Darimana karakter korupsi tercipta? Dari sebuah keterbiasaan mengambil yang sedikit. Aku ingin berbagi cerita, semoga bisa menginspirasi.
Adalah kami sekeluarga-terutama suamiku- adalah penggemar pisang goreng. Tak ayal, setiap pisng goreng yang kami temui akan kami beli. Di sebuah warung hik tak seberapa jauh dari rumah kami ada seorang penjual pisang goreng yang menjadi langganan suamiku. Pisang gorengnya enak. Disinilah persoalan bermula. Setiap kami membeli pisang goreng delapan buah, dan membayar dengan uang limaribuan maka kami tidak menerima uang kembalian sebesar Rp.200,- padahal, pernah kami sengaja membeli 9 pisang goreng, harganya Rp.5600,-. Kesimpulannya, pisang goreng tersebut sebnarnya seharga 600/buah. Ya, ya,ya.... penjual pisang itu merasa kami paling juga ’mengikhlaskan’ uang kembalian 200 rupiah itu. Sepele bukan?
Cerita kedua. Hari ketiga lebaran kemarin saya dan suami pergi ke Toko Rabbani Kudus (ketauan deh beli baju )hehe. Nah, pas udah di kasir, uang kembalian kami ternyata masih 200 rupiah dan di kasir gak ada recehan. Dan dengan rama petugas kasir berkata,
”Ibu, maaf, kami tidak ada uang kembalian 200 rupiah, kalau bapak ibu ada recehan 800 rupiah bisa kami kembalikan seribu, tapi jika tidak ada, mungkin kami mohon keikhlasan untuk uang kembalian bisa masuk kotak infak ini...” kami pun tersenyum. Sebuah pelayanan dan permintaan maaf yang manis. Bukan karena tidak mau berinfak, tapi ternyata ada uang 800 rupiah hehe dan uang kamipun kembali dengan..seribu rupiah
Cerita ketiga. Seorang kakak kelas saya di kampus dahulu bertandang kerumah pada suatu pagi. Dia sedang menjalankan tugas sebagai staff Depkumham untuk acara pembahasan RPP Kawasan ekonomi khusus disebuah hotel. Menjelang pulang, kakak tingkat saya memborong buku-buku parenting dagangan saya. Itung-itung harga total plus diskon Rp.240.000 dengan menyodorkan uang sebanyak Rp.250.000. Saat saya mau mengambilkan uang kembalian, begini katanya:
”Udahlah Vid, gak usah kamu kemabliin. Malu saya nerima uang Rp.10000,-.. hehe” Glek!Malu? saya tau dia polos dan tulus.Mungkin maksudnya buat bonus saya hihi
” Malu mbak? wah mbak, jangan merusak mental dagangku dong. hhehe. 10.000 itu besar mbak bagi banyak orang. Kau aja ngumpul-ngumpulin lho mbak. Tau nggak mbak, dari hal-hal kecil itu sebuah mental jadi rusak. (sayapun menceritakan kisah pisang goreng). Uang kembalian itu cerminan mental mbak. mentalku bisa jadi njagakne/ ngarep lho kalo ntar ada orang yang uang kembaliannya 2000, 3000, 5000. Rusaklah mentalku mbak haha” kakak tingkat saya tadi tercenung
”Wah, aku jadi tersadar banget Vid. Iya ya, aku dulu pernah juga ditegur begini sam atemanku. Kalu masalah ngasih laen lagi, tapi kalo emang kembalian ya diterima aja.”
“Betul, karena ntar sama pembeli lain akan begitu. yah itu kasu penjual pisang goreng.hhehe” termasuk suka kasih kembalian permen, gak bagus tuh batinku.
Begitulah. tiga cerita itu mungkin mewakili tema tulisan ini. Bahwa dari hal-hal kecil, sebuah karakter bermula. Rasa kasihan tidak selamanya bisa mendidik, termasuk juga ’merelakan’ kembalian tidak selamanya baik. Justru darisana akan timbul mentalitas ’njagakne’ atau mengharap-harap. Sering bukan kita menjumpai saat kita hanya butuh membeli satu barang, hanya karena si penjual tidak punya kembalian dia bilang ”sekalian aja ya mbak? ” padahal boleh jadi kita tidak membutuhkannya. Hmm.... korupsi kecil-kecilan lewat uang kembalian mestinya menjadi sebuah ’keberanian’ kita untuk memulai. Jika memang kita tidak merasa perlu merelakannya, ya terima saja kembalian meskipun hanya seratus rupiah. sebab betapa banyak orang yang untuk mencari seratus rupiah itu mereka harus berpanas-panas bekerja (bekerja lho ya, bukan mennengadahkan tangan padahal masih sehat bugar hehe). Semoga ada ibrahnya. Silakan komentar, semoga dari komentar panjenengan (anda) banyak inspirasi tercipta!
nice note;ukhti...
BalasHapusAku jg sering mengalami sebel gara2 uang kembalian gini, kalo mbaknya santun spt mbak di Rabbani sih okelah...tp rata2 yg aku temui mrk dg cuek lsg memberikan permen meskipun kembalian kita terkecil itu 500an (msh mending klo 100-200).
BalasHapusAkirnya aku siasati, kalo lg belanja di dlm 1 toko yg pny bbrp kasir, permen itu aku simpan dan aku "bayarkan" di kasir yg td ato kasir sebelahnya.
Pernah aku bayarkan kekurangan 200 dg segenggam permen, yg aku dapat dr kasir di sebelahnya, si embak dg muka bingung menolak permen2 itu. Dengan sedikit gregeten aku jelaskan asal mula permen itu, si embak ttp nolak. akire dg nada agak naik aku bilang "mbak...kalo permen ini syah sebagai gantinya uang kembalianku, kenapa uang ini jd gak sah untuk uang pembayaranku?" Mbaknya diem (mule ketakutan dia) "Oke deh kalo permen ini dr toko lain, aku yg salah. Tp liat ini permen yg sama dg yg ada di kasir sebelah, mbak tanya deh sama temannya itu." si mbak2 kasir jd tolah toleh ...guest who the winner? Ya jelas aku lah hehehe...sekali-kali kita memang perlu mempertahankan hak2 kita sbg konsumen.