Sebuah kisah nyata, kutulis di salah satu bab naskah bukuku, sengaja dishare untuk direnungi.semoga bermanfaat
Perempuan itu kukenal sekitar empat tahun lalu. Tepatnya, tiba-tiba kukenal. Sebab ia datang dan pergi tiba-tiba.Perempuan itu datang pertamakali padaku saat ia mengandung 9bulan dan aku barusaja melahirkan putri pertamaku.Dia meminta pekerjaan kala itu. Dan perempuan itu membuat banyak orang hampir-hampir bosan dan jengah dengan kehadirannya. Di benak banyak orang, ia selalu ‘mengeluh dan meminta bantuan’. Sebab ia memang mendatangi beberapa orang yang kebetulan juga kukenal. Duuuh...
Suatu hari diawal tahun ini, tiba-tiba dia datang kepadaku. Saat itu kebetulan aku dan beberapa ibu-ibu sudah bersiap hendak memulai rapat. Dia datang hendak menunjukkan hasil tulisannya di media lokal. Dia memang melakukan apa saja untuk menyambung hidup. Suaminya sakit diabetes dan kudengar kabar bahwa suaminya sempat buta. Kabar berikutnya kudengar darinya enam bulan lalu suaminya dirawat dikota kelahirannya dengan biaya ditanggung oleh saudara-saudara suaminya yang ternyata berpunya. Dan, beberapa waktu lalu, seorang kerabatku pernah bercerita kalau si perempuan itu datang padanya dan mengatakan : suaminya sudah M A T I !
Maka hari itupun kesempatanku mentabayyunkan kepadanya.
“ Mbak, maaf ya sebelum kita bicara yang lain-lain, saya mau tanya, apa iya sih suami njenengan (kamu, ed) meninggal? Bukannya terakhir ketemu saya mbak bilang suaminya pulang kekota asal untuk diobatkan dan mulai membaik??“ sejurus kemudian perempuan itu berusaha mengatasi keterkejutannya atas pertanyaan saya.
“ Saya mengatakan itu saat kondisi saya benar-benar tertekan. Maaf...” jawabnya lirih.
“ Tapi masak mbak tega bilang suaminya mati. Kenapa mbak? bukankah Allah sudah menyembuhkannya? Mengembalikan penglihatannya?” aku terus menatap dan menyelidik.
“ hhh…ya..memang. Suami saya sudah sembuh fisiknya. Tapi jiwanya, mentalnya,semangatnya rusak, rapuh! Kalau sudah begitu apa tidak sama dengan mati., mbak Vida? Tiap hari kerjanya Cuma tidur dimasjid, tidak punya semangat hidup, tidak mau berusaha bangkit. Sementara saya lelah! Menghidupi diri dan empat orang anak sampai meminta-minta pun saya lakukan. Mbak Vida tau sendiri saya sampai minta nasi dan lauk pada njenengan kan??? Saya mencoba menyelesaikan hutang-hutang saya dengan banyak orang meskipun sangat perlahan. Itulah mengapa saya sudah merasa jadi ‘janda’ sejak setahun lalu” Saya membiarkannya mengeluarkan semua keluhnya.Saya biarkan ia menatap nanar dan memainkan ujung bajunya. Teman-teman saya yang sedianya akan rapat pun ikut tertegun. HENING
“Mbak....saya mengerti kesulitan njenengan..Tapi, Allah yang memberi njenengan ‘penghidupan’ mbak. Mungkin Allah masih memberi nejenengan jalan rizki –meskipun mungkin dengan segala cara termasuk meminjam, meminta- itu semua pertolongan Allah mbak. Mungkin juga bukan semata karena usaha njenengan. Tapi karena orang-orang lemah disekitar nejenengan. Suami yang sakit, anak-anak yang masih kecil. Istighfar mbak….” sebisa mungkin kuberi dia masukan. Yah mumpung ketemu.
Perempuan itu kemudian mengendur ketegangannya. Dia menghela nafas, dan menitipkan naskah cerpennya untuk kutanggapi. Kemudian dia pamit. kami masih terpana dengan kejadian sekitar limabelas menit itu.
Seharian saya berpikir kejadian siang itu. Suami saya sudah mati… kalimat itu terngiang lagi. Disatu sisi saya sangat sedih dengan ‘rasa tega’ si Mbak itu terhadap suaminya. Betapa menyedihkan menganggap seorang belahan jiwa telah meninggal. Disisi lain lagi, saya dapat memahami kepenatannya menghadapi persoalan ekonomi yang begitu-begitu saja. Saya menjadi saksi betapa ia berusaha melakukan apa saja untuk : b e k e r j a. Menulis cerpen dimedia cetak, menjual buku-buku bekas dan majalah. Semua dia lakukan.
Saya mengambil pelajaran bahwa kejenuhan menghadapi banyak persoalan rumahtangga dan ketidaksiapan (terutama suami) untuk melakukan perubahan-perubahan dan lompatan usaha bagi kesejahteraan keluarga menjadikan banyak istri menjadi ‘mati rasa’ dan mencampakkan rasa hormat pada suami. Bukan, ini bukan hanya bisa dihakimi dan distempel dengan ah, istrinya gak qona’ah, ah…Cuma gitu aja kok sudah mengeluh dan sebagainya.
Ternyata memang masalah kejenuhan yang kita bahas diawal bab ini akan memicu banyak masalah. Ketimpangan inisiatif untuk melakukan perbaikan keluarga juga begitu. Maka, mungkin lebih bijak bagi kita menjadi suami/istri yang seimbang dalam menuntut hak dan kewajiban. Sebab...keletihan, keguncangan jiwa, kefakiran, menjerumuskan akal, menggerus rasa cinta. Astaghfirullah...
*****
dan KEMARIN, Sabtu 1Mei 2010 aku mendengar kabar dari suamiku BAHWA...suami perempuan itu benar-benar meninggal hari rabu yang lalu di Kota kelahirannya.Innalillahi wainnailaihi raji'un.Aku terhenyak dan bergegas merasa perlu menshare tulisan yang kutulis beberapa bulan lalu ' ini.Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar