Minggu, 04 Juli 2010

Standar kemapanan Menikah : Renungan tuk para Orangtua

Para lajang itu berkumpul tiap pekan dirumah saya untuk pengajian. Sekitar 10- 12 orang. Sebenarnya ada yang sudah menikah, dua orang. Namun belum dikarunia putra. Seperti Ahad pagi kali ini, kami masuki awal tahun yang baru. Sayapun mengelola pengajian itu sesuai dengan ‘kebutuhan’ mereka. Tidak ada paksaaan. Semua berjalan dengan santai namun serius. Nilai-nilai Islam begitu luas dan luwes untuk dijabarkan dalam menjawab persoalan-persoalan kita.

Seperti pagi ini. Dengan usia sekitar 24 -26 tahun, apa yang paling diinginkan oleh para lajang yang sebagian telah memulai bekerja tetap itu? Ya, ya,,ya …menikah! Setiap kali pembahasan itu menyeruak, aku hanya bisa membesarkan hati mereka, membekali hal-hal yang mungkin mereka perlukan memulai sebuah hubungan yang halal dan syar’i. Jika harus mencarikan jodoh, sepertinya itupun agak sulit. Persoalan-persoalan sering mereka beberkan seputar pernikahan. Dari mulai jodoh yang tidak segera datang, kebimbangan dengan ‘perhatian’ dan hubungan dari seseorang yang tidak segara memberi kejelasan, sampai yang ini…: TUNTUTAN ORANG TUA terhadap kemapanan calon menantu mereka. Dan perbincangan sekaligus curhat dari salah satu binaan mengajiku itupun mengalir. Sebut saja namanya…Ana

“ Ayah saya selalu menganggap saya terlalu muda untuk menikah. Padahal saya punya target menikah di usia 24 tahun, mbak. “ Ana memulai ceritanya. Lalu lanjutnya,
“ Ayah saya selalu mengatakan apa saya sudah mantap? Apa saya tidak ingin bekerja dulu yang mapan? Padahal saya sudah jadi guru tetap dan akhirnya saya ingin tetap nekat bahwa saya akan menikah tahun ini. Usia saya sudah 26 tahun mbak! Saya punya rencana, saya juga memikirkan kalau saya menikah diusia menjelang kepala tiga, sementara nanti mungkin saya tidak segera dikaruniai anak, bukan kah itu jadi beban untuk saya? Sementara saya pun takut mengenalkan orang yang suadh berniat serius dengan saya pada Ayah. Saya takut ayah akan menyinggungnya, membuatnya mundur teratur…” Ana menceritakan dengan sedikit emosioanl. Aku berusaha meraba persoalannya. Benarkah hanya masalah itu? Ada apa dengan sang Ayah?

Ternyata, setelah sekian lama Ana menceritakan persoalannya, kami baru dapat menyimpulkan. Ayah Ana seorang duda sejak empat tahun lalu. Ibunya meninggal dunia dan karena suatu hal, Ana tinggal bersama keluarga besar ibunya dan Ayahnya tinggal dirumah yang berbeda, dikota tetangga. Kakak perempuan Ana sudah menikah dan menurut Ana, orangtuanya agak tidak sreg karena kakak perempuan Ana ternyata yang bekerja tetap sementara suaminya, masih serabutan. Dalam pandangan orangtua Ana, kakak perempuannya hidup dengan tidak ideal.

Kutemukan jawabnya. Pertama, Ayah Ana kesepian. Menduda selama empat tahun, dan bertemu dengan anak yang tidak setiap hari membuatnya amungkin cemas bahwa anak gadis keduanya pun akan ‘meninggalkannya’. Sungguh saya pun dapt berempati. Merawat ayah lebih sulit daripada merawat suami sebab kita harus lebih menjaga perasaan beliau. Kedua, Ayah Ana trauma dengan kehidupan pernikahan kakak perempuan Ana yang menurut pandangan sang Ayah kurang mapan dan kurang sejahtera. Meskipun menurut Ana sendiri itu agak berlebihan.

Maka untuk kasus Ana akhirnya kuberikan solusi bahwa harus ada pihak ketiga ( saudara atau sahabat sang ayah) yang menyampaikan keinginan Ana untuk segera menikah tanpa menyinggung perasaan Ayahnya. Ana dan calonnya pun harus dapat meyakinkan sang Ayah bahwa pernikahan mereka tidak akan menjadikan hubungan ayah-anak menjadi jauh. Perlu ‘kenekatan’ dan kerjakeras pula dari calon menantu untuk meraih hati sang ayah. Demikian pula tentang standar kemapanan dan kesejahteraan. Ana dan calonnya perlu membuktikan bahwa mereka dapat meretas sukses itu. Sentuh masa lalu ayah dengan mengingatkan bahwa setiap rumahtangga pasti ada masa prihatin.

STANDAR ORTU : Sebuah Evaluasi

Cerita Ana diatas mungkin terlalu panjang ya, untuk sebuah pengantar.Tapi saya yakin bukan itu saja yang dihadapi para gadis dan para jejaka saat akan menikah. Jika kecenderungan rasa sudah ada dan niat baik untuk menikah dengan menerima kondisi masing-msing sudah ada dalam hati. Eee… justru para orangtua yang kadang ‘rewel’ tentang kemapanan, pekerjaan, penghasilan calon menantu laki-laki mereka. Tak dapat dipungkiri memang. Hati orang tua mana yang tega melihat anak gadisnya menikah tanpa sebuah jaminan kesejahteraan yang riil? Parahnya lagi kadang dengan terang-terangan para orangtua sangat overestimate manakala anak gadisnya dilamar oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Olala. Atau sebaliknya agak kurang 'optimis' dengan calon mantu yang belum berpenghasilan 'diatas 1j' perbulan (ada looh)

Padahal wahai orang tua para gadis, taukah Anda bahwa sebenarnya putri-putrimu lebih siap untuk mendampingi para suami yang mereka cintai dengan tulus. Jangan tanamkan keraguan atas rizki yang dijanjikan Allah melalui menikah dengan hitungan matematika kalian.

Wahai Ayah, Ibu, Saat ini betapa banyak lelaki bujangan yang memilih menunda menggenapkan separuh agama dengan menikah karena sudah merasa nyaman dengan kesendirian mereka dan menganggap para gadis cukup sebagai teman istimewa. Saat ini mungkin sedikit sekali para lelaki yang punya keberanian untuk mengambil tanggungjawab segera menikah dan menafkahi istrinya. Dan manakal laki-laki bertanggungjawab yang berjumlah sedikit itu memberanikan diri meminang anak gadis kalian, mengapa masih Ayah Ibu persulit hanya karena mereka belum memenuhi standar kemapanan kalian?

Sementara putri-putrimu semakin merambat usianya, semakin besar kegelisahannya, semakin ciut hatinya. Mengapa tidak memilih bersikap lebih bijaksana dengan membesarkan hati bahwa rizki Allah pasti begitu luas diberikan pada dua orang yang meniatkan menjaaga dirinya melalui hubungan yang halal ? Tidakkah ayah ibu tau bahwa putri-putri kalian hanya akan bahagia bersama laki-laki yang bagus agamanya? Yang bertanggungjawab? Yang mau terus bekerja keras dan tidak berleha-leha? Itu masih lebih baik meskipun mungkin kalian mencibir besarnya penghasilan calon menantu kalian.

Sikap inilah yang saya saluti dari ayah dan ibu saya. Sampai hari ini tak pernah terbersit ucapan atau kegelisahan -minimal tidak pernah diperlihatkan pada kami anak-anak perempuannya- tentang pekerjaan menantu laki-lakinya. Saat dahulu suami saya memberanikan diri mengkhitbah dan menikahi saya, tidak pernah ayah saya mennayakan 'kamu kerja apa? kamu udah berpenghasilan berapa?" atau lebih ekstrim sudah punya mobil, rumah, atau apa?

Ayah saya hanya yakin bahwa anak gadisnya ada disisi orang yang tepat ,mencintai putrinya, paham agama, dan bertanggungjawab. Saat itupun ternyata, almarhumah ibu saya yakin bahwa anak-anak gadisnya tidak akan 'KELAPARAN' jika mereka menikah dengan lelaki yang mencintai, bertanggungjawab, dan mau bekerja keras menafkahi keluarganya. Saya sering berseloroh pada suami saya " enak banget lhoo yang jadi menantu abah hehe, gampang ngelepas anak gadisnya, gak bertele-tele" ternyata sikap kedua orangtua saya tersebut diam-diam menuai salut dari bapak dan ibu mertua (kompak nih yee)


Begitulah. Semangat mengambil tanggungjawab menikah memang harus didukung dan dikondisikan oleh para orangtua juga. Jika diatas saya mengajak para orangtua para gadis agar tidak terlalau ‘pasang standar tinggi’ maka sayapun akan sedikit berbagi contoh tentang kesiapan orangtua pihak laki-laki untuk mensupport anak laki-laki mereka menikah dini. Ini tentang bapak ibu mertua saya sendiri. Memiliki empat orang anak laki-laki tentu menjadi sebuah tanggungjawab tersendiri. Saya pun menaruh simpati pada kedua mertua saya itu. Sejak kakak ipar sulung saya menikah yang saat itu barusaja menyelesaikan kuliahnya di STAN, mertua saya mensupport keinginan menikah dini anak-anaknya sampai dengan adik suami saya yang terkecil.

Bapak ibu mertua saya sukses menghantarkan kami sedikit demi sedikit menapaki kemandirian. Kami disapih dengan bantuan finansial yang ‘beristilah’ pinjaman baik yang sangat lunak (he..he.. artinya pemberian) sampai dengan pinjaman yang harus kami angsur tiap bulan seiring dengan ‘kemapanan’ kami berumahtangga. Ini bukan hanya tentang materi, namun mertua saya pun memberikan kepercayaan pada anak-anak lelaki mereka untuk menentukan pasangan hidupnya, menghargai kami sebagai menantu-menantu perempuan yang dianggap sebagai putri-putrinya, dan menghargai cara kami mendidik dan mempola keluarga kami sendiri.

Mungkin, para orangtua perlu kita ingatkan kembali betapa Allah memberikan jaminan bahwa sunnah bersejarah bertajuk pernikahan ini harus disegerakan, dan jaminan Allah atas rizki orang-orang yang menyegerakan proses pernikahan adalah mutlak. tentunya jaminan tersebut harus pula disertai usaha dhohir dengan BERUSAHA tetap BERPENGHASILAN :)

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN
MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas
(pemberianNya) dan Maha Mengetahui.”
(An Nuur 32)

Jika Allah dalam ayat tersebut menyebutkan nuntuk menyegerakan mnikahkan 'hamba sahaya' sehingga menyandingkan kata miskin sebagai kekhawatiran atas keadaan pasca nikah. Bagaimana dengan kita yang tentu lebih 'kaya' dan tentu lebih mampu untuk menikah dan berusaha untuk merengkuh karuniaNya????

Itulah sedikit catatan kecil bahwa kerumitan tentang standar kemapanan harus disikapi secara arif dan bijak. Kita yang bercita-cita menikah juga harus mempersiapkan diri untuk bertanggungjawab, para orangtuapun harus arif bahwa kepercayaan bahwa putra putrinya dapat menapaki sukses dalam berumahtangga adalah kepercayaan yang menumbuhkan semangat pada anak dan menantu mereka. Wallahu a’lam bishawwab

1 komentar:

  1. TQ anda Sudah Menghibur hati sya dngan Pemikiran yg sperti ini dalam hal Kemapanan. sya pun Mundur secara Perlahan2 ketika Ortu si Fulan ini melayangkan kata2 hrus mapan dahulu ke wanita saat ini untuk dilimpahkan ke saya, oleh krena itu dri dlu smpai skarang sya sedang mencari tau arti kemapanan yg ortu wanita fulan ini. apakah mapannya hrus pnya Rumah, hrus pnya penghasilan yg tetap,harus pnya Mobil atau yg lebih keren lgi Harus Berstatus PNS dkk. maka dri itu sya cukup terhibur aja sama penulisan tentang 'standar kemapanan' untuk ke jenjang pernikahan. oleh krena itu sya pun hrus berusaha juga untuk meraih kemapanan itu sendiri dngan usaha sya sendiri semata2 hanya untuk melaksanakan sunah Rosul ini. Doa kan yaa supaya Lancar :)

    BalasHapus