Minggu, 14 Agustus 2011

Buku Baruku BUKAN SEPASANG MALAIKAT

Apa kabar pernikahan kita?
Mari kita membayangkan bagaimana rasanya berjalan ke suatu tempat yang jauh tanpa berhenti untuk beristirahat. Tanpa membawa bekal, tanpa membuat rencana-rencana di mana saja kita akan singgah selama perjalanan kita, dan tanpa membawa peta perjalanan yang sesekali dapat kita tilik sebagai panduan. Ditambah lagi, kita tak dapat berkomunikasi dengan baik dan menyenangkan dengan teman seperjalanan. Pff … pasti kita merasa begitu jenuh, lelah, dan segala perasaan tidak nyaman lainnya. Akibatnya? Boleh jadi kita akan sampai meskipun dengan sisa tenaga dan kelelahan psikis yang luar biasa. Atau kita 'mutung' atau mogok di tengah jalan, kembali pulang. Kita malas melanjutkan perjalanan, kehilangan teman seperjalanan, dan kembali pulang dengan … sepi.
Begitu pula dengan pernikahan kita. Dia adalah perjalanan panjang dalam satu fase hidup seseorang. Ia berpotensi menjadi perjalanan yang menyenangkan, ditempuh dengan penuh gairah, penuh rencana-rencana sehingga setiap tapak langkahnya menjadi pemicu menuju tujuan akhir dari pernikahan itu sendiri. Setiap halangan dalam menempuhnya tetap dilakoni dengan penuh kerelaan. Sebab, kita dan 'teman seperjalanan' kita menempuhnya dengan penuh cita-cita dan keyakinan yang sama. Namun, pernikahan dapat pula menjadi seperti gambaran perjalanan di atas yang membuahkan kebosanan, kemandegan, hilangnya gairah, menurunnya potensi diri dan –yang lebih menyedihkan- pernikahan itu terhenti, gagal, rusak sebelum sampai pada tujuan akhirnya.
Kita dan pasangan kita adalah lakon dari perjalanan panjang bernama pernikahan yang telah kita sepakati untuk dijalani. Biduk yang telah kita tumpangi bersama itu akan berlabuh di samudra kehidupan yang penuh riak ombak maupun gelombang dan badai.
Pernikahan kita sepertinya perlu kita sapa kembali. Bagaikan biduk atau kapal tadi, pernikahan kita perlu dibersihkan, dicat kembali, diperiksa mesinnya, nahkoda dan seluruh awaknya harus mengevaluasi mana yang perlu diperbaiki, mengkomunikasikan semua hal yang dapat menghambat lajunya. Dan yang paling penting, jangan sampai para awak dalam kapal itu melubangi kapal sehingga air masuk dan menenggelamkannya! Ah … sudahlah kita berandai-andai tentang perumpamaan-perumpamaan tentang pernikahan.
Saya hanya ingin mengajak berbagi, bernostalgia, atau bahkan mengevalusi pernikahan kita yang berusia muda. Jika menyemangati untuk menikah muda telah banyak menjadi fenomena dan banyak terbahas di banyak buku, saya sepertinya tak ingin banyak menambah hal-hal idealis dalam pernikahan usia muda, meskipun tentu boleh-boleh saja saya mengulasnya sedikit sebagai pengingat.
 Banyak orang mengatakan pernikahan akan matang setelah lima tahun. Di usia itu, kata banyak orang, sebuah rumah tangga telah melewati 'fase aman' pertamanya. Pun begitu, ternyata tak semua orang mengamini pendapat tersebut. Karena semua sangat tergantung kesiapan dan pola komunikasi yang terbangun antarsuami istri. Ada pasangan yang dapat dengan cepat beradaptasi dan membangun komunikasi yang sehat. Sehinggga tak harus menanti hingga usia pernikahan yang kelima, mereka telah dapat beradaptasi. Demikian sebaliknya, betapa banyak pasangan yang hingga duapuluh lima tahun atau bahkan lebih usia pernikahannya, selalu merasa tidak 'bahagia' disebabkan karena kegagalan komunikasi atau timpangnya tuntutan hak dan kewajiban. Tentang ini, insya Allah saya ingin membaginya dalam salah satu bahasan di buku ini.
Pernikahan pun melahirkan relasi-relasi sosial yang unik. Sebagaimana keluarga adalah sebuah potret masyarakat terkecil, pernikahan menuntut keluwesan-keluwesan yang harus kita miliki dalam bergaul. Pernikahan melahirkan hak dan kewajiban tidak saja pada pasangan, namun juga pada keluarga besar, anak, tetangga, maupun masyarakat di sekitar kita. Pengalaman-pengalaman membina hubungan itulah yang ingin saya ceritakan di buku ini dan semoga memberi manfaat.

1 komentar: