberapa hikmah itu ingin saya bagi disini, boleh ya?!

Satu : Saya menjadi satu-satunya ‘model’ untuk anak-anak saya
Ya, ya.. saya merasa 1,5 tahun ini anak-anak sering mengadopsi beberapa akhlak yang kurang pas dari si ‘budhe’. Memang, saya juga bukan manusia sempurna. Namun target-target pengasuhan anak yang saya harapkan sepertinya mulai jauh. Mereka mulai sering bicara keras, ogah minta maaf (krena kata pengasuhnya: udah, gak perlu minta maaf udah dimaafin, walah. Atau: ah kalian banyak omong , saat anak-anak bercerita atau mengemukakan pendapat )Hff.. dengan menghandle sendiri anak-anak, setidaknya saya tidak lagi bisa mencari kambing hitam atas prilaku buruk anak-anak. Saya pun berusaha dan terus belajar agar saya menjadi ‘model’ dan contoh yang baik. Anak- anak juga mulai bisa kembali pada aturan main. Memang masih harus terus dilatih, tapi setidaknya saya merasa lebih hati-hati dengan ucapan dan prilaku saya, Insya Allah, amin.

Dua : Saya Belajar memberdayakan anak-anak saya

Salah satu yang saya yakini dari sebuah proses mendidik adalah menjadikan anak-anak kita mampu memberdayakan dirinya dan terampil dalam lingkungan. Tanpa asisten rumahtangga saya menjadi belajar memaknai kehadiran mereka yang luar biasa. Saat kesadaran bahwa mereka adalah-anak yang luar biasa dan hebat itu kita tularkan pada mereka, kita ungkapkan, maka kita dapati mereka menjadi anak-anak yang siap membantu dan dengan senang hati mengerjakan tugas-tugas sederhana. Pemberian tanggung jawab itu yang menjadikan mereka merasa seperti ‘orang dewasa’.

            Saya masih ingat sejenak setelah pengasuhnya berhenti dan saya katakan ” Kita sudah tidak punya pembantu, budhe istirahat. Jadi...umi akan kerjakan sendiri semua pekerjaan rumah...” Eee.si sulung tiba-tiba nyeletuk

” Umi... pembantunya Umi ya anak-anaknya ini.Aku bisa bantu umi gantiin celana adek kan kalo ngompol” saya langsung terharu! Saya tidak menyangka kalimat itu muncul dari anak yang hampir lima tahun. Spontan kami bertiga (Saya, Maura dan Salma) berpelukan. Dan kamipun mengucapkan password kesukaan kami : karena kita bersaaatuuuu. Indah. Lagi-lagi ini pun perlu pembiasaan. anak-anak hanya perlu dijaga moodnya, dipuji kelebihannya, dipercayai, maka kita akan dapatkan ketaatan mereka. Suami saya sering mengingatkan saya tentang hal itu saat saya mulai jenuh dan bahkan sudah mulai bernada tinggi.hehe

Tiga :Saya Belajar Memenej Waktu
Ini yang bener-benar membuat saya kadang terengah-engah. Hihihi. Jujur, saya bukan tipikal orang yang runtut dalam mengerjakan sesuatu. Tapi subhanallah... tanpa khadimat saya jadi punya radar bahwa saatnya ini, saatnya itu, jangan menunda, jangan menumpuk pekerjaan. Maka sayapun memanfaatkan segala teknologi untuk menimba ilmu memenej waktu. Dari tulisan-tulisan teman, dari web, dari tanya-tanya. Hasilnya lumayan meskipun kadang masih ada yang tertunda terutama setrikaan dan kadang memasak juga agak keteteran karena si Farwah udah mulai butuh pengawasan serius  kalau tidak mau dia merayap sampai kamar mandi! haha. Begitupun belanja yang sebelumnya bisa diantar suami ke pasar tiga hari sekali dengan meninggalkan anak dirumah, kini saya harus terbiasa belanja seadanya di warung terdekat dan membawa bayi saya sekalian jalan pagi .sesuatu yang sejak lama jarang saya lakukan,

 Saya pun harus rela bangun lebih pagi agar lebih bisa melakukan banyak hal. Atau tidur malam lebih awal dengan mengeloni dan membacakan cerita untuk  anak-anak kemudian bangun lagi dan mengerjakan beberapa pekerjaan (terutama beberes  dan ngepel agar esok pagi lantai rumah siap lagi jadi arena bermain ). Saya belum begitu berhasil tapi setidaknya saya mulai bisa menghargai waktu untuk lebih produktif.

 Empat :. Saya Belajar Kreatif Mengerjakan Banyak Hal

Saya sejak lama mengamati dan mensyukuri bahwa perempuan adalah makhluk hebat. Biar kata ’hanya’ diberi satu akal dan 9 perasaan hehe, tapi itu semua dapat dipergunakannya untuk melakukan banyak hal. Apalagi kalau akalnya pas ’jalan’ dan perasaannya pas sehat dan  penuh optimis, maka Perempuan dapat melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu!

Menghandle pekerjaan rumah sendiri membuat kita kreatif dan peka. Kita selalu ppunya cara untuk menyelesaikannya. Anak nangis bersamaan, saya pake cara shabat saya, Jazimah dengan meninggalkan mereka sendiri dan keluar dari arena konflik (kalo kasusnya bertengkar) lalu ngadem, ternyata mereka jadi bisa menyelesaikan maslah mereka. Saya juga jadi penuh inisiatif. Beberes ini di hari ini, bersihin dapur total dihari ini, dan semua hal kreatif ternyata dapat sedikit mengalihkan capek. Apaka saya selalu bisa? Hahaa tidak juga. Anak-anakpun jadikreatif. Ikut memotong sayur sementara saya menggoreng ikan, walaupun dengan potongan yang sebisanya, toh sangat membantu. Termasuk saya jadi kreatif membuat mainan-mainan dari barang-barang seadanya.

Lima : Saya Jadi Lebih Sering Bermain dan Berkreasi Bareng anak-anak

Saat ada pembantu, saya menetapkan pukul 9 pagi sebagai ’jam kerja  saya’ saya menulis, atau melakukan kegiatan diluar rumah. Komputer menyala dari jam 9 pagi dan kadang saya biarkan menyala karena anak-anak pulang sekolah. Bahkan saya kadang hanya bersay hello dengan bayi saya sebentar saja. Meskipun tugas memandikan dan menyuapi tetap saya. Akibatnya? Anak-anak sering bermain dengan pengasuhnya. Dan semakain lama ternyat ada efek  yang membuat hati saya tak berkenan.

Kini saya merubah jam-jam aktifitas saya. Saya turuti permintaan kak maura untuk tidak menyalakan komputer dan internet jika mereka tidak tidur atau mereka sedang sekolah. termasuk, karena Haniyya hanya sekolah 2hari sekali maka saya pun off dari komputer saat dia dirumah.

Selama sebulan ini saya banyak membari kesempatan bermain dengan anak2. Meskipun-jujur- saya pun masih sering bercuap-cuap agar mereka juga nurut aturan, membereskan mainan, dan merapikan mainan yang terdahulu sebelum pindah mainan lain.Walhasil saya jadi ‘bermain lagi’. Saya mengajari anak2 ‘engklek’, ‘ meronce’, mengajak masak, membiarkan mereka bermain semprot air, dan mengajak mereka menciptakan puisi dan mengubah lagu. Saya menemukan lagi rasa yang dulu ibu saya pernah menceritakan pada saya : “kamu akan menjadi perempuan bahagia saat melihat anak-anakmu tumbuh dalam dekapanmu. Sabarlah karena saat itu hanya sebentar”
 
Enam : Saya Sedang Belajar Untuk Ikhlas
Saya bukan orang yang bisa berbasa-basi. Siapa yang tidak merasakan capek menjadi ibu rumahtangga? saya tidak membayangkan yang masih ditambah bekerja diluar rumah. Saya bukan tipe istri dan umi yang cukup ’sabar’ dalam artian mampu menahana emosi negatif. Meskipun aku sudah dikit-dikit praktek melepaskan emosi negatif dengan lebih ’cool’ toh aku masih kadang ’iri’ mengapa suamiku dapat sejenak  terlelap sepulang kerja? huuuh. tapi sebuah ucapan suamiku yang singkat, padatm jelas dan membuatku tersipu adalah : ”umi, tidak ada yang menafikan semua pekerjaan umi. Kita sama-sama bekerja berat tiap hari.Di jalan itu punya kelelahan sendiri. Bedanya, abi tidak pernah mengeluh dengan segala tugas dan kewajiban abi sebagai suami. hehhe” Glek!

Ya,ya,ya. Saya belajar untuk memaknai keikhlasan lebih sering. Meskipun sekali lagi, saya MASIH BELAJAR. Saya hanya perlu terus menancapkan tekad bahwa Allah akan melihat segala amal kita dan kita diberi banyak

Tujuh : Saya Tidak Lagi Tertekan
Saya merasa menjadi ’new mom’ . Saat saya berinteraksi dengan khadimah saya yang terakhir ini, begitu banyak tekanan pikiran dan perasaan. Saya bebasa menentukan semua target dirumah. Seacra fisik memang capek. Tapi hati dan pikiran saya lumayan bebas. Saya bebas membuat ’acara’ dan bagaimana cara membereskan rumah. Saya tidak harus berulangkali menegur dan menahan napas (karena udah nyerah, negur berulangkali). Saya menurunkan standar saya tentang hal-hal idealis yang belum saya capai. Saya tidak lagi tertekan karena volume keras budhe yang kadang membuat anak-anak saya meniru. Pfff..intinya saya kembali menjadi ’kepala urusan rumahtangga’ di negara kedaulatan saya dan suami hihihi

Delapan : Saya Belajar Tetap Menjadi Ibu ’Aktif dan Produktif’
Saya pernah ’sesumbar’ –semoga diampuni Allah- bahwa saya tidak akan ’turun mesin’ setelah menikah dan punya anak. Artinya, meskipun tentu tidak lagi sama saat lajang, tapi saya tidak mau ketinggalan dengan aktifitas produktif. Idealisme memadukan ranah domestik dan publik membuat saya –memang- harus rela bangun lebih awal dan tidur lebih sedikit. Saya menancapkan azzam(tekad) bahwa saya harus tetap menyempatkan membaca apa saja yang bermanfaat (satu halaman buku atau satu dua artikel dalam satu hari ), saya harus komitmen menjaga stamina menulis dengan menulis catatan di facebook atau posting blog, saya harus tetap mengisi kajian atau mendatangi kajian rutin pekanan, saya harus bisa berinteraksi dengan tetangga dan masyarakat saya. Saya sedang belajar, ya, b e  l a j a r.

            Memang, saya tidak lagi bisa pergi ‘sorangan wae’ saat mengisi kajian atau acara diluar rumah. Saya harus membwa minimal anak terkecil –karena kakak2nya kadang ikut tanteku- saya harus menyiapkan bekal, ASI perah dan mampu menjaga stamina. Tapi toh saya enjoy. pernah suatu hari saya membawa si Farwah mengisi kajian di kampus UNS, semua mata melihat padaku. Mahasiswa, dosen, karyawan menatap aneh bahwa pembicara bedah bukunya bawa anaka dan tas bayi yang besar. Ternyata setelah hampir lima tahun tidak begitu (terakhir saya lakukan saat maura berumur 5bulan) saya bisa dan bayi saya pun dapat bekerjasama.

Sembilan : Saya Belajar Membuat Prioritas dan Bargaining Saat harus Mengisi Acara di Luar rumah
Ini yang harus saya terima dengan legawa. Saat tidak ada khadimat dengan tiga anak seperti sekarang saya harus mampu membuat prioritas. Suami saya pun akhirnya memabantu saya ’menegaskan’ untuk membuat prioritas dengan membuat aturan jika saya harus mengisi kajian atau acara diluar rumah yang dimulai pk.08.00 maka saya sudah harus kembali kerumah sekitar pk.11.00 dan itu berarti saya harus membuat bargaining dengan panitia yang biasanya ’molor’.

Saya mulai belajar  berkata ”saya hanya bisa sampai jam11.00 jadi tolong tepat waktu ya mbak, gimana?” atau saya mulai terbiasa berkata ”Maaf, saya tidak bisa karena hari itu saya sudah ada acara keluar rumah, saya tidak bisa membuat acara dua kali dalam satu hari” atau ”Saya tidak punya acara hari itu, tapi saya izin suami dulu,ya!” atau  ” maaf, saya harus membawa bayi saya, apakah ada panitia yang bersedia membantu saya selama acara berlangsung?”  terus terang itu semua membuat saya belajar berkata tidak atau belajar membuat keputusan yang ’save’ untuk semua. Pernah saya keluar rumah dengan perhitungan waktu yang meleset dan saya menyesalinya karena ada hak suami dan anak-anak yang terabaikan hari itu.

Selain itu, saya mulai mengenalkan pada dua putri tertua saya bagaimana sikap yang sebaiknya mereka punya saat harus ikut acara ’serius’ bersama saya. Misalnya saya akan mengkondisikan mereka tidak merusak konsentrasi oranglain, membawakan mereka bekal,baju ganti,  alat gambar, buku, kertas lipat,gunting , lem dsb  hehee. Ternyata anak-anak semakin paham juga kalao kita libatkan

Sepuluh : Saya Kembali Bertawakkal Pada Allah
Diatas semua hikmah, saya menempatkan ini di penutup meskpun inilah justru yang utama. Sekedar info, sejak menikah dan memutuskan mengontrak, saya telah berganti 5 khadimat dalam jarak 4bulan sekali. Baru yang terakhir ini ikut lama banget 1,5 tahun. Saya justru merasa selama ini mungkin ’terlena’. Saya mengambil hikmah bahwa tanpa khadimat, saya kembali bertwakkal pada Allah bahwa Allah akan menurunkan pertolongan. Ketergantungan saya pada Allah jadi semakin tebal karena benar-benar pertolongan Allah itu dekat.

Apakah pertolongan Allah itu hanya sekedar mengirimkan pembantu pengganti? Tidak selalu. pertolongan Allah itu dapat berwujud dengan anak-anak yang seharian kadang bisa nuruuuut banget, atau berujud dari terjaganya kesehatan anak-anak, kesabaran suami, kadang pertolongan itu berwujud dari kesiapan kita untuk menerima ’kehirukpikukan’ dan keberantakan dengan lapang dan sabar. Kini saya hanya sesekali memanggil orang untuk membantu menyetrika saat saya sudah benar-benar lelah, dengan niat tetap menjaga stamina hehe

Sungguh, saya pun masih  berencana kelak punya khadimat/pembantu yang bisa saya ajak mendidik anak-anak saya dan mengatur rumah. tapi tidak sekarang. Mungkin ini saatnya saya mendidik dan menempa diri saya bahwa menjadi istri dan ibu itu adalah kesempatan untuk memohon pertolongan Allah dan membuktikannya saat letih dan lelah menandak-nandak ditubuh kita dan benar-benar tidak ada yang menolong selain Dia. Semoga menginspirasi!          

6 komentar:

  1. waah, keren Dik... memang tanpa khadimat kebersamaan dalam keluarga justru bisa terbangun dengan lebih baik.

    BalasHapus
  2. betul mbak... capek sih hehehe tapi mulai biasa tidur 'cuma' 3jam, bangun malem2 nyicil kerjaan, pg2 tetep jg stamina, hfff...tapi puas.tetep pengen ada yg bantuin ,terutama kalo pas ada amanah diluar. tapi yg bisa kerjasama teknik parenting hihihi.khadimat ditraining dulu

    BalasHapus
  3. Betul sekali tu. tapi ada yang perlu saya tambahkan nih, Khadimat itu diperlukan pada kondisi2 tertentu, misalkan pada saat kondisi keuangan maisyah dari suami tak mencukupi, dan istri harus bekerja, maka perlu kan ada yang membersihkan rumah, dan menjaga anak2 di rumah. banyak diantara akhwat kita yang terpaksa melakukan itu.

    BalasHapus
  4. @sholihah:makasih komentnya. iya, jelas... makanya saya juga masih berharap dapat khadimat karena memang banyak aktifitas diluar. sebenarnya cuma itu alasannya,tapi insya Allah tetap harus selektif ya sholihah agar target2 kita untuk anak2 dan keluarga bisa tercapai.:) makasih banget ya dah berkunjung

    BalasHapus
  5. @sisi ungu: salam kenal ungu ...hehe iya asal nyadar kalo banyak pahalanya jadi semangat

    BalasHapus