Kamis, 21 April 2011

Analogi Sebuah Kapal dan Pulau Harapan : Sebuah Pelajaran Tentang Amal Jama’I ( bagian 2)


                Sambungan note saya sebelumnya dengan judul yang sama.
                Mungkin orang sedikit menganggap saya berlebihan mengapresiasi tentang training di Pelajar Islam Indonesia (PII) yang saya sudahi tahapannya sampai dengan Pelatihan Instruktur di sekitar tahun 2000 kalau tidak salah. Termasuk suami saya  yang sering menselorohi saya ini  suka bernostalgia (hehe padahal beliau juga pernah mencicipi training PII di SMU 1 Kudus). It’s oke. Tapi menurut saya, ini awal saya menghargai kerja-kerja tim.Karena persiapan training di PII bisa memakan waktu tiga bulan dan selama itu kami harus siap bolak balik Solo/Kota lain-Semarang

                Saya menyadari, teman-teman kami di PII kini telah memilih ‘kapal’ masing-masing. Itulah uniknya, kami di PII tidak pernah merasa harus menghakimi pilihan.  Ada yang ngaku ikut aliran kiri,kanan, tengah (asal gak aliran sesat aja heheh)milih bisnis, LSM, lembaga penelitian, jalur partai, ngurusin pondok, semua pilihan kapal itu tetap menjadikan kami berasa ‘weton’ PII. Keislaman, kepelajaran, keindonesiaan menjadi tiga manifestasi visi dakwah yang manis.Oke, selesai sampai disini cerita ‘pengantar ‘ saya tetang asbabul wurud saya mendapatkan analogi kapal dan pulau harapan itu.
                Episode Selanjutnya, 13 tahun setelah Basic training itu, saya pun bertumbuh dengan segala idealisme. Setelah mahasiswa,dikampus saya berkenalan dan terbina dengan sebuah gerakan dakwah tarbiyah,hingga akhirnya dengan percaya diri saya pun tak malu-malu mengakui menempuh jalur kepartaian. Inilah kapal saya, kapal kami. Analogi kapal dan pulau harapan pun semakin utuh saya pahami sebagai salah satu jalan  menganalogikan  amal jama’I .
                Dakwah  seperti kapal yang didalamnya berisi banyak awak dan penumpang. Layarnya kadang terkembang kokoh dan kadang tertiup angin kencang serta sedikit tercabik. Kerja-kerja dakwah yang besar ini adalah upaya melajukan kapal ini menuju harapan terbesar manusia : Ridho Allah. Didalamnya ada perencanaan, kerja-kerja kebersamaan, dan evaluasi. Apakah selalu sempurna? Tidak! Sebab sunatullah sebuah pekerjaan besar yang dikerjakan banyak orang adalah kekhilafan, kecemasan akan kegagalan dan tuaian kritik.
                Kapal ini akan berjalan, dan ditengah-tengah samudra banyak pulau-pulau persinggahan atau kapal-kapal yang lebih menarik. Atau… didalam kapal kita pun ada sekoci-sekoci yang bisa kita pakai jika kita ingin menyelamatkan diri sendiri.
                Amal jama’I ini sebuah perjalanan yang sungguh menguji kesabaran. Seperti awak kapal dan penumpang yang harus menjaga ketsiqohan untuk tetap dalam kebersamaan sampai ke pulau harapan. Apakah tak mungkin kapal itu bocor? Mungkin saja. Apakah tak mungkin ada penumpang yang ingin coba-coba ‘melubangi’ kapal walaupun tak sengaja? Juga mungkin. Atau…apakah tidak mungkin sampah-sampah laut, pasir dan antukan karang menjadikan kapal kita sedikit kotor, kumuh dan oleng?Ya, sangat bisa!
                Namun pilihan sikap ada pada awak kapal dan penumpangnya. Jika kita tak puas, tidak sabar dengan nakhkoda dan cemas, reaktif dengan lubang-lubang kapal yang tiba-tiba kita temukan, maka kita bisa saja mengambil sekoci dan dengan penuh kemarahan kita memisahkan diri, naik sekoci dan bahkan mengajak penumpang lain ‘ikut’ dengan kita.  Ya,ya,ya mungkin kita selamat dan puas. Namun kita tak akan pernah merasakan kenikmatan orang-orang yang bekerja keras dan sabar dalam kepanikan dan ujian itu. Kemenangan dan keberkahan ada dalam sebuah jama’ah, dalam kerja-kerja yang tak pernah terusik oleh hasutan dan hawa nafsu kedirian.Amal jama’I adalah ujian ketaatan, ketelitian, kemampuan mengevaluasi dan memperbaiki diri dengan tetap optimis dan solid.
                Saya teringat kisah pasca perang Uhud yang diceritakan suami saya beberapa waktu lalu. Saat itu Rasulullah mengumpulkan kembali sisa pasukan setelah kekalahan di bukit Uhud yang memilukan. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk kembali mengejar musuh. Banyak kaum muslimin yang sebelumnya  tidak ikut berperang sebelumnya menawarkan diri untuk menambah kekuatan.Tapi apa jawab Rasulullah ? “Hanya prajurit yang turut berperang sebelumnya dan mengalami kekalahan di bukit Uhud yang boleh ikut serta..”
                Luarbiasa. Hikmah dari ucapan Rasulullah itu adalah bahwa hanya orang-orang yang pernah rekoso, jatuh, kalah, tercaci, terfitnah, bekerja keras dan sabar dalam barisan yang berhak dan layak untuk menikmati kemenangan-kemenangan. Dan tentu kita belum menerima sedikitpun ujian seberat Rasul dan sha habat bukan? Maka, jika kapal dakwah dengan segala pernak pernik tribulansinya, tantangan dan ujiannya ini menjadikan awak dan penumpang yang mampu menutup lobang-lobang kapal dengan sabar, membersihkan kapal dengan bersemangat, tetap merengkuh para ‘peragu’ dalam kapal dan meneguhkannya kembali untuk tetap dalam kebersamaan menuju ‘pulau harapan’, mungkin janji Allah akan layak kita dapatkan : sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Wallahu a’lam bishawwab.*)
*) sebuah nasehat untuk diri sendiri.

1 komentar:

  1. aslm'laikm...mb izin copas (again)..hehe
    sama yg episode 1 jg ya..syukran

    BalasHapus