Minggu, 16 Januari 2011

SALAH SATU ARTIKEL YANG MEMBUATKU BERHENTI MEMBERI SUFOR!

Pada Bulan Desember 2009 -kalau tidak salah- tak sengaja saya membaca sebuah majalah kesehatan milik adik saya yang tertinggal dirumah orangtua. Kini saya tinggal dirumah itu . Majalah yang membuat saya 'kembali' mencoba pola hidup lebih sehat. Padahal sebelumnya saya juga sering membaca banyak artikel kesehatan. Tapi begitulah, mungkin kita tak pernah tau rahasia sebuah ilmu sampai benar-benar kita dapat berkomitmen. Dan artikel inilah salah satu 'ilmu' yang saya dapatkan hari itu, menginspirasi saya terutama yang saya cetak tebal. 

Kebetulan, saya sedang  mencoba menghentikan 'kecanduan' susu formula anak kedua saya  yang tiap kali meminta susu. Susu formula yang memang manis  itu pastilah disukai anak. Saya benar-benar beruntung.Kini semua anak saya tidak lagi minum sufor. Kami berlangganan susu segar. Tentang ini, semoga ada postingan lain yang segera saya buat. Saya sengaja meng-copy paste artikel ini, semoga menginspirasi! atau buka  link ini 

************

Pola baru? Bukan!
Oleh: Dr. Tan Shot Yen. Sumber: Majalah Prevention Indonesia, Januari 2009

Ketika saya diminta bicara dalam suatu seminar tentang pola makan, ada satu pertanyaan yang paling sering muncul.


Pertanyaan itu adalah seputar kesulitan ‘beradaptasi’ dengan isi piring makan yang sudah dijelaskan. Sambil menghela napas (menguji kesabaran) dan memutar otak untuk menata bahasa, saya akhirnya bertanya,”Apakah yang diuraikan tadi adalah hal yang sama sekali baru, sehingga Anda perlu beradaptasi?” Kaget karena ditanya balik, sang penanya biasanya tersipu-sipu,”Yaaa… saya tau sih dok, makan sayur itu sehat. Apalagi bentuknya segar, tapi… ‘kan kita enggak biasa…”

Tubuh manusia abad ini dan tubuh manusia purba membawa pola genetik dengan tatanan DNA dan RNA dalam inti sel yang 99% masih sama. Kaget? Tidak perlu. Yang mengagetkan saya justru begitu cepatnya perubahan gaya makan manusia dalam kurun waktu tersebut. Yang ternyata membuat orang mempunyai jurang lebar antara apa yang dilakukan (dimakan) dengan apa yang sebenarnya diketahui sebagai hal yang tidak baik. Ketimpangan ini rupanya tidak hanya terjadi di bidang akhlak (siapa yang tidak tahu korupsi itu buruk? Tapi dilakukan juga…) melainkan juga dalam memilih gaya hidup (siapa yang tidak tahu merokok sama dengan bunuh diri? Tapi masih dikerjakan juga…) dan dalam hal memilih pola makan (siapa yang tidak tahu gula berlebih membuat keropos tulang? Tapi tetap ngopi-ngopi berteman tumpukan snack bertepung…).

Pembenaran yang tampaknya hanya sekadar permainan ‘rational excuses’, seperti menghentikan rokok sebaiknya pelan-pelan, atau membiasakan makan sayur secara bertahap, ternyata bukan mencerminkan niat sesungguhnya atau pengejawantahan ‘resolusi hidup sehat’. Seperti kebanyakan jargon obral janji orang modern setiap awal tahun baru. Saya sering (walaupun tidak selalu!) menemukan segala sesuatu yang berhubungan dengan niat tapi dijalankan dengan gaya ‘adaptasi’, lebih cenderung gagal. Karena sejak awal yang dibuka adalah self-sabotage, atau bahkan backdoor exit. Sebagai orang berintelektual tinggi dan pandai merasionalisasi segala sesuatu, tentu berderet alasan bisa dijadikan pembenaran. Termasuk kegagalan untuk konsisten makan sayur karena alasan ‘keluar kota’, atau yang paling konyol : istri saya belum sempat beli…

Jadi, yang sesungguhnya kerap terjadi (salah satunya dalam menerapkan pola makan sehat) bukanlah untuk membiasakan tubuh (karena tubuh justru akan bersorak sorai mendapatkan makanan layaknya untuk tetap bugar). Melainkan membiasakan diri untuk stand for your ultimate vision – menegakkan visi Anda.

Betul, Anda tidak hidup sendiri. Butuh support? Tunggu dulu. Dalam perjalanan terbang Surabaya-Jakarta beberapa waktu yang lalu, saya ‘mencuri dengar’ pembicaraan seru tentang marketing dan kelesuan ekonomi antara dua pria dengan penampilan keren. Pembicaraan mengenai ekonomi biasanya sangat saya hindari karena memusingkan kepala, buntut-buntutnya saya tetap kelihatan tidak pintar. Tapi sepotong kalimat si keren tadi membuat telinga saya tegak, ”Tahu enggak, warung kopi franchise menjadi sangat laris karena menambahkan informasi mengenai susu. Bahwa dalam setiap gelas cappucino atau coffee latte mereka, pelanggan juga mendapat manfaat susu sebagai pencegah keropos tulang…” Astagaaaa!! Saya baru sadar tentang ampuhnya jargon dan kepercayaan. Itulah mengapa sulit sekali ‘meluruskan kembali’ peta masalah dan memanggil orang untuk bangun dari tidur lelapnya yang sudah terlalu lama. Itulah sebabnya mengapa saya harus berjuang agar pasien perlu keluar dari ribuan kepercayaannya: Bahwa minum teh manis tiap pagi bukan ‘morning call’ yang sehat untuk insulin, bahwa jus malah meningkatkan risiko diabetik, bahwa sapi kita bukan lagi pemakan rumput dan susu pasteurisasi tidak mungkin memberikan manfaat pencegahan keropos tulang karena kalsiumnya sudah bersifat ‘non bio-available’. Alih-alih memadatkan tulang, ia malah nyasar mengendap di pembuluh darah.

Jargon lebih ampuh dari fakta ilmiah (yang sering disimpan kalau bunyinya merusak derap perdagangan dan investasi). Bukan hanya untuk awam, juga untuk yang katanya ‘profesional’. Ketika kedelai sekarang sudah dihujat di belahan bumi lain (yang memuja kedelai yang sama 10 tahun lalu), negeri ini justru baru mulai membuat ritual pemujaannya. Barangkali ini nasib dunia ketiga.

Apabila saya berkampanye tentang kembali ke sayur dan buah sebagai sumber karbohidrat, menganjurkan bayi-bayi menyusu pada ibunya dan berhenti menyusu (termasuk susu kaleng!) pada saat gigi sudah komplit karena ia perlu mengunyah dan mengaktifkan alat-alat cernanya (toh, kadar enzim laktase dan renin sudah hampir tidak ada pada usia 3 tahun), apakah saya mengajarkan ‘pola makan’ gaya baru?

Yang perlu lebih dicermati adalah perilaku gampangan dan mempertahankan survival dalam comfort zone manusia, yang pasti tidak akan membawanya ke mana-mana selain kematian dini. Bila cinta saja mati dalam lingkaran comfort zone yang tidak menjanjian pertumbuhan, apalagi tubuh? Tantangannya, bukan mengadopsi ‘pola yang baru’, melainkan: yuk, kembali menjadi manusia yang selaras dengan alam, bebas dari jargon dan berani bangun dari nina-bobok berbagai kepercayaan usang. Karena hidup sudah berubah. Beras tidak lagi ditumbuk dengan alu, sapi tidak lagi makan rumput. Banguuuuuunnnnnn!!(Dr. Tan Shot Yen, M.Hum.,)


**Dr. Tan Shot Yen, M.Hum., kinesiolog, sekaligus praktisi Braingym dan Quantum Touch, energy healing. Ia juga dikenal sebagai basic & advanced clinical hypnotherapist di Internasional Center for Hypnosis Education & Research. Selain sibuk menjadi pembicara dan narasumber di berbagai seminar, talkshows dan media, dia juga dipercaya menjadi co-teacher di kursus-kursus medical hypnotherapy. Wanita yang sedang sudah menyelesaikan studi di Program Magister Filsafat Manusia, STF Driyarkara ini juga aktif sebagai konsultan di Health Service Program – USAID.

4 komentar:

  1. sepakat banget mba... banget. kembali dan sayur buah dengan asupan karbohidrat yg seimbang pula..

    BalasHapus
  2. makasih nunik atas kunjungan dan komentarnya

    BalasHapus
  3. artikel yg memberikan banyak pengetahuan...makasih mbak udh memaparkan panjang lebar pentingnya mengatur pola makan yg sehat....salam kenal ya..

    BalasHapus
  4. Mba, boleh share artikel ini?

    BalasHapus