Kamis, 02 September 2010

Musyawarah Yuk, Nak!


            Musyawarah? pa’an tuh? emang bisa anak-anak diajak bicara serius-serius begitu? Mungkin itu yang bergelayut di benak kita saat melihat putra putri kita yang bicaranya aja belum jelas dan suka ngelantur kemana-mana itu, ditambah rasa ego diusi  balita yang lagi dahsyat-dahsyatnya. Justru itulah yang menjadikanku memulai kegiatan ini.
            Membiasakan bermusyawarah menjadikan aku sangat menikmati proses memberikan pelajaran tentang apa yang boleh, tidak boleh dan apa yang kita sarankan untuk anak-anak kita. Musyawarah dengan anak  menjadikan kita melihat dan memahami sebuah persoalan bukan hanya dari sudut pandang kita, tapi memberi ruang pada anak-anak kita untuk mengeksplorasi apa, mengapa, siapa, bagaimana sebuah persoalan itu terselesaikan atau minimal mereka ‘pahami’ sesuai dengan alam kanak-kanak mereka.  Satu lagi, musyawarah memberikan pelajaran bagi mereka tentang menghargai pendapat, menghormati kesepakatan dan berbagi.
            Mungkin banyak teori yang ayah-bundam abi-umi, sist semua bisa dapatkan lebih komplit. Tapi boleh ya kami ceritakan pengalaman tentang bermusyawarah dengan putri-putri kami Maura ( hampir 5 tahun) dan Salma (hampir 3 tahun). Memang kadang sedikit memicu wajah cemberut diawalnya, tapi dengan sedikit ‘menyabarkan’ diri kita akan puas deh saat anak-anak kita bisa memulai ‘berdemokrasi’.
Apa yang Kita Lakukan pertama x ?
            Kegiatan ini memerlukan ‘awalan’ yang lumayan intens. Memperkenalkan kebiasaan selalu membuat anak-anak heran dan jika kita perceya diri melakukannya mereka akan ngikuut. Yang kami lakukan, baiasanya saya ‘mendengung-dengungkan’ kata musyawarah didepan anak-anak saat saya dan Abi ingin membicaraan sesuatu yang ‘penting’ meskipun gak penting-penting amat hehe. Biasanya kami bilang kemereka “ kakak Maura dan Salma, umi sama abi mau musyawarah dulu ya, ada yang penting nih” , atau “ Abi dan umi sudah musyawarah, sepertinya kita akan ….”  Atau “ Mau nggak kita musyawarah dulu biar kita bisa putuskan yang paling sip buat kita” Insya Allah saat kita konsisten memperkenalkan sebuah budaya atau kebiasaan baru, mereka akan mengerti. Sama dengan kita mengenalkan aktivitas kita apakah itu halaqoh, ngaji, nulis, dakwah dans emua aktifitas positif lainnya.
            Selanjutnya, kita buat suasana yang menyenangkan, tanpa tekanan dan memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengungkapkan dahulu keinginan mereka, kita tampung dan kita apresiasi positif. Kita hanya perlu ‘mengarahkan’ pada apa yang kita anggap baik saat mereka sudah menerima haknya untuk didengar. Mungkin dua contoh ini dapat menginspirasi
  1. Pengalaman “Siapa Dahulu yang pergi Dengan Umi?”
Di bulan Juni yang lalu banyak sekali undangan walimah. Alhasil tiap pekan saya selalu dapat undangan. Nah, saya sedang mempunyai program mengajak pergi kakak maura dan kak haniyya bergantian. Pagi itu saya kebetulan harus mendatangi undangan dan tidak mungkin membawa kedua putri saya. Dari pagi saya sudah mensosialisasikan acara ‘jagong’ pagi ini. Nah, kebetulan lagi, tante kami ( anak-anak memanggilnya yangti juga ingin mengajak salah satu dari putri kami untuk menemaninya) . Musyawarah kita mulai
“ Aku mau ikut umi” kata Maura
“Aku yang ikut umiiiiiiii….” Salma Haniyya mulai merengek
“Hmm… gini aja kita musyawarah yuk! Kan kita bisa bicarakan siapa yang gantian pergi sama umi hari ini” aku menggiring mereka keruang tamu
“Jadi gini nak…Umi kan dapat undangan terus nih. Hari ini di Bu darwiyah, nah pekan depan yang nikah amah (tante) Tia. Itu lho Maura yang kemarin kesini kasih undangan. “ Maura mencoba mengingat
“ ooooh   yang adeknya amah Ana itu ya Mi?”
“Betuul….Nah kalau hari ini Maura ikut walimah umi, berarti Maura minggu depan gak ikut di pernikahan Amah Tia. Kalau…..”
“ Iyaya, aku tau… Kalau hari ini Aku ikut Yangti Lia, aku minggu depan bisa ikut Umi sama Abi ketempat nikahan amah Tia, gitu tho?”
“ Sip, betul. jadi gimana?Haniyya ikut umi dulu hari ini trus minggu depan kakak Maura, gitu ya haniyya?”
“ Iyaaaa…..” Haniyya yang emang udah pengen ikut terlihat senang. Tapi targetku kali ini si Kakak
“Okelah kal begitu. Aku ikut umi yang minggu depan ajalah. Aku sabar aja. Sama abi juga tho minggu depan? Aku sekarang ikut Yangti” Alhamdulillah....kesepakatan trcapai. dan kami pun berangkat dan berpisah  tanpa rewel-rewelan lagi. hari itu, jujur saya senang karena Maura mulai bisa mengambil keputusan
      2. Membuat Jadwal Harian
      Bulan Agustus besok pagi. Magrib ini sudah kurencanakan mengajak anak-anak dan Abi untuk menyusun jadwal harian. Setelah magrib saya ambil bekas tanggalan besaar dan spidol besar. Kubalik kertasnya dan kutulis besar-besar “JADWAL HARIAN KELUARGA” mulai kuajak mereka berdiskusi
“Baik, kita akan bermusyawarah ya. Kita akan membuat sendiri jadwal kita. Kapan bangun pagi, nonton tV, berangkat sekolah dsb. Gimana ?”
“Setujuuuu, mi. Apa dulu mi pertamanya?” kata kak Maura. Salma si tengah Cuma ikut aja tapi dia ngerti maksudnya
“Baik, kita mulai ya. Bangun tidur jam berapa? Habis bangun tidur apa?”
“ Jam 5 mi, trus sholat subuh, ...trus apa mi? tugas ya mi?”
“Ya, tugas pagi,kak Maura kemaren pengen bantu buang sampah kan? kita sapu halaman bareng-bareng trus buang sampah yang didapur ya!” dan seterusnya kegiatan demi kegiatan seharian kami catat sederhana dengan jamnya. Anak-anak belajar menghargai pilihan dan konsekuensi. Kapan mereka menonton Teve, kapan mereka sudah ‘saatnya’ berhenti. Insya Allah jika dengan selalu melibatkan dan memberi mereka pilihan, mereka akan mengerti bahwa menghargai itu bermula dari diri sendiri. Lagi-lagi kuncinya pada kita : sudahkah mencoba memulainya?

1 komentar: